Cari Berita

Breaking News

Keenan Nasution vs Vidi Aldiano: Jika Sebuah Nada Diberikan Hak

Dibaca : 0
 
Jumat, 13 Juni 2025



Oleh Denny JA


“Musik itu suara jiwa. Tapi suara jiwa itu pun harus dihargai secara duniawi.”

Kemelut antara Keenan Nasution dan Vidi Aldiano mengguncang ruang sunyi kesenian Indonesia. Lagu Nuansa Bening—yang tercipta lebih dari empat dekade lalu, kini menjadi gugatan bernilai 24,5 miliar rupiah.

Apa yang dulu mengalir dari jiwa, kini dipersoalkan dalam angka dan hukum.

Sebagian publik melihat gugatan ini sebagai tuntutan finansial belaka. Tapi jika ditarik ke akar sejarah, persoalan ini jauh lebih dalam.

Ia menyentuh satu hal: hak sebuah nada, dan bagaimana dunia belajar menghargainya.

Maka saya pun teringat kisah lama, di benua yang jauh.

-000-

Pada suatu malam di tahun 1847, dalam semarak Paris yang muram namun penuh nyawa, sekelompok komposer duduk di Café des Ambassadeurs.

Di antara mereka, Ernest Bourget—penulis lirik ternama Prancis.

Orkestra memainkan lagu. Pelanggan bersulang. Tapi satu nada yang terdengar di panggung adalah ciptaan Bourget sendiri—tanpa izin, tanpa bayaran, tanpa penghargaan.

Malam itu, mereka menuntut. Dan menang.

Gugatan itu menjadi momen lahirnya kesadaran hukum: bahwa pencipta berhak atas karya yang digunakan di ruang publik. Nada diberi hak. Dan dunia musik tak lagi sama.

Empat tahun kemudian, SACEM (Société des Auteurs, Compositeurs et Éditeurs de Musique) berdiri di Prancis, menjadi organisasi kolektif pertama yang mengatur royalti.

SACEM lahir dalam dunia pasca-Revolusi Industri, saat seni tak hanya milik bangsawan, tapi juga milik massa.

SACEM melacak pemutaran lagu, menarik lisensi dari restoran dan kabaret, lalu menyalurkan bayaran ke pencipta. Inilah cikal bakal sistem kolektif royalti yang kita kenal hari ini.

-000-

Gagasan ini menyeberang ke Amerika. Tahun 1914, ASCAP lahir. Disusul BMI pada 1939. Di balik persaingan keduanya, dunia belajar menyempurnakan sistem: lebih adil, lebih terstruktur.

Namun, bagaimana menjamin hak cipta lintas negara?

Lalu lahir Konvensi Bern (1886) dan TRIPS Agreement (1995), menyatukan dunia dalam perlindungan internasional atas karya cipta. Kini, jika sebuah lagu diputar di Jakarta, dan penciptanya tinggal di London, ia tetap berhak atas bagiannya.


-000-

Sistem royalti pun berkembang.

Ada dua pendekatan utama:
1. Direct License – pencipta memberi izin langsung kepada pengguna.
2. Blanket License (Kolektif) – pengguna membayar ke lembaga, dan lembaga menyalurkannya ke pencipta.

Negara maju cenderung memakai sistem kolektif karena efisien. Tapi sistem ini menimbulkan ketegangan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.


-000-

Di sinilah kita kembali pada Keenan dan Vidi.

Lagu Nuansa Bening, ciptaan Keenan Nasution, telah menjadi bagian dari sejarah musik pop Indonesia. Ia dinyanyikan ulang, dibawakan di banyak panggung, dan melekat di ingatan kolektif.

Namun, Keenan merasa tak mendapat penghargaan semestinya atas pemakaian lagunya oleh Vidi Aldiano.

Pada sebuah wawancara, Keenan menyampaikan bahwa hatinya terguncang saat berkali-kali mendengar Nuansa Bening dinyanyikan di berbagai panggung nasional—tanpa pernah diajak bicara, tanpa satu sen pun ia terima. 

Lagu itu lahir dari luka dan cinta, ujarnya. Tapi setelah dinyanyikan ulang, seolah ia  tak lagi memiliki hak bahkan atas kenangannya sendiri.

Di sisi lain, Vidi Aldiano yang sedang menjalani pengobatan kanker, memilih untuk tak banyak bicara. 

Ia mengatakan melalui tim hukumnya bahwa proses izin telah diajukan dan bahkan ditawarkan pembayaran, namun tidak mencapai kesepakatan. 

Ia menyanyikan lagu itu karena cinta. Ia justru ingin menghidupkannya kembali, ujar Vidi di awal tahun.

Di antara mereka terbentang wilayah abu-abu: soal perizinan, kontrak lisensi, dan bagaimana sistem royalti Indonesia bekerja.

Apakah lagu itu dipakai dengan izin sah dari pemegang hak? Apakah pembagian royalti dilakukan dengan adil? 

Ataukah ada kekosongan sistem yang membuat niat baik jadi salah paham?

Indonesia mengadopsi sistem kolektif lewat UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014, dengan LMKN sebagai lembaga pengelolanya.

Tapi sejumlah pencipta merasa sistem ini tak transparan, terlalu birokratis, dan tak berpihak pada mereka. Maka sebagian memilih direct license—berizin langsung ke pengguna.

Celakanya, UU kita belum sepenuhnya mengatur benturan antara dua sistem itu. Akibatnya, konflik seperti Keenan–Vidi menjadi semakin personal, padahal akarnya adalah kebingungan sistemik.

-000-

Tapi ada satu hal yang lebih hakiki: hak moral.

Pencipta berhak menjaga makna dan integritas karyanya. Ia bisa menolak jika lagunya diubah makna, dijadikan jingle politik, atau dinyanyikan tanpa konteks yang sesuai.

Hak moral adalah suara hati yang dilindungi hukum. Karena seni, sejatinya, lahir dari batin. Dan batin berhak dihormati.


-000-

Tahun 2000-an mengguncang sistem. Napster membuat musik gratis. Industri rekaman runtuh. Tapi dari reruntuhan itu lahir Spotify, YouTube, Apple Music. Sistem baru: micro-royalty—dibayar tiap kali lagu diputar, meski hanya beberapa sen.

Namun, pembagian keuntungan menimbulkan kegelisahan. Komposer kecil merasa diabaikan. Maka muncul gerakan: #PaySongwriters.

Sistem ini bekerja, tapi belum adil sepenuhnya. Yang kuat tetap dominan, yang lemah tetap harus bersuara lebih keras untuk didengar.

Hari ini, tantangan baru datang dari AI dan NFT.

Lagu kini bisa diciptakan mesin. Siapa penciptanya? Siapa pemilik haknya?

Di sisi lain, NFT membuka peluang baru: lagu bisa dijual langsung ke penggemar, dengan sistem kontrak cerdas yang membayar royalti otomatis tiap kali dijual ulang.

Sistem ini bisa transparan. Tapi juga bisa tak manusiawi, jika suara hati diabaikan.


-000-

Royalti adalah pengakuan—bahwa setiap nada punya hak.
Bahwa karya seni bukan hanya ekspresi, tapi juga kepemilikan.
Dan bahwa keindahan, bila tak dihargai secara adil, bisa terluka.

Di dunia yang bising oleh suara tanpa nama, keadilan bagi pencipta lagu bukan hanya soal hukum. Ia soal nurani.

Dari Bourget di Paris, Keenan di Jakarta, hingga Swift di Nashville, dunia terus belajar:
bahwa di balik suara, ada jiwa yang bekerja diam-diam.

Ia mungkin tak dikenal. Tapi suatu malam, ia pernah duduk sendiri—menulis lagu yang kini mengisi hidup kita semua.
Dan kita, pendengarnya, berutang rasa hormat.

Jakarta, 13 Juni 2025

Referensi:
1. Kronologi Lengkap Kasus Keenan vs Vidi – Kompas, 28 Mei 2025
2. Vidi Aldiano Ungkap Sedang Jalani Kemoterapi – Kompas, 12 Juni 2025
3. Sejarah SACEM dan Kasus Bourget – SACEM Official
4. ASCAP dan Lahirnya Hak Cipta di AS – ASCAP Foundation
5. TRIPS Agreement Overview – WTO

-

LIPSUS