Oleh Denny JA
Ada sesuatu yang kontras sedang terjadi di Indonesia. Di satu sisi, Presiden Prabowo Subianto mencatatkan tingkat kepuasan publik yang luar biasa.
Survei LSI Denny JA menunjukkan sekitar 81% masyarakat menyatakan puas terhadap kepemimpinannya.
Namun di sisi lain, keresahan mulai tumbuh perlahan. Publik mulai cemas—bukan pada angka-angka makro seperti inflasi atau nilai tukar.
Tetapi kecemasan tumbuh pada dua hal yang langsung menyentuh dapur rumah tangga: lapangan kerja dan harga sembako.
Podcast perdana LSI Denny JA, Suara Angka, membedah ironi ini. Nama podcast itu bukan metafora puitik, tapi sebuah janji: bahwa angka, data, dan suara publik menjadi fondasinya.
Dan dari angka-angka itulah, kita bisa membaca denyut harapan sekaligus kecemasan bangsa.
Dalam episode ini, tampil tiga peneliti senior LSI Denny JA: Adjie Alfaraby, Ardian Sopa, dan host Ade Bondon. Ketiganya berbicara bukan sekadar sebagai analis data, tetapi sebagai penerjemah kegelisahan rakyat.
-000-
Pemerintahan Prabowo–Gibran hari ini ibarat rumah besar dengan fondasi yang kokoh, namun atapnya masih bocor.
Survei LSI menunjukkan, dari tujuh indikator utama, lima mendapat “rapor biru”—tanda kepuasan publik di atas 50 persen. Ini meliputi bidang sosial-budaya, keamanan, hukum, politik, dan ekonomi makro.
Namun dua indikator paling konkret dalam hidup sehari-hari—lapangan kerja dan daya beli sembako—masih berwarna merah. Di sinilah letak atap bocor itu.
Masalahnya bukan sekadar statistik. Masalahnya hadir saat seorang buruh harian pulang dengan upah yang tak cukup untuk belanja besok pagi. Atau seorang sarjana muda yang sudah dua tahun menganggur, menghindari tatapan orang tuanya setiap sarapan.
Jika ditelusuri lebih dalam, keresahan ekonomi ini terpetakan secara identitas.
Tiga kelompok etnis—Sunda, Batak, dan Betawi—menunjukkan tingkat kepuasan ekonomi paling rendah, bahkan di bawah 50 persen.
Bagi mereka, isu ekonomi bukan konsep abstrak, tapi pengalaman konkret yang berulang setiap bulan.
Begitu pula dua generasi penting: milenial (28–43 tahun) dan baby boomer (di atas 60 tahun).
Milenial hidup dalam tekanan sebagai sandwich generation—membangun keluarga sambil menopang orang tua.
Sementara baby boomer membawa memori masa lalu, ketika pekerjaan masih mudah didapat, dan harga sembako tak menguras dompet.
Dari dua arah yang berbeda, mereka bertemu dalam kegelisahan yang sama.
-000-
Mengapa, di tengah keresahan ini, tingkat kepuasan terhadap Prabowo tetap tinggi?
Jawabannya tak sepenuhnya rasional. Emosi mendahului logika, sebagaimana dikatakan Alexis de Tocqueville:
“Rakyat sering memilih dengan perasaan sebelum menimbang dengan nalar.”
Citra personal Prabowo tetap kuat. Gaya komunikasinya menyentuh. Program-program seperti makan bergizi gratis, koperasi rakyat, dan Danantara menyampaikan narasi pemimpin yang peduli dan membumi.
Inilah yang disebut sebagai legitimasi personalistik—bukan karena program telah berjalan sempurna, tapi karena harapan masih hidup.
Namun masa bulan madu ini tak abadi.
Podcast ini mengingatkan: biasanya fase euforia pemerintahan hanya bertahan 6–12 bulan. Tapi bisa berakhir lebih cepat jika dua hal terjadi:
1. Kebijakan ekonomi yang tidak populer, seperti kenaikan harga BBM.
2. Skandal politik besar yang mengguncang kepercayaan publik.
Dua hal ini pernah menjatuhkan persepsi presiden sebelumnya.
Di luar itu, kondisi global juga bisa mempersempit ruang fiskal. Misalnya: perang Israel–Iran, atau gejolak harga minyak dunia.
Jika itu terjadi, fase “bulan madu” bisa segera berganti menjadi “bulan evaluasi”.
-000-
Apa yang perlu dilakukan?
• Eksekusi cepat dan presisi.
Janji-janji kampanye seperti MBG, koperasi rakyat, dan Danantara harus segera menyentuh kehidupan nyata. Bukan hanya sebagai simbol, tapi solusi konkret di meja makan rakyat.
. Pemberantasan korupsi sebagai panglima kebijakan publik. Tanpa pemberantasan korupsi yang tegas, dana besar dan gagasan mulia hanya akan menjadi bancakan basah elit politik.
Rakyat kecewa, kepercayaan publik runtuh. Ketimpangan makin tajam. Keadilan pun terkubur.
Reformasi sejati dimulai dari keberanian membersihkan akar busuk kekuasaan: korupsi.
• Komunikasi publik yang jujur dan menyeluruh.
Rakyat tidak menuntut kesempurnaan. Mereka hanya ingin tahu: ke mana negeri ini diarahkan dalam bahasa yang konsisten.
Esai ini, seperti juga podcast Suara Angka, adalah cara untuk mendengar gema yang tak terdengar.
Di balik data, di balik angka, ada hati yang berdegup—antara harapan dan kekhawatiran.
Dan akhirnya, satu pesan sunyi mengeras di akhir:
Mereka mencintai pemimpinnya, tapi mulai cemas dengan masa depan ekonominya.
Mereka menyukai gagasan besar, tapi mulai khawatir apakah korupsi membuat semua kembali layu di tingkat eksekusi.
Di tengah riuh tepuk tangan dan janji-janji megah, ada bisik lirih di sudut pasar dan gang sempit:
“Adakah perubahan nyata yang akan singgah?
Atau harapan kembali jadi kabar yang lewat dan sempit?”
Rakyat menanti, bukan sekadar kata,
tapi tindakan yang mengubah luka menjadi daya.
Yang belum dieksplor dalam podcast itu rekomendasi terobosan untuk solusi dua rapor merah pemerintahan Prabowo- Gibran.
Seberapa mungkin program ini:
Untuk Lapangan kerja: Luncurkan "Kartu Prakerja 2.0" berbasis kecakapan industri hijau. Ini disertai dengan insentif perusahaan penyerap tenaga kerja.
Untuk Sembako: Bentuk Satgas Pangan
Daerah, yang intervensi pasokan dari hulu (petani) hingga ritel modern-warung tradisional. Ini juga difasilitasi aplikasi e-Sembako untuk pemantauan harga real-time.
Prabowo memang memiliki tingkat kepercayaan publik yang tinggi untuk mewujudkannya, tapi ia berlomba dengan waktu.***
27 Juni 2025
Link Podcast LSI Denny JA, “Suara Angka”
https://youtu.be/sdLoFvXm89M?si=ZjMIic8W85KuGhXS