![]() |
SMK Negeri 2 Bandarlampung (ist/inilampung) |
(Bagian I)
Kamis (5/6/2025) lalu, Gubernur Rahmat Mirzani Djausal “mengukir sejarah”: Menghapuskan uang komite di seluruh SMA, SMK, dan SLB Negeri se-Lampung mulai tahun ajaran 2025-2926 ini. Sebagai gantinya, ia akan “mengambilkan” dana untuk operasional sekolah dari APBD.
Tentu, semua pihak menyambut sukacita kebijakan Gubernur tersebut. Mengingat selama ini uang komite sekolah adalah hal krusial yang selalu menjadi “keresahan” bagi para orangtua dan wali murid plus diduga sebagai ajang bancakan.
Namun, ada yang perlu diingatkan –kepada Gubernur, Wagub, dan utamanya Kepala Disdikbud- bahwa selama ini OPD yang bertanggungjawab dalam urusan pendidikan menengah atas negeri itu banyak sekali menyimpan “masalah”, wabil khusus dalam penggunaan anggaran. Dan juga perlu diketahui, bahwa secara rutin setiap tahun anggaran, APBD Provinsi Lampung yang dikucurkan ke Disdikbud dalam pos anggaran bantuan operasional satuan pendidikan (BOSP) sangatlah besar.
Pada tahun anggaran 2023 lalu misalnya, anggaranyang dikucurkan ke Disdikbud lebih dari Rp 1 triliun. Yang spesifik digunakan untuk BOSP sebesar Rp 312.234.440.000, dengan realisasi penggunaannya sebanyak Rp 311.504.859.472 atau 99,73%.
Apakah karena uang komite sekolah kini dihapuskan, jumlah anggaran BOSP akan dinaikkan? Sepenuhnya kebijakan Gubernur dan DPRD Lampung “nge-gong-in” mengenai hal tersebut.
Yang ingin dipaparkan dalam tulisan ini hanya mengenai “persoalan” penggunaan anggaran terkait dunia pendidikan menengah atas negeri saja, sebagai tambahan bahan kajian dan pertimbangan bagi para pemimpin dalam menindaklanjuti dihapuskannya uang komite sekolah. Karena selama ini, setiap “masalah” tidak pernah dituntaskan.
Penyimpangan seakan sudah dianggap hal yang tidak perlu dipertanggugjawabkan, tidak peduli yang digunakan adalah uang rakyat. Dan Disdikbud –selama ini- memang merupakan salah satu OPD “paling bermasalah” di lingkungan Pemprov Lampung.
Kembali ke “laptop”: Anggaran belanja bantuan operasional satuan pendidikan (BOSP) sebesar Rp 312.234.440.000 itu dipergunakan untuk belanja pegawai, belanja barang dan jasa, maupun belanja modal 239 SMAN, 109 SMKN, dan 13 SLBN. Mulus-mulus sajakah dalam realisasi anggarannya? Tentu saja tidak. BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung dalam LHP Nomor: 40B/LHP/XVIII.BLP/05/2024 tanggal 3 Mei 2024, mengungkap fakta adanya penggunaan anggaran yang tidak sesuai regulasi pada 9 sekolah dengan nilai Rp 776.762.400.
Penyimpangan penggunaan anggaran yang tidak sesuai petunjuk teknis BOSP sebanyak Rp 776.762.400 itu terkait dengan belanja pemeliharaan pada 4 sekolah senilai Rp 538.389.250. Sekolah mana saja yang “memainkan” dana BOSP ini?
1. SMAN 1 Punggur dengan nilai Rp 56.542.000.
2. SMAN 2 Metro menyimpangkan Rp92.279.000.
3. SMKN 2 Bandarlampung Rp 244.568.250.
4. SMKN 8 Bandarlampung Rp 145.000.000.
Hanya itu? Tidak juga. Penyimpangan dana BOSP lainnya pada tahun anggaran 2023 lalu digunakan sebagai honorarium kepada pegawai sebanyak Rp 238.373.150. Realisasi belanja honorarium dana BOSP yang tidak sesuai ketentuan ini terjadi pada 8 sekolah, yaitu 3 SMAN dan 5 SMKN. Sekolah apa saja itu?
1. SMAN 1 Punggur senilai Rp 46.355.000.
2. SMAN 3 Bandarlampung Rp 12.610.000.
3. SMAN 5 Bandarlampung Rp 285.000.
4. SMKN Padang Cermin Rp 29.812.500.
5. SMKN 8 Bandarlampung Rp 8.970.000.
6. SMKN 1 Seputih Surabaya Rp 96.095.000.
7. SMKN 4 Bandarlampung Rp 991.400.
8. SMKN 2 Bandarlampung Rp 43.254.250.
Realisasi penggunaan anggaran BOSP yang tidak taat azas dan jauh dari kepatutan tersebut juga terjadi pada 10 sekolah lainnya yang berada dibawah naungan Disdikbud Lampung, dengan nilai penyimpangan tidak kurang dari Rp 532.689.779.
Sekolah mana saja yang merealisasikan anggaran BOSP tahun 2023 tidak sesuai dengan kondisi kenyatanya tersebut, dan berapa nilai dana yang “dimainkan” masing-masing sekolah? Ini uraiannya:
1. SMAN 1 Purbolinggo dengan nilai penyimpangan juknis sebanyak Rp 76.287.710.
2. SMAN 2 Metro Rp 6.800.000.
3. SMAN 2 Padang Cermin Rp 1.198.800.
4. SMKN 1 Gadingrejo Rp 196.816.000.
5. SMKN 1 Seputih Surabaya Rp 15.462.000.
6. SMKN 2 Bandarlampung Rp 52.570.269.
7. SMKN 2 Terbanggi Besar Rp 70.680.000.
8. SMKN 4 Bandarlampung Rp 12.700.000.
9. SMKN 7 Bandarlampung Rp 88.000.000.
10. SMKN Padang Cermin Rp 12.175.000.
Dengan demikian, dari anggaran BOSP sebesar Rp 312.234.440.000 di tahun 2023 lalu, sebanyak Rp 1.309.452.179 yang menurut BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung tidak digunakan sebagaimana ketentuan perundang-undangan alias senyatanya sebagai penyimpangan.
Sudahkah ada pertanggungjawaban atas penyimpangan tersebut dengan mengembalikannya ke kas daerah sebagaimana rekomendasi BPK? Biarlah Kepala Disdikbud yang baru –Thomas Amirico- menelusurinya dan pada saatnya membuka fakta yang sebenarnya mengenai keberadaan uang rakyat Lampung yang dikelola OPD sebelum ia bertugas disana.
Carut Marut Penggajian
Bila menelisik lebih dalam, masih banyak tata kelola dan penggunaan anggaran di jajaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung pada tahun anggaran 2023 lalu yang meninggalkan masalah.
Bahkan, untuk urusan pemberian gaji dan tunjangan kepada pegawainya pun banyak mengalami kesalahan. Sampai-sampai terjadi kelebihan pembayaran terhadap setidaknya 115 orang dengan jumlah total tidak kurang dari Rp 577.686.032. Hal ini terungkap dalam data rekapitulasi contra post dan penyesuaian belanja berkurang yang ditandatangani PPK, Zulkifli Masruri, pada 31 Desember 2023.
Bagaimana dengan penggunaan dana BOS selama ini era Disdikbud dipimpin Sulpakar? Tunggu kelanjutannya. (bersambung/kgm-1/inilampung)