Oleh: HERI WARDOYO
Jurnalis Senior
JUNI 2025, di antara desing rudal balistik dan masifnya pembalasan Iran terhadap Israel, saya teringat sejarawan Yahudi, Ilan Pappé.
Dia tegak sebagai suara ganjil dari puing-puing ribuan bangunan di Tel Aviv atau bandara Ben Gurion.
Pappè bukan penuduh dari luar. Dia anak kandung sejarah Israel yang memutuskan tidak bersekutu dengan pelupa.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera Januari lalu, Pappé merumuskan seberkas kalimat yang menggema seperti pekik lonceng terakhir: “This is the last phase of Zionism.” Zionisme, kata dia, meniti titik akhir hayatnya; bukan cuma disebabkan keok perang, tapi karena kalah makna.
Zionisme, sejak awal abad ke-20, lahir dari luka diaspora dan mimpi keselamatan. Namun, seperti banyak proyek kolonial pemukim lainnya, ia tumbuh bukan melalui rekonsiliasi dengan tanah dan penghuninya, melainkan lewat penghapusan dan penyangkalan.
Palestina, tanah nan tak pernah lengang, dikosongkan secara sistematis -- bukan hanya dari tubuh-tubuh manusianya, tapi dari narasi sejarahnya. Pappé menyebutnya tanpa ragu: ethnic cleansing.
Sejak tragedi Nakba (pengusiran dan pengungsian massal warga Palestina selama perang Arab-Israel, 1948) hingga kini, proyek Zionis bergantung pada satu mesin: pengusiran yang disamarkan sebagai keamanan, pendudukan yang dijustifikasi sebagai hak Ilahi.
Kini, mesin itu berkarat. Di internal Israel sendiri, jurang sosial dan ideologis menganga. Polarisasi politik menajam, demokrasi menipis, dan wajah negara yang dulu dielu-elukan sebagai “oasis demokrasi di Timur Tengah” berubah menjadi entitas militeristik mulai diisolasi dunia. Seperti kata Samuel Huntington dalam teori political decay, ketika institusi gagal beradaptasi dengan realitas sosial yang berubah, pembusukan politik menjadi keniscayaan. Francis Fukuyama menyebutnya political rot atau kematian lambat dari sistem yang tak lagi punya kemampuan memperbarui dirinya.
Dan inilah yang dikatakan Pappé: Zionisme hari ini bukan sekadar gagal menjawab tantangan zaman, tapi telah menjelma sebagai beban sejarah yang terus-menerus mengikis fondasi etik negara itu sendiri. “Ini bukan lagi gerakan pembebasan,” kata Pappé, “melainkan proyek kolonial yang kian kehilangan topengnya.” Dalam perumpamaan yang lebih tajam: rot from within, pembusukan dari dalam.
Pappé tak hanya menawarkan autopsi. Ia juga membuka jendela menuju angin baru; sirkulasi yang menyegarkan kemanusiaan. Ia menyerukan satu negara demokratis, bukan dua negara yang absurd, bukan status quo yang mencekik. Bagi Pappé, solusi bukanlah sebatas penataan ulang batas, melainkan penataan ulang imajinasi moral: satu tanah, dua bangsa, dan satu hak yang setara untuk semua. Paradigma ini bukan sekadar visi politik, tapi lompatan spiritual. Ia memerlukan keberanian mencintai yang dulu dianggap musuh, dan kejujuran mengakui luka yang pernah disangkal.
Ada gema Edward Said di sini, ada bayang Mahatma Gandhi, jejak Martin Luther King Jr, bahkan samar tercium kharisma Mandela. Mereka percaya bahwa keadilan sejati hanya mungkin lahir jika kita mampu melampaui kebencian yang diwariskan sejarah.
Hari ini, kita melihat Israel bukan sebagai monolit yang kuat, tapi sebagai tubuh ideologis yang retak, dan kekuatan militer yang compang-camping.
Sang Zionie bersimbah kutukan karena terus-terusan mengandalkan represi di Gaza demi mempertahankan narasi.
Tapi dunia kini tak lagi sama bagi Israel. Dunia yang tak lagi mudah dibungkam telah bergerak. Warga mulai mengutuk Netanyahu. Generasi Yahudi muda di Barat pun mulai bertanya, bahkan lantang menolak kekejian di tanah Palestina. Di universitas, di jalan-jalan, di forum digital, muncul pertanyaan suci: apakah keselamatan bisa dibangun di atas penderitaan? Di balik pertanyaan itu, terbit sebentuk harapan: Zionisme mungkin mati, tapi -- jika tidak sekalipun -- bahkan kemungkinan hidup bersama pun tidak akan semudah kemarin.
Esai ini bukan requiem, tapi hanya transmiter yang menyampaikan lonceng penanda perubahan. Ilan Pappé mengajarkan kita bahwa sejarah bukan milik para pemenang, melainkan milik mereka yang tak berhenti bertanya. Di tengah reruntuhan ideologi Zionis, mungkin inilah saatnya membangun tatanan baru: bukan dengan kekuasaan, tapi dengan pengakuan. Bukan dengan tembok, tapi dengan jembatan. Bukan dengan kebohongan suci, tapi dengan keberanian menatap luka dan menyembuhkannya bersama.
Zionisme mungkin segera tiba di bab terakhirnya. Dan dari abu ideologi itu, barangkali kita bisa menulis ulang kisah yang lebih indah -- babak di mana yang bukan haknya tak lagi diperebutkan; saat sejarah tidak lagi dikutuk hanya untuk berulang, tapi diberi peluang menebus dirinya.
Dan di sanalah, seperti bisik Matahari terakhir yang terpancar dari kemilau Laut Tengah, keadilan mungkin menemukan tanahnya kembali.
***