![]() |
| DR. Adies Kadir, Wakil Ketua DPR RI |
INILAMPUNGCOM --- Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, DR. Adies Kadir menyampaikan pandangan tajam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135/PUU-XXII/2024 dalam sebuah diskusi publik.
Adies yang juga Plt. Ketua DPD Golkar Lampung itu -- mengulas inti dari putusan MK yang dinilainya membawa tafsir baru terhadap sistem pemilu serentak nasional.
Alih-alih, kata dia, memberi arah dengan penyederhanaan Pemilu, Mahkamah Konstitusi kini justru menambah kompleksitas persoalan baru.
Golkar menurutnya akan tetap menghormati putusan MK 135, tapi bukan berarti tak boleh diuji dengan akal sehat. Demokrasi butuh desain, bukan eksperimen,” ujar Adies, dalam diskusi publik DPP Golkar di Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Diskusi publik diselenggarakan Bidang Kebijakan Hukum dan HAM DPP Partai Golkar. Acara itu menghadirkan sejumlah pakar dan politisi; Prof. DR. Mahfud MD, DR. Arteria Dahlan, dan Prof. DR. Valina Singka.
Thema diskusinya cukup menantang, “Quo Vadis Pemilu Indonesia; Dampak Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024 Terhadap Pemilu Serentak 2019”. Dan, diikuti ratusan peserta dan siarkan lewat zoom metting, pengurus Golkar se-Indonesia
Mengguncang Peta Politik dan Teori Hukum
Dalam sambutannya, Adies Kadir yang juga Wakil Ketua DPR RI menyampaikan bahwa putusan MK 135 bukan hanya berdampak secara teknis terhadap penyelenggaraan Pemilu, tetapi juga memunculkan ketegangan dalam kerangka hukum dan politik nasional.
"Putusan 135 ini mengguncangkan dunia hukum dan dunia politik," katanya.
Ada yang bilang keputusan ini final dan mengikat, harus diikuti. Tapi ada juga yang bilang final and binding yang mengikat karena ada beberapa keputusan yang kontradiktif. Dampaknya luar biasa putusan ini.
Adies juga mengulas inti dari putusan MK yang dinilainya membawa tafsir baru terhadap sistem pemilu serentak nasional.
Menurutnya, pembagian pemilu menjadi dua tahap sebagaimana dimandatkan MK justru menimbulkan tantangan baru yang perlu ditelaah secara cermat.
Jadi putusan MK 135 itu menyatakan bahwa sistem Pemilu serentak nasional adalah inkonstitusional dan memberikan tafsir bahwa Pemilu harus diselenggarakan dalam dua tahap.
"Sekilas ini nampak merupakan solusi yang sistemik, tapi mari kita cermati putusan ini secara kritis,” ujarnya.
Ketua Umum MKGR itu mengingatkan, amar putusan MK tersebut masuk ke dalam wilayah teknis yang seharusnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, bukan lembaga yudikatif.
Hal inilah yang kemudian justru menciptakan kerumitan baru dalam sistem kepemiluan nasional.
"Perdebatannya kembali lagi, Pilkada masuk rezim Pemilu atau tidak. DPRD masuk rezim Pemilu atau tidak. Sehingga seolah-olah mahkamah memaksa pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusional. "
Dia menyerukan agar desain demokrasi tidak didasarkan pada pendekatan eksperimental, melainkan pada perencanaan yang matang.
Diskusi ini menjadi refleksi penting dalam merespons perkembangan konstitusional dalam politik terbaru ---sekaligus menunjukkan komitmen Partai Golkar untuk terus mengawal sistem demokrasi dan pemilu yang berkeadilan. (baim)


