Festival Krakatau 2025 dibuka Wakil Gubernur Lampung, Jihan Nurlela, Sabtu (5/7/2025)
Wakil Gubernur Lampung, Jihan Nurlela, membuka Festival Krakatau 2025. FK yang dihelat tahunan ini sempat vakum. Adakah sentuhan bagi masyarakat -- wisatawan -- dari pelaksanaan FK tersebut? Berikut catatan seniman teater Alexander Gebe dari status FB pribadinya, Minggu (6/7/2025).
*
Kemarin, Festival Krakatau kembali dibuka, tentu kita tidak tahu berapa anggaran dibutuhkan untuk acara yang terkesan seremonial dan tidak jelas dampaknya bagi pertumbuhan kebudayaan Lampung, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai pelaku teater, saya cukup prihatin dengan ekosistem seni-budaya semacam ini. Pemerintah tampaknya belum benar-benar merancang visi kebudayaannya, meski perda kemajuan kebudayaan sudah diterbitkan satu tahun lalu.
Sudah sifatnya Kapitalisme, membuat yang sakral menjadi profan, yang orientasinya proses digeser orientasinya ke pasar (pariwisata) - ekonomi semata, ekspresi budaya menjadi produk budaya yang cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar--nilai guna dari perspektif ekonomi, yang sekuler, maka munculah istilah industri wisata.
Kegiatan semacam ini tentu tidak selalu negatif karena mungkin jaman menghendaki begitu, namun dominasi orentasi pada produk atau pada hasil ini, mengabaikan proses berkebudayaan masyarakatnya, lambat laun akan berdampak kurang bagus bagi kelangsungan hidup kebudayaan Lampung di masa mendatang.
Ironisnya meski Festival Krakatau adalah salah satu program kebudayaan utama provinsi ini, sedikit pihak yang berkenan mengkritisi. Tidak ada dialog. Jadi masyarakat harus berpikir sendiri, mengkaji ulang urgensi-acara semacam ini. Belum lagi banyak ihwal lain dari kebudayaan yang luput kita perhatikan bersama, yang hidup segan mati enggan, terkatung-katung nasibnya, menunggu entah kapan akhirnya ada good-will pemerintah kota maupun provinsi. Misalnya nasib Bahasa Lampung, transmisi nilai-nilai dan ekspresi budaya Lampung, pembangunan manusia sebagai pelaku budaya, dan lain sebagainya.
Kita membangun jalan, membangun gedung, membangun jembatan, pasar, membeli mobil-kendaraan yang bagus-bagus, tapi kita belum sungguh peduli dengan kualitas manusianya.
Orientasi pembangunan kita hingga hari ini hanya memenuhi kebutuhan-mengakomodasi aspek fisik kebudayaan saja, sementara aspek bathinnya dibiarkan merana, dan akhirnya kehidupan kebudayaan tidak berjalan harmoni, tidak seimbang. Sesuatu yang tidak seimbang, berarti bisa miring ke kiri, ke kanan, atau sempoyongan... ya begitulah.***