![]() |
Prof. Dr. Hamzah, SH, MH, PIA. |
INILAMPUNG.COM, Bandarlampung - Silang sengkarut yang muncul di masyarakat terkait rencana ukur ulang lahan HGU PT Sugar Group Companies (SGC) mendapat perhatian serius dari Prof. Dr. Hamzah, SH, MH, PIA.
“Kenapa kita semua jadi siwek (riuh-rendah, red) ya soal rencana ukur ulang lahan SGC. Itu kan cuma pintu masuk buat dilakukan hal yang sama pada perusahaan-perusahaan lain yang ada di Lampung,” tutur Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila) itu, Jum’at (25/7/2025) pagi.
Berikut pernyataan Prof. Dr. Hamzah, SH, MH, PIA, dalam wawancara khusus dengan inilampung.com:
Bagaimana Prof melihat persoalan tanah di daerah Lampung ini?
Persoalan tanah di Indonesia wabil khusus di Sumatera, dari Sumatera Utara sampai dengan Lampung, sesungguhnya ada kata kunci yang tidak pernah diungkapkan.
Apa kata kunci yang tersembunyi itu, Prof?
Kata kunci dari semua permasalahan terkait tanah tentunya. Padahal, pendiri negara kita sudah clear dalam menyelesaikannya. Hanya saja, para petualang yang sebenarnya budak menjadi raja dengan nafsu keserakahannya, menjadi ganjalan.
Bisa Prof uraikan apa saja kata kunci dalam hal ini?
Saya jelasin satu persatu ya. Pertama, sebelum ada negara Indonesia ini, Amerika dan Australia menjadi tempat pembelajaran terbesar bagi para pendiri negara kita dalam hal persoalan tanah. Amerika pada upayanya untuk menguasai tanah, mereka melakukan genosida kepada Suku Indian. Masih ingetkan, waktu kecil kita nonton film Cowboy lawan Suku Indian. Nah, itu gaya Amerika dalam menguasai tanah rakyatnya.
Terus, Prof..?
Yang kedua, Australia. Untuk mendirikan negara, Australia mencontoh Amerika, dengan melakukan genosida kepada Suku Aborigin. Belajar dari sinilah maka pendiri negara kita menyatukan pikiran bahwa Republik ini tidak mau melakukan hal yang sama, yang dilakukan oleh Amerika dan Australia.
Konkritnya setelah itu?
Setelah NKRI berdiri, maka undang-undang pertama dan monumental yang dibuat oleh para pendiri Republik ini adalah UUPA atau Undang-Undang Pokok Agraria. Dari sini jelas cerdasnya para pendiri negeri ini, yang mengatakan bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara. Inget ya, bukan memiliki. Tapi menguasai.
Apakah ada praktik yang menyimpang dari menguasai dan memiliki ini, Prof?
Ada. Saya pernah baca di media, bahwa jalan provinsi disertifikatkan oleh Gubernur menjadi milik Pemprov Lampung. Saya bingung, siapa-lah yang memberi masukan ke Gubernur soal itu, ini kan sesat dan menyesatkan.
Kembali ke soal tanah, Prof. Bagaimana saat Belanda menjajah negeri ini?
Terhadap tanah negeri kita ini, sebut saja Nusantara ya, Belanda sebagai negara penjajah, lewat lewat proses RBg, RR, dan IS, tidak pernah memiliki tanah. Bahkan, ketika mereka perlu tanah untuk perkebunan yang hasilnya untuk membangun Nederland, mereka malah menyewa kepada masyarakat adat. Kita mengenalnya dengan hak erfpacht.
Nah, bagaimana kelanjutan hak erfpacht itu saat ini?
Ini anehnya. Sudah hampir 80 tahun Indonesia merdeka, hak erfpacht itu belum pernah dikembalikan ke pemilik sahnya, yaitu masyarakat adat Lampung khususnya. Yang terjadi justru pembodohan.
Maksudnya pembodohan bagaimana, Prof?
Masyarakat adat Lampung malah diminta bukti kepemilikan surat atas tanah mereka. Kan lucu ini. Karena mereka menikah saja tidak ada surat nikah, apa terus mau dibilang kalau perkawinannya tidak sah? Kan tidak juga.
Dalam perkembangannya, perusahaan-perusahaan milik Belanda saat itu dijadikan apa?
Negara mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Belanda pasca Indonesia Merdeka itu telah di-nasionalisasikan. Tapi, nanti dulu kita bicara soal PT. PTPN dan sebagainya.
Kenapa begitu, Prof?
Karena yang harus dibersihkan adalah jalan berpikir konstruksi hukumnya. Bahwa yang di-nasionalisasikan itu perusahaannya, bukan tanahnya. Jadi, ini yang mestinya sama-sama dipahami oleh semua pihak.
Kaitannya dengan itu, apa yang menurut Prof penting untuk ditekankan?
Mari kita luruskan bersama pemikiran dan atau cara tindak para pemimpin di Lampung ini, mulai dari Gubernur, Bupati dan Walikota.
Maksudnya, Prof..?
Para pemimpin pemerintahan di Lampung jangan membiarkan ide ukur ulang HGU tanpa batas tersebut. Seharusnya kan kembalikan dulu hak erfpacht tanah hak ulayat atau renegosiasi/adendum dulu hak atas tanah itu pada pemiliknya, yaitu masyarakat adat. Bukan malah ditindih dengan HPL, HGU, atau HGB.
Terlepas dari soal itu, adanya rencana ukur ulang HGU PT SGC bagaiman dimata Prof?
Soal tanah SGC itu cuma pintu masuk untuk para pemimpin pemerintahan di Lampung –Gubernur, Bupati/Walikota- menyelesaikan persoalan tanah di provinsi ini. Dan perusahaan-perusahaan pemegang HGU, HPL, HGB, maupun Erfpacht di Lampung seperti PT. PTPN, PT. GMP, PT. Gunung Aji Jaya, PT. Tunas Baru Lampung Tbk, PT. Bumi Sari Maju Sukses ini pun tidak lebih baik dari SGC. (kgm-1/inilampung)