![]() |
Diantara pengusaha yang sudah masuk daftar terkaya di Indonesia |
Oleh: Zuli Hendriyanto Syahrin
Daftar 29 Orang Terkaya di Indonesia yang dirilis Forbes Billionaires List, seperti diberitakan media pada 18 Juli 2025, menurut pandangan saya, mencerminkan jurang ketimpangan ekonomi yang masih lebar di negeri kita. Di bawah Kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto, Pemerintah memiliki kesempatan emas untuk mendorong konglomerat mengambil tanggung jawab penuh mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat.
Tanggung jawab ini bukan pilihan, melainkan amanat konstitusi yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Mari kita bahas dan tawarkan solusi konkret.
Kesenjangan Ekonomi: Ancaman Nasional
Kesenjangan ekonomi adalah bom waktu. Pemerintah harus menerapkan pajak kekayaan progresif tanpa kompromi, sesuai Pasal 23A UUD 1945. Untuk keadilan sosial, langkah-langkah kunci meliputi:
1. Transformasi DJP & Audit Kekayaan: DJP Kementerian Keuangan RI harus diperkuat untuk mengaudit kekayaan sesuai UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan menindak pengemplang pajak. Data DJP menunjukkan potensi selisih penerimaan pajak 15-20% dari target.
2. Pusat Data Kekayaan Nasional: Mendesak pembentukan pusat data terpadu dan transparan untuk menegakkan UU No. 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Integrasi data masih belum optimal (BPK, 2023).
3. Pengawasan Publik: Sediakan platform pengaduan cepat dan bebas intervensi (UU No. 14 Tahun 2008), serta lindungi pemerhati demokrasi (UU No. 40 Tahun 1999, UU No. 17 Tahun 2013).
Realita ketimpangan yang memilukan, data yang membuktikan ketidakadilan sosial
1. Oxfam dan INFID (2023): Kekayaan 4 orang terkaya setara dengan 100 juta penduduk termiskin.
2. Bank Dunia (2022): 1% orang terkaya menguasai sekitar 40% total kekayaan nasional.
3. Global Wealth Report 2025 (Credit Suisse/UBS): Piramida kekayaan Indonesia lebih curam dari rata-rata negara OECD.
Solusi Mendasar: Mengatasi Dominasi Kapital, untuk mengatasi "kanker" ketimpangan, perombakan total diperlukan:
1. Penegakan Hukum Tegas: Basmi monopoli (UU No. 5 Tahun 1999) dengan sanksi progresif dan pencabutan izin usaha. KPPU 2024 mencatat lebih dari 50 kasus dugaan monopoli. Lakukan perampasan aset kejahatan TPPU (UU No. 8 Tahun 2010) secara konsisten.
2. Investasi Berdampak Transformasional (UU No. 32 Tahun 2009): Perusahaan raksasa wajib memiliki Dana Investasi Dampak Wajib dari keuntungan bersih. Terapkan insentif dan disinsentif pajak tegas. Galakkan Obligasi Hijau dan Sosial (POJK No. 51/POJK.03/2017).
Statistik dan Layanan Dasar yang Mengkhawatirkan
1. BPS (September 2024): Gini Rasio nasional sekitar 0,388. Analisis pengeluaran BPS menunjukkan 20% penduduk terkaya menguasai >45% pengeluaran nasional, sementara 40% termiskin hanya sekitar 17%. Ini menuntut reformasi perpajakan progresif (UU No. 7 Tahun 2021/UU HPP) dan penguatan penegak hukum (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001).
2. Kesenjangan Layanan Dasar:
- Pendidikan: Kesenjangan akses internet dan perpustakaan, memperparah perbedaan skor Ujian Nasional hingga 15-20% (Kementerian Pendidikan 2023), melanggar Pasal 31 UUD 1945.
- Kesehatan: Akses kesehatan dan sanitasi tidak merata berkontribusi pada angka stunting tinggi (21,5% balita stunting menurut Kementerian Kesehatan 2024), bertentangan dengan Pasal 28H ayat 1 UUD 1945. Rasio dokter per 1.000 penduduk di Indonesia masih di bawah standar WHO (0,4-0,5 per 1.000) (IDI 2024).
![]() |
Zuli Hendriyanto Syahrin |
Solusi Nyata: Investasi Berlandaskan Hati Nurani
1. Restitusi Sosial: Konglomerat didorong berinvestasi besar pada pendidikan inklusif (UU No. 20 Tahun 2003) melalui inkubator/akselerator inovasi sosial dan Dana Ventura Filantropis.
2. Kesehatan Merata: Investasi untuk layanan kesehatan terjangkau hingga daerah terpencil (UU No. 36 Tahun 2009), didukung inisiatif bantuan hukum pro-bono.
Mengungkap Akar Masalah Kesenjangan Struktural
Kekayaan terkumpul dari sistem ekonomi dan regulasi yang melanggengkan ketimpangan:
1. Desain Sistem Ekonomi Tidak Adil: Mempercepat konsentrasi kekayaan. Sebagian besar petani menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar (Sensus Pertanian BPS 2023), dan 1% pemilik lahan terbesar menguasai >50% lahan pertanian produktif (Global Land Forum 2025), melanggar Pasal 33 UUD 1945.
Solusi: Terapkan Pajak Kekayaan Progresif Ekstrem (Wealth Tax), Audit Forensik DJP Mandiri (UU KUP), Investasi Transformatif Pertanian Berkelanjutan (UU No. 19 Tahun 2013), Reformasi Kebijakan Pertanahan Adil (UU No. 5 Tahun 1960/UUPA).
2. Dampak Negatif Pertumbuhan Bisnis:
- Kejahatan Lingkungan: Deforestasi masif (0,4-0,5 juta hektar/tahun menurut KLHK/KLH), melanggar UU No. 41 Tahun 1999 & UU No. 32 Tahun 2009.
- Eksploitasi Tenaga Kerja: Upah di bawah standar layak (Survei 2024 menunjukkan rata-rata UMR hanya 60-70% KHL), melanggar UU Ketenagakerjaan Pasal 88 & 90 dan UU No. 13 Tahun 2003.
- Pengabaian HAM: Angka kecelakaan kerja mengkhawatirkan (5-7 kasus kematian buruh/hari menurut BPJS Ketenagakerjaan 2024), melanggar UU No. 1 Tahun 1970.
Solusi: Pencabutan Izin Permanen & Sanksi Progresif, Upah Layak & Perlindungan Buruh (PP No. 36 Tahun 2021), Dana Kompensasi & Restorasi Lingkungan Wajib.
3. Praktik Monopoli dan Kolusi: Melanggar UU Antimonopoli No. 5 Tahun 1999 dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. IPK 2024 stagnan; KPK mencatat sekitar 15-20 kasus korupsi sektor swasta per tahun.
Solusi: Bangun Ekosistem Rantai Pasok Inklusif UMKM (UU No. 20 Tahun 2008). UMKM menyumbang >60% PDB, tetapi <20% terdigitalisasi (Kementerian Koperasi dan UMKM 2024). Terapkan Kebijakan Pro-Kompetisi & Anti-Monopoli Tegas (UU No. 5 Tahun 1999). Perkuat Kejaksaan, KPK, Polri, dan lakukan Perampasan Aset Kejahatan Korporasi Tanpa Kompromi (UU No. 8 Tahun 2010).
4. Filantropi "Tambal Sulam": Seringkali hanya pencitraan, tidak menyentuh akar masalah struktural, melanggar UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 74. Hanya <30% perusahaan besar memiliki laporan keberlanjutan komprehensif (Forum CSR Indonesia 2023). Pemerintah perlu mewajibkan pendidikan publik & literasi ekonomi-hukum analitis (UU No. 14 Tahun 2008 & UU No. 28 Tahun 2004).
Transformasi Sosial dan Kemakmuran Merata: Perombakan Besar
Konglomerat harus menjadi katalisator perubahan, mewujudkan amanat Pancasila, khususnya Sila Kelima. Lima Pilar Transformasi Ekonomi Indonesia:
1. Reformasi Perpajakan Progresif dan Transparan: Pajak Kekayaan Progresif Ekstrem, Kriminalisasi Pelanggar Pajak, Data Kekayaan Nasional akurat (UU No. 9 Tahun 2017), Kerja Sama Internasional Anti-Penghindaran Pajak. CITA 2022 melaporkan potensi kehilangan penerimaan negara Rp 100-200 triliun/tahun dari penghindaran pajak korporasi.
2. Investasi Berdampak Sosial dan Lingkungan Inovatif: Dana Investasi Dampak Wajib, Insentif dan Disinsentif Pajak Mengikat, Obligasi Hijau dan Sosial (POJK No. 51/POJK.03/2017). Investasi krusial meliputi Energi Terbarukan (UU No. 30 Tahun 2007) untuk menutup gap investasi $30 miliar hingga 2030, Pertanian Berkelanjutan (UU No. 19 Tahun 2013) karena tingkat kemiskinan tertinggi di pedesaan (13% pada 2024), Pendidikan Inklusif (Pasal 31 UUD 1945, UU No. 20 Tahun 2003) untuk mengatasi skor PISA di bawah rata-rata OECD, Kesehatan Merata (Pasal 28H ayat 1 UUD 1945, UU No. 36 Tahun 2009), dan Pengembangan UMKM (UU No. 20 Tahun 2008).
3. Kemitraan Inklusif dan Pemberdayaan Ekonomi Akar Rumput: Inkubasi dan Akselerasi UMKM Didanai Penuh (UU No. 20 Tahun 2008), Kebijakan Pro-Kompetisi dan Anti-Monopoli Tegas (UU No. 5 Tahun 1999), Kemitraan Tripartit.
4. Advokasi Kebijakan Pro-Keadilan Sosial dan Anti-Korupsi: Membangun Koalisi Bisnis, Penguatan Lembaga Penegak Hukum Independen, Peningkatan Transparansi Lobi dan Sumbangan Politik (UU No. 7 Tahun 2017), Pengadaan Publik Responsif Sosial. Forest Watch Indonesia/Greenpeace melaporkan deforestasi signifikan terkait konglomerat; IPK stagnan menunjukkan korupsi serius (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001).
5. Mendorong Budaya Filantropi Strategis dan Akuntabel: Hanya sekitar 15% yayasan besar rutin mempublikasikan laporan dampak terperinci (Filantropi Indonesia 2023). Perlu peningkatan dan wajibkan pendidikan publik & literasi ekonomi-hukum analitis (UU No. 14 Tahun 2008 & UU No. 28 Tahun 2004).
Peran Kunci Kementerian Keuangan RI dan Komisi XI DPR RI. Kedua lembaga ini vital dalam mewujudkan keadilan sosial:
1. Kementerian Keuangan RI: Menerapkan Pajak Progresif (UU No. 7 Tahun 2021), memperkuat DJP, mengoptimalkan UU No. 9 Tahun 2017 untuk data keuangan, mendorong investasi sosial/lingkungan.
2. Komisi XI DPR RI: Mengawasi fiskal dan anggaran, mengawal legislasi pajak kekayaan ekstrem dan penegakan hukum korporasi, menyelenggarakan pengawasan transparan termasuk audit forensik kekayaan konglomerat, serta aktif mencegah monopoli dan korupsi.
Tantangan Krusial Kepemimpinan Strategis
Kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan komitmen awal. Namun, tantangan sesungguhnya adalah membongkar praktik oligarki dan rente, bahkan jika harus berhadapan dengan kepentingan konglomerat.
Rakyat menaruh harapan besar agar Beliau dapat menuntaskan amanat Konstitusi dan Sila Kelima Pancasila melalui penegakan hukum tanpa pandang bulu dan restrukturisasi ekonomi yang berpihak pada keadilan sosial. Ini adalah pertaruhan besar bagi reputasi sejarah kepemimpinan Indonesia berkeadilan.(*)
- Zuli Hendriyanto Syahrin,
- Aktif di KAHMI dan pegiat diskusi Hukum-Ekonomi, tinggal di Jakarta