![]() |
Korwil BEM SI Sumbagsel, Ammar Fauzan, |
INILAMPUNGCOM -- Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lampung (Unila) selaku Korwil Bem SI Sumbagsel secara tegas menolak kedatangan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) di Provinsi Lampung.
Demikian pernyataan Ketua BEM Unila sekaligus Korwil BEM SI Sumbagsel, Ammar Fauzan, melalui rilis, Kamis 24 Juli 2025.
Kapolri berkunjung ke Lampung dalam rangka peluncuran tim sepak bola Bhayangkara Presisi FC.
Penolakan ini, kata Ammar, bukan tanpa alasan. Bagi kami, kehadiran simbolik Kapolri dalam kegiatan hiburan olahraga di tengah krisis akuntabilitas aparat kepolisian justru mencerminkan sikap abai terhadap desakan reformasi yang semakin kuat di masyarakat.
Reformasi Kepolisian bukan lagi sebatas agenda wacana. Ia adalah sebuah keharusan yang mendesak untuk dijalankan secara sistematis dan menyeluruh. Dalam konteks Lampung, krisis kepercayaan terhadap institusi kepolisian telah mencapai titik krusial. Banyak kasus kekerasan, penyiksaan terhadap tahanan, serta praktik pembunuhan di luar proses hukum (extra judicial killing) yang hingga hari ini tidak pernah diselesaikan secara adil dan transparan.
Salah satu kasus paling mencolok adalah extra judicial killing almarhum Romdhon yang didampingi LBH Bandar Lampung yang merupakan warga Kabupaten Lampung Timur yang hingga saat ini pelakunya tidak pernah mendapat sanksi tegas,
“Tak hanya itu, Lima rekan kami yang merupakan massa aksi may day yang ditetapkan tersangka oleh kepolisian kota Semarang yang hari sedang berhadapan dengan hukum sebab dituduh merusak fasilitas umum pemerintah. Tentu ini menjadi preseden buruk untuk wajah demokrasi bangsa,* katanya.
Ditambahkan belum lagi perkara dugaan penyiksaan terhadap peserta diklat Mahepel yang hari ini dalam proses penyidikan belum sama sekali ditetapkan sebagai tersangka serta data yang dihimpun dari KontraS mencatat sepanjang periode Juli 2024 hingga Juni 2025 yaitu selama genap setahun, terdapat sebanyak 38 peristiwa penyiksaan yang dilakukan oleh institusi Polri. Tentu ini cermin buruk yang tak terelakan lagi di hadapan masyarakat.
*Alih-alih menyelesaikan kasus-kasus ini, institusi Polri justru sibuk menampilkan citra “lembut” lewat pendekatan budaya dan olahraga. Pendirian tim Bhayangkara Presisi FC, serta pelibatan artis dan kegiatan hiburan lain yang diklaim sebagai bagian dari pendekatan humanis, menjadi tameng pencitraan untuk menutupi borok kekerasan struktural yang masih terjadi di tubuh kepolisian.”
Kedatangan Kapolri ke Lampung untuk meluncurkan tim sepak bola, tanpa satu pun agenda mendengarkan aspirasi korban atau mengevaluasi kinerja Polda Lampung, adalah bentuk pengabaian terhadap realitas sosial yang terjadi di bawah. Apakah pantas seorang pimpinan institusi penegak hukum hadir untuk perayaan, sementara rakyat masih berduka dan menanti keadilan?
Masih kata Ketua BEM Unila ini, pihaknya mempertanyakan ke mana arah reformasi Polri yang selama ini dijanjikan. Apakah hanya berhenti di meja konferensi pers dan baliho-baliho kampanye institusional? Sementara aparat di lapangan tetap menjalankan kekuasaan secara brutal, tanpa rasa takut terhadap hukum, dan tanpa rasa hormat terhadap hak asasi manusia?
Krisis ini bukan hanya persoalan Lampung. Ini adalah potret nasional. Namun ketika Lampung menjadi salah satu provinsi dengan tingkat kekerasan aparat yang tinggi dan proses hukum yang tidak tuntas, maka seharusnya kedatangan Kapolri menjadi momen refleksi dan koreksi institusional. Sayangnya, yang hadir hanyalah seremoni, bukan solusi.
Kami, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lampung, dengan ini menyatakan bahwa kami tidak akan diam. Kami menolak segala bentuk pencitraan yang menutupi persoalan mendasar di tubuh kepolisian. Kami menolak normalisasi kekerasan aparat. Dan kami menuntut:
Bahwa Kapolri harus segera mengevaluasi total kinerja Polda Lampung dan menindak tegas seluruh jajaran yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.
Bahwa negara, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia, tidak bisa terus-menerus menutup luka dengan panggung hiburan. Bahwa keadilan tidak bisa ditukar dengan sepak bola.
Dan bahwa institusi penegak hukum yang baik bukan dinilai dari seberapa meriahnya panggungnya, melainkan dari seberapa serius ia memperjuangkan rasa aman dan hak hidup warganya. BEM Universitas Lampung akan terus berdiri bersama masyarakat sipil untuk mendesak perubahan. Ini bukan soal sepak bola. Ini soal keadilan. Ini soal nyawa manusia.(bd/inilampung)