INILAMPUNGCOM --- Banyaknya aset tanah Pemprov Lampung yang belum tersertifikasi kini menjadi perhatian serius Gubernur Rahmat Mirzani Djausal dan Wagub Jihan Nurlela.Terbukti, dua pekan ini secara berurutan di Ruang Rapat Inspektorat digelar pembahasan mengenai percepatan penyelesaiannya.
Hari ini, Senin (7/7/2025), Asisten Administrasi Umum Sulpakar memimpin rapat tindaklanjut pemaparan masing-masing OPD terkait progres percepatan penyelesaian sertifikasi tanah milik Pemprov Lampung itu.
Rapat diikuti Inspektur Bayana, Kepala Bapenda Slamet Riadi, Kadis Dikbud Thomas Amirico, Kadishub Bambang Sumbogo, Kadis BMBK M. Taufiqullah, Kadis Kehutanan Yayan, Kadis Kelautan & Perikanan, Kadis Sosial Aswarodi, Plt Kepala BPKAD Nurul Fajri, dan Plt Kadis PMD & Transmigrasi, Saipul.
Diketahui, aset tanah Pemprov Lampung per 31 Desember 2024 sebesar Rp 2.313.100.548.536,34, terjadi penambahan Rp 6.027.300.682,31 dibandingkan nilai per 31 Desember 2023 di posisi Rp 2.307.073.247.854,03.
Mengacu pada Laporan Keuangan Pemprov Lampung Tahun 2023, terdapat fakta ada 26 aset tanah pemprov yang sejak puluhan tahun “ditelantarkan” pengurusan atau kepastian hukumnya.
Padahal, nilainya cukup besar, yaitu Rp 91.638.379.000.
Data puluhan aset “ditelantarkan” yang diungkap dalam Laporan Keuangan Pemprov Lampung Tahun 2023 ditandatangani Arinal Djunaidi –saat itu masih Gubernur- Mei 2024 tersebut, kembali dipaparkan dalam LHP BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung Nomor: 40.A/LHP/XVIII.BLP/05/2024, tertanggal 3 Mei 2024.
Diketahui, 26 aset tanah pemprov yang “ditelantarkan” alias tidak diseriusi pengurusannya itu, terdiri dari beberapa klasifikasi. Yaitu aset dalam proses ligitasi, aset tanah yang sertifikatnya telah dimiliki oleh Pemprov Lampung dan dikuasai masyarakat tanpa adanya perjanjian yang sah, aset tanah milik pemprov yang belum bersertifikat dan dikuasai masyarakat tanpa perjanjian, serta aset tanah milik pemprov yang belum bersertifikat atas nama pemprov dan memiliki sertifikat atas nama orang lain atau kondisi telah diduduki oleh masyarakat.
Apa saja aset tanah –yang sebenarnya- milik Pemprov Lampung namun selama ini “ditelantarkan” dalam kepastian hak kepemilikan dan penguasannya? Diantara yang masuk kategori aset dalam proses ligitasi adalah tanah dan bangunan Bumi Perkemahan Kwartir Daerah Pramuka di Trans Pramuka, Way Jepara, Lampung Timur.
Tanah seluas 3.102.310 m2 perolehan tanggal 18 Maret 1979 senilai Rp 2.166.000.000, dengan nomor sertifikat P.1/RBL, P.2/RBL, P.3/RBL, dan P.4/RBL itu dikuasai masyarakat adat. Lahan sudah sertifikat hak pakai atas nama Kwartir Daerah Pramuka Provinsi Lampung ini bermasalah sejak tahun 2000-2001, setelah Pusat Latihan Perintis Pembangunan Regional Pemuda Pramuka (PPRT) tidak beraktivitas, dipakai oleh masyarakat dan diklaim sebagai tanah adat.
Persoalan tanah yang berlokasi di Desa Sukadana Udik, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur, itu pernah gelar perkara di Polres Lampung Timur dan ada 4 orang yang ditetapkan sebagai tersangka jual beli tanah (mafia tanah). Meski hingga kini belum jelas titik akhir aset ini, namun keberadaannya masih tercatat di dalam Kartu Identitas Barang (KIB) A Pemprov Lampung (intracomptable).
Bagaimana dengan aset tanah yang sertifikatnya telah dimiliki pemprov namun dikuasai masyarakat tanpa ada perjanjian yang sah?
Jumlahnya cukup banyak, ada 12 aset. Diantaranya adalah tanah dan bangunan kantor dan rumah dinas milik UPTD Jalan dan Jembatan Wilayah I Dinas BMBK yang berada di Jalan Raya Gedong Tataan, Desa Sukaraja, Gedong Tataan, Pesawaran.
Aset tanah seluas 2.035 m2 perolehan 29 September 1990 senilai Rp 5.400.000 ini meski telah memiliki sertifikat nomor: 3, namun secara fisik penguasaannya ada di masyarakat setempat.
Memang, patok dan plang Pemprov Lampung masih ada di lokasi, tetapi fisik tanahnya dikuasai masyarakat dengan membuka warung-warung. Sampai saat ini, aset tersebut masih tercatat di KIB A (intracomptable).
Juga aset berupa tanah perkebunan karet dan lain-lain yang menjadi tanggung jawab Dinas Perkebunan. Luasnya 661.790 m2, perolehan tanggal 31 Maret 1969, senilai Rp 1.898.000, berada di Jalan Raya Tanjung Ratu Ilir, Desa Tanjung Ratu Ilir, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah.
Sebagian aset yang sudah bersertifikat dengan nomor: P1/TR Ilir itu dikuasai masyarakat untuk menanam singkong, tetapi –ini ironisnya- pemprov sendiri belum mempunyai data yang pasti mengenai berapa luas aset yang selama ini “diberdayakan” oleh masyarakat setempat. Karena memang belum ada upaya hukum apapun dari pemprov terkait lahan tersebut. Yang pasti, sampai tahun 2023 kemarin, keberadaan aset ini masih tercatat di dalam KIB A (intracomptable).
Ketiga, aset berupa tanah bangunan rumah negara tanpa golongan seluas 578 m2 perolehan tanggal 27 September 1957 berlokasi di Bukit Kemuning, Lampung Utara, senilai Rp 5.780.000.
Tanah dan bangunan yang menjadi tanggung jawab UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan VII Way Waya Tangkit Tebak Dinas Kehutanan itu telah memiliki sertifikat nomor: 9 BKT, tetapi fisiknya dikuasai masyarakat. Pemprov Lampung belum pernah ada upaya hukum apapun hingga saat ini. Dan masih tercatat di KIB A (intracomptable).
Keempat, aset berupa tanah dan bangunan rumah negara golongan II seluas 295 m2 perolehan 26 Maret 1958 di Liwa, Lampung Barat, senilai Rp 6.400.000. Walau memiliki sertifikat dengan nomor: 4, namun aset tersebut selama ini dikuasai masyarakat dan pemprov belum ada upaya hukum apapun. Keberadaan aset yang menjadi tanggung jawab UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan II Liwa Dinas Kehutanan Lampung itu masih tercatat di KIB A (intracomptable).
Terus, aset Pemprov Lampung apalagi yang “ditelantarin” selama ini?
(bersambung/kgm/)