Cari Berita

Breaking News

Minyak, Bisnis, dan Politik di Era AI: Sebuah Pengantar

Dibaca : 0
 
Rabu, 23 Juli 2025



Oleh Denny JA


“Minyak bisa mengangkat bangsa seperti Arab Saudi, tapi juga menghancurkan negeri seperti Venezuela. Lantas, apa yang bisa Indonesia pelajari sebelum terlambat?”


Pada bulan Mei 2020, ketika dunia sedang lumpuh karena pandemi. Di kota industri Norilsk di utara Rusia, terjadi sebuah bencana yang tak banyak diberitakan di Indonesia. 

Lebih dari 20.000 ton diesel tumpah ke sungai dan tanah beku tundra Arktik. Sungai-sungai memerah. Tanah membusuk oleh racun. 

Presiden Putin marah besar. Perusahaan Norilsk Nickel didenda lebih dari $2 miliar.

Tapi lebih dari sekadar bencana lingkungan, kejadian ini adalah alegori yang getir. Sebuah negeri yang dulu menaklukkan langit dengan roket dan merancang revolusi global, kini tergelincir dalam lumpur industri tua.

Ini luka permanen akibat ketergantungan pada energi fosil dan kelumpuhan dalam memperbarui sistem.

Dan pertanyaan pun muncul:
Bagaimana caranya agar Indonesia tidak menyusul Norilsk? Apa yang terjadi jika hutan Kalimantan memerah, bukan karena matahari senja, tapi karena tumpahan minyak dari kilang yang menua?

-000-


Minyak adalah paradoks. Ia berkah yang bisa membiayai sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur. 

Tapi ia juga kutukan yang menyuburkan korupsi, merusak demokrasi, dan menghancurkan ekosistem. 

Sejak sumur pertama di Dammam 1938 menyembur, sejarah dunia seolah berubah menjadi novel distopia. Perang terjadi demi minyak, rezim jatuh karena harga minyak, dan negara-negara menjadi pecandu anggaran dari sumur yang makin tua.

Dari gurun Saudi hingga rawa-rawa Nigeria, dari rig-rig di Alaska hingga kilang di Balikpapan, kita menyaksikan pola berulang: ketika energi dikendalikan tanpa etika, ia akan menjadi senjata yang menghantam balik penciptanya.

Indonesia sendiri tak kebal. Di balik subsidi BBM yang menyenangkan rakyat, tersembunyi jurang fiskal yang mengintai. Di balik pundi-pundi migas, ada potensi jebakan Venezuela.

Lantas, di mana titik keseimbangannya?

-000-


Ketika manusia pertama kali menemukan api, ia menghangatkan gua dan mengusir malam. Tapi kemudian, manusia belajar menyulut bahan bakar. Dan kini, kita sampai pada titik ketika mesin mulai menyulut bahan bakar tanpa kita.

AI—Artificial Intelligence—adalah api kedua.

Hari ini, ladang-ladang minyak lepas pantai dikendalikan dari ribuan kilometer lewat sensor dan algoritma. Pemetaan reservoir dilakukan oleh jaringan neural. 

Proyeksi harga minyak ditentukan oleh machine learning yang menganalisis geopolitik, cuaca, dan konsumsi global secara simultan.

Namun, pertanyaannya bukan hanya soal efisiensi. Pertanyaannya adalah:

Apakah dengan AI, kendali energi akan menjadi lebih demokratis—atau justru lebih terpusat kepada segelintir korporasi dan negara?


Ada masa ketika negara adalah aktor tertinggi. Tapi di abad ke-21, negara harus berbagi panggung dengan korporasi—terutama korporasi minyak.

Chevron pernah menolak keputusan pengadilan di Ekuador. ExxonMobil mempengaruhi regulasi iklim di Washington. 

TotalEnergies menjadi penentu kebijakan luar negeri Prancis di Afrika. Dan kini, bahkan AI pun dikembangkan oleh mereka—bukan oleh pemerintah.

Kita hidup dalam dunia ketika “Big Oil” lebih besar dari sebagian besar negara.

Dan jika algoritma mereka kini mengatur produksi, distribusi, dan bahkan prediksi konflik, maka energi bukan hanya milik publik, tapi milik kapital. Dan kapital, tanpa etika, adalah iblis yang bersayap teknologi.

-000-

Apa yang Bisa Indonesia Pelajari?

Indonesia berada di persimpangan. Kita bukan negara kaya minyak seperti Arab Saudi, tapi juga bukan negara miskin energi. 

Kita punya Pertamina, punya cadangan, punya geopolitik yang strategis. 

Tapi kita juga punya sejarah korupsi migas, subsidi boros, dan eksploitasi yang melukai lingkungan.

Apa yang bisa kita pelajari dari Venezuela, dari Nigeria, dari Norilsk, dari Big Oil, dari AI?

1. Diversifikasi adalah napas masa depan. Jangan hanya bergantung pada minyak. Bangun ekosistem energi terbarukan yang serius, bukan hanya slogan.

2. Bangun AI sendiri. Jangan sekadar jadi pasar teknologi asing. Latih anak-anak bangsa untuk mengendalikan algoritma eksplorasi, bukan sekadar menjadi operator bor.

3. Reformasi tata kelola migas. Libatkan masyarakat sipil, perkuat transparansi, dan jadikan energi sebagai hak, bukan komoditas politik.

4. Etika dalam energi. Jangan hanya tanya: seberapa murah energi ini? Tapi juga: siapa yang menderita agar energi ini tersedia?

Di Sulawesi Tengah, PLTA Poso berkekuatan 515 MW menjadi bukti bahwa energi terbarukan bukan sekadar wacana. 

Ia menyuplai listrik ke jaringan Trans-Sulawesi dan menyerap ribuan tenaga kerja lokal. 

Namun proyek ini juga memicu protes warga, terutama nelayan dan petani, karena pengerukan Danau Poso mengubah ekosistem dan memicu konflik lahan. 

Energi hijau tetap membawa paradoks lama: kemajuan versus keadilan. Tanpa keterlibatan komunitas, transisi energi hanya mengganti kutukan dari minyak ke beton. 

Masa depan energi Indonesia haruslah bukan hanya bersih, tapi juga adil—agar suara lokal ikut menentukan arah pembangunan nasional.

-000-

Saya menulis dari  kisah terbaik dan terburuk sejarah minyak di muka bumi. Saya renungkan hasil riset ataupun kesaksian pemain lapangan yang berkunjung ke site-site eksplorasi.

Juga dari pertemuan mereka dengan tim-tim geolog, dari keringat teknisi yang bermalam di rig, dari tatapan nelayan yang lautnya mulai hangat karena pipa.

Ketika saya menerima amanah sebagai Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi, saya menerima bukan hanya tanggung jawab struktural, tapi juga tanggung jawab spiritual. Karena saya percaya:
Energi bukan hanya komoditas, ia adalah urat nadi bangsa.

Dan setiap keputusan dalam dunia energi adalah keputusan moral.

Buku ini adalah perjalanan: dari ladang berdarah ke pusat data, dari sumur tua ke panel surya, dari Indonesia ke dunia, dari minyak ke AI.

Manusia tidak harus menghancurkan bumi untuk bergerak. Manusia hanya perlu mengerti: bahwa energi adalah amanah, bukan milik. Bahwa kendali harus seiring nurani, bukan hanya algoritma.

Jika api pertama membuat manusia lebih unggul dari hewan, maka api kedua—AI dan energi—akan menentukan apakah manusia lebih unggul dari ketamakan dan keserakahan dirinya sendiri.

-000-


Energi akan selalu jadi pusat peradaban. Tapi siapa yang memegang takhtanya, dan untuk tujuan apa—itulah pertanyaan besar kita.

Indonesia belum terlambat. Tapi waktu tidak menunggu.

Seperti bara yang menyala perlahan di balik tanah, keputusan hari ini akan menentukan apakah anak cucu kita hidup dalam cahaya—atau dalam asap yang kita wariskan.

Selamat membaca.
Semoga setiap bab bukan hanya menyulut wawasan, tapi juga menyalakan kebijaksanaan.

Karena siapa menguasai energi, menguasai peradaban.
Dan siapa berjalan di atas nurani, ia penjaga keadilan di muka bumi.***

Jakarta, 23 Juli 2025

________
REFERENSI
“Russia Declares Emergency Following Spill of 20,000 Tons of Oil in the Arctic Circle” 

Arctic Circle oil spill prompts Putin to declare state of emergency - BBC News

1. The Prize: The Epic Quest for Oil, Money, and Power
(Daniel Yergin, Simon & Schuster, 1990)

2. AI Superpowers: China, Silicon Valley, and the New World Order
(Kai-Fu Lee, Houghton Mifflin Harcourt, 2018)


LIPSUS