Cari Berita

Breaking News

Puisi Murni itu adalah Dia; Tentang Tubuh dan Mati dalam Puisi Isbedy

Dibaca : 0
 
Kamis, 24 Juli 2025



Oleh Hudan Hidayat



Bergunakah hasrat mendefinisikan? Bukankah segalanya bersinggungan? Singgungan yang membuat definisi tidak tegas batasnya. Kita mendefinisikan dunia. Apakah dunia? Pertanyaan yang segera memunculkan isi dunia. Tanpa isinya dunia kehilangan makna. Apa dunia? Tidak ada kecuali dunia dengan isi dunia.

Apakah dunia mengenal ketinggian? Bahwa dunia kalah tinggi dengan hidup. Hidup lebih tinggi dari dunia. Kehidupan membuat dunia ada. 


Dunia ada karena, sekali lagi, ada isinya. Isi dunia ini yang hidup, membuat secara pengertian, kehidupan lebih tinggi dari keduniaan. Keduniaan ada karena adanya kehidupan. Manusia bagian dari dunia, begitu juga dengan hewan, serta tumbuhan. Mereka adalah kehidupan. Dari dalam kehidupan ini muncul sebuah kata yaitu sastra. Apakah sastra? Sastra tidak punya makna andai tidak ada isinya. Sastra itu seperti dunia: ada isinya. Apakah isi sastra? Apakah isi dunia? Isi dunia adalah segala rupa kehidupan. Isi sastra juga begitu: segala rupa kehidupan di dalam dunia ini. Di dalam dunia ini kita mengenal kehidupan setelah dunia ini - berakhir. Ia adalah isi sastra seperti segala rupa kehidupan saat ini - saat sebelum dunia ini - berakhir. 


Kehidupan, dunia, tidak ada artinya tanpa bahasa. Kehidupan diciptakan oleh bahasa. Bahasa menciptakan kehidupan yang kita sebut dunia melalui nama-nama. Ia adalah kata - menunjuk kepada isi dunia yang hidup, dihidupkan oleh bahasa. 


Tetapi apakah bahasa? Tidak ada bahasa tanpa pikiran, tidak ada pikiran tanpa kesadaran. Kesadaran menyadari bahwa ia berpikir, atau merasakan. Pikiran dan perasaan menjadi penggerak bahasa. Bahkan ia adalah bahasa. Tetapi juga: ia adalah pikiran. Ia kesadaran yang menyadari. Kita sadar tentang dunia dan isinya. Ia adalah benda-benda. Benda-benda yang dinamai. Kata menamai benda-benda. 


Benda-benda dikenal melalui kata. Ada momen saat benda belum tercipta sehingga kata tidak bisa menamainya. Bahkan kata juga belum ada. Benda dan kata baru akan diadakan. Diadakan melalui gerakan serentak: imajinasi bersama metafora. Kita sadar membuat sastra. Bahannya adalah dunia, segala isi dunia yang hidup. Ia kita bentukkan menjadi bahasa, menjadi sastra. Tetapi bukan bentuk yang memonopoli karena bentuk sastra bisa muncul di mana saja. Seperti bentuk bukan sastra muncul di sastra. Dari dalam kehidupan juga muncul sebuah kata selain sastra adalah ilmu. Apakah ilmu menjadi seakan apakah sastra atau apakah dunia dan apakah hidup. Begitulah titik yang bersinggungan itu - disebabkan oleh titik yang satu. 


Apakah titik yang satu ini? Ia adalah awalan dari segala ada, yang kita sebut dengan dunia, atau hidup. Kita hidup dalam dunia. Kita hidup dalam kehidupan di mana mediumnya adalah dunia. Apabila misalnya seseorang berkata "Ibu Penjaga Gelombang", maka cerita ini barulah disebut sastra apabila lolos dari penjagaan ilmu - ilmu sastra. Lolos dalam artian mutunya, bukan pengertian yang karena sedemikian banyaknya isi dunia membuat isi dunia saling berhimpit - batasnya tumpang-tindih. Di batas ini pengertian menyala. Cahayanya bukan apakah artinya tapi bagaimana mutunya. Cahaya yang menerangi. Ilmu adalah cahaya yang menerangi sastra. Seandainya sebuah sastra bersinar maka sastra ini telah berhasil mewujudkan ilmu sastra dalam dirinya. Sebuah ilmu sastra berkata: "Dikau pengantin perawan kesunyian", kalimat yang dilepaskan oleh sebuah mulut di sebuah halte bus. Ilmu sastra yang sama berkata: "Tidakkah Anda tahu bahwa supir-supir sedang mogok?" Ia meminta kita merasakan "disproporsi antara penanda-penanda dan petanda-petanda". Bahwa kalimat kedua itu bukan sastra, sementara kalimat pertama adalah sastra. 


Apakah bentuknya prosa, atau puisi? Ia bisa terjadi di kedua bentuk ini. Bentuk pertama bukan ujaran biasa. Bentuk kedua ujaran biasa. "Sastra tindak kekerasan teratur terhadap ujaran biasa", katanya. Begitu ia diyakini - sebagai ilmu. Apabila sastra hendak dibuat, maka sastrawan harus mengamalkan ilmu ini. Tetapi justru di sini kita akan menemukan: betapa ia itu tidak mungkin. 


Membayangkan sebuah novel di mana kalimat-kalimatnya membuat pengasingan terus-menerus adalah membayangkan kelelahan demi kelelahan yang tak ada akhirnya. Bahkan cerita pendek, yang pendek, bukan yang panjang, akan sulit dibentukkan secara "disproporsi" - mengasingkan. Kita memandangi pengasingan ini dari dua jurusan, jurusan seperti yang ditengarainya bahwa: "masalah lain dengan kasus 'pengasingan' adalah tidak ada jenis tulisan yang tidak dapat dibaca sebagai 'mengasingkan' - bila diberi orisinalitas tertentu", serta benda-benda yang memang asing dalam dirinya sendiri, atau asing tanpa bahasa. Sebuah konsep filosofis bisa dibaca sebagai pengasingan dalam jenis bahasa, tapi juga benda-benda walau untuk mempraktikkannya kita harus meminjam bahasa. 


Cogito misalnya, dua komponennya telah berhasil mengasingkan aku ke dalam wajahnya: meragukan dan memikirkan - ada. Kegiatan subjek ini membuat aku itu asing - ia bukan aku orang ramai. Tapi aku orang sendiri - individu, yang mampu meragukan dan memikirkan. Walau dikerjakan bersama tapi pada hakikatnya gerak meragukan dan memikirkan adalah gerak aku misterius di dalam tubuh. 


Aku badan yang terasa saat indera-indera menyertainya. Saat si aku ini meraih kepastian, gerak itu adalah gerak aku mirruhi yang sendiri dan sunyi - kita di dalam tubuh sendiri - begitu misterius, penuh tanda tanya. Saat sebuah ilmu masuk ke ilmu sastra ini, ilmu filsafat, daya jelajahnya menjadi tak terkendali. Mirruhi itu bergerak ke mana-mana. Misalnya ke fisika. Kita berpikir tentang atomik dan menemukan sub atom yaitu elektron. 


Tapi hanya nama serta lakunya - bendanya menghilang ke dalam apa yang kita sebut atom - atom tubuh. Tubuh kita material atom - tapi yang pandai berpikir, pandai meragukan. Apakah kata kerja itu mungkin tanpa adanya kata sifat? Sifat benda, hakikatnya. Ia eksis bekerja. "Konsep tersebut memadat pada titik aku", melintasi ada, termasuk dirinya. 


Bahasa menjadi aneh, asing, tanpa harus mengubah materialnya. Cukup seperti katanya: "Diriku sendiri yang meragukan, aku berpikir, aku ada, aku adalah sesuatu yang berpikir." Seandainya dari filsafat ini kita menyeberang ke sastra, lalu menukar subjeknya - bukan lagi filsafat tapi sastra, maka aku-lirik itu adalah wajah dari aku tubuh yang meragukan, aku yang berpikir. Aku menjadi puitik: dirinya sedang mewujudkan apa yang sedang ia bayangkan. Yang ia bayangkan adalah kesangsian. Itulah sebabnya ia menamai dirinya "barangkali", mungkin. "Barangkali mati di pantai hati." Ia adalah sastra, tepatnya: ia itu sebuah baris puisi yang memukau - "mati di pantai hati." Tapi mungkin, bukan sebuah kepastian. Kini kita mulai meraba si aku yang kini tanpa bahasa. Tapi tak mungkin - seluruh kekuatan pengertian ini ada karena adanya aku yang menyadari. Tanpa bahasa berarti si aku keluar dari  tata bahasa. 


Akibatnya tidak ada aku. Aku menghilang bersama menghilangnya aku yang menuliskan dirinya - geraknya meragukan, geraknya memikirkan. Aku yang terbujur dengan peralatan lengkap kecuali ruhnya. Dia belum bersiul meniupkan ruhNya ke tubuh kita - Adam dan Hawa. 


Puisi Murni 


Boleh jadi puisi murni itu adalah Dia - pencipta yang lagi sendiri. Apa jadinya kalau gerakan Kuntowijoyo itu diarahkan ke sini? Kunto seperti Abdul Hadi WM - keduanya ingin kembali ke asal, kembali ke sumber. Kembali ke akar kata Abdul Hadi. Napas untuk "kembali" ini kita lihat di fenomena sastra kita. Mereka itu merumuskan kenyataan - kembali. Sastra berdialektik terhadap realitas, dalam bayangan Kuntowijoyo. 


Munculnya "Kaba Dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra", buku Umar Yunus, atau "Sastra Jalur Kedua", buku Mursal Esten", adalah usaha "kembali" itu - seraya membayangkan serenteng hasil di tangannya - ialah teori sastra. 


Berhasilkah gerakan-gerakan ini? Kata mulai dilibatkan. Sastra Jalur Kedua itu adalah hasrat untuk mengimbangi Sastra Jalur Pertama, yakni sastra jalur mem-Barat - jalur Sutan Takdir dan Surat Kepercayaan Gelanggang. Dan ia tak harus kiri, kata Mursal. Tapi sebuah bentuk, arus pertemuan kecil-kecil di tempat-tempat yang jauh. Pertemuan antara "dominasi" dan "pinggirannya". Merentang dari Indonesia ke dunia, gerak-gerak itu adalah gerak-gerak mereka yang merenungi masanya, misalnya sebuah tancapan yang dikerjakan Ezra Pound. "A Few Don'ts" adalah "perintah" walau dihaluskan - ia bukanlah mozaik larangan, kata Pound. 


Sementara itu, seorang penganut fanatik Teori Sujud Li Sajidin, Budi Riyoko, menulis: "Puisi tak mengenal mati, sebab di dalamnya Mim menyinari, kata tak mengenal kegelapan sebab kata bukan hiasan tapi pilihan, diksi tidak bersembunyi pada penafsiran tapi arti hadirNya. Mim merindu atau kita yang tak tahu cara merindu?" Betapa kebenaran itu berdentang di Ezra Pound, hasratnya mencari seperti hasrat Abdul Hadi dan Kuntowijoyo - yang terakhir lewat Sastra Profetik, lebih luas dari ikhtiar jemari Ezra Pound. Runtun bunyi yang bekerja di puisi kini membalik menjadi runtut tanya di pena ilmu. Imajisme diniatkan melawan romantisme dalam puisi. 


Tetapi, apakah dasarnya? Apa bedanya? Sungguhkah ia berbeda bukan, kembali dan selalu: ditarik persamaan. Tak kita temukan dalam "A Few Don'ts", dasar berpuisi, kecuali aspirasi membaguskannya, setidaknya dalam pandangan "Imajisme". Dasar yang bernapas intrinsik. Mim belum melambai ke sini. Imaji, yang disentuh Ezra Pound, adalah kehadiran serentak pikiran dan emosi, terbuka untuk kita hayati: saat ada-lain bersentuh dengan kita, saat ini, bahkan lain itu, dalam diri kita sendiri. "An 'Image' is that which presents an intellectual and emotional complex in an instant of time." 


Tiap kata adalah imaji, tiap benda juga, Mr Ezra Pound. Sebab benda, kata, menjadi putik di dalam jiwa. Mata mengirimkan kesan-kesan itu ke dalam, terendam di dalam, menjadi ingatan di dalam. Ingatan tentang jalannya Teori Sujud Li Sajidin, titiknya bertemu dengan "A Few Don'ts", sebelum berbeda karena "Sujud Li Sajidin" terus menyelam di kedalaman, meninggalkan Ezra Pound di permukaan. Kegiatan meraut kata dalam puisi adalah sambungan dari dunia nyata, di mana ikhtiar meraut, tak lain renungan akan hakikat benda-benda, dalam peristiwanya. Benda adalah material tetapi tubuh dihidupi oleh mirruhi. Selain Ia, makhluk, setiap makhluk, adalah ciptaan yang bernyawa. Seperti nyawa setiap puisi Isbedy Stiawan ZS. 

Isbedy bersama keluarga saat berobat di salah satu rumah sakit

"Sebelum-puisi" lalu sama pentingnya dengan "sesudah-puisi" (puisi itu sendiri). Gerakan mundur maju yang tak terhindarkan. Melarang puisi dengan menghilangkan dekorasi-bahasa demi anggapan memoto kenyataan setepatnya, bukanlah satu-satunya kebajikan. Suara tak pernah tunggal. Usaha mengekalkan melalui Kredo hanyalah versi dari tafsir si aku yang sedang merenungi dunia. 


Keserentakan adalah niscaya, melibatkan yang konkret dan yang abstrak. Ada beda esensial antara dua kata ini: hiasan, dan khiasan. Hiasan menambahkan, khiasan mengumpamakan. Badan adalah dasarnya, pakaian hiasannya. Hati adalah intinya, pakaian terbaik adalah taqwa. Mr Ezra Pound ilmu sastranya tak sampai ke sini: "larangannya" sejauh menyangkut "puisi" itu sendiri. Kata adalah hiasan benda: benda berbaju ialah bahasa: kata, menyelimuti benda seperti hati menjadi tudung: diri. Jangan merumbai-rumbaikan bahasa, katanya ("use either no ornament or good ornament"), hanya sejauh menyangkut hasrat penyair: menghadirkan seni ke dalam bentuk puisi. Rapikan kata yang akan terpakai, bukanlah mengerkah hiasan sebagai inti kehadiran. 


Kenyataan telanjang tanpa baju adalah "pornografi". Hiasan lalu menjadi adab badan: ditutupi. Hiasan lalu menjadi adab puisi: tak bergerak sendiri. Kita memerlukan "bunga dunia" untuk mengucapkan tubuh: apa, mengapa, ke mana, si tubuh ini. Seperti Isbedy memerlukan mati, masuk ke puisi-puisinya.



KAMI di sini

tahu tubuh 

mesti diperiksa

terlalu jauh kau 

menderu, mesin

dalam tubuhmu

sudah panas, harus

dibengkelkan, suara 

yang mengajak kami 

ke sini; bertiga di kursi

panjang yang disinggahi

lalu ditinggalkan;

berganti-ganti

seperti kami,

orang-orang - pasien --

datang, duduk, lalu 

masuk ruang itu 

untuk dijampi;

berikutnya pergi 

-- berpacu di roda 

                umur -- 


20 Juli 2025. ***


____

*) Hudan Hidayat adalah sastrawan, pembaca sastra, dan kritikus. Tinggak di Lebak Bulus Jakarta




LIPSUS