Cari Berita

Breaking News

Soal Rakor OPD Habiskan Rp88 M: Ini Modus Tilep Anggaran

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 16 Juli 2025

Dedy Hermawan (ist/inilampung)

INILAMPUNGCOM Terungkapnya fakta jika pada tahun anggaran 2024 jajaran OPD di lingkungan Pemprov Lampung menghabiskan dana sebanyak Rp 88.983.417.716 untuk tema kegiatan yang sama, yaitu rapat koordinasi dan konsultasi SKPD, menuai keprihatinan pengamat kebijakan publik dari Fisip Unila, Dr. Dedy Hermawan.


Apakah wajar semua OPD punya agenda yang sama seperti ini; apa ini bukan bagian dari modus untuk menilep anggaran berbungkus kegiatan,” kata dia, Selasa (15/7/2025) malam


Apa saja penilaian Dr. Dedy Hermawan yang juga dikenal sebagai penggiat Ruang Demokrasi (RuDem) itu terhadap dihamburkannya uang rakyat oleh OPD di lingkungan Pemprov Lampung sebanyak Rp 88 miliar lebih hanya untuk agenda rakor dan konsultasi SKPD?

Berikut petikan wawancara khusus inilampung.com:


Menurut Anda, apakah wajar anggaran Rp 88 miliar hanya untuk rakor dan konsultasi SKPD?

Anggaran sebesar itu menjadi tidak wajar apabila isinya sarat dengan potensi korupsi, pemborosan, dan tidak mendukung peningkatan kinerja birokrasi untuk mencapai visi pembangunan daerah. 


Jadi memang tidak wajar ya?

Kalau dikaitkan dengan kinerja pembangunan Provinsi Lampung tahun 2024, maka anggaran sebesar Rp 88 M tersebut menjadi tidak wajar. Karena kinerja sepanjang tahun 2024 lalu justru banyak tidak tercapai, dan kalaupun tercapai dengan hasil yang minimalis


Bisa diberi contoh kinerja yang tidak tercapai itu?

Banyak target-target kinerja yang tidak tercapai sepanjang tahun 2024 lalu. Sebagai contoh target yang tidak tercapai tahun 2024, yaitu target kinerja pendapatan dan realisasi belanja APBD 2024,tidak ada yang tercapai. Rendahnya kinerja pencapaian pertumbuhan ekonomi, lambatnya penurunan angka kemiskinan, dan IPM Lampung masih terendah di Sumatera. 


Bagaimana dengan kerentanan terhadap praktik korupsi anggaran?

Nah, apalagi jika dikaitkan dengan kerentanan korupsi. Kita kan tahu, Pemprov Lampung masih terkategori sebagai provinsi yang rentan korupsi. Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK RI Tahun 2024 menempatkan Pemprov Lampung sebagai Provinsi Rentan terjadinya tindak pidana korupsi dengan Skor 65.83. Skor ini turun sebanyak 2.61 poin dari tahun sebelumnya sebesar 72.9.


Menurut Anda, apa saja faktor kerawanan terjadinya praktik korupsi di lingkungan Pemprov Lampung?

Ada beberapa dimensi yang rawan terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, yaitu: pengelolaan anggaran, pengelolaan pengadaan barang dan jasa, dan pengelolaan SDM. Jadi, anggaran Rp 88 M untuk rapat-rapat koordinasi dan konsultasi di setiap OPD itu memang sangat tidak wajar. Sarat pemborosan, tidak mendukung kinerja pembangunan, dan bahkan kemungkinan terdapat indikasi korupsi didalamnya. Ini yang perlu didalami oleh DPRD melalui pansus dan lembaga pengawas lainnya, supaya ada penindakan tegas untuk mencegah hal yang sama di tahun-tahun berikutnya.


Apa yang harus dilakukan Gubernur Mirza agar mata anggaran semacam ini tidak melegenda?

Saatnya Gubernur Rahmat Mirzani Djausal hadir nyata dalam reformasi tata kelola keuangan Pemprov Lampung. Janji politik Gubernur kepada rakyat Lampung dan tercantum pada visi dan misinya agar menjadi “panglima” dalam penyusunan anggaran dan belanja daerah. Jangan biarkan APBD melenceng dari janji dan visi Gubernur.


Konkritnya seperti apa? 

Sangat dibutuhkan keputusan dan tindakan tegasdari Gubernur Mirza untuk mencoret dan memangkas mata anggaran yang berpotensi korupsi, pemborosan, berlebihan, dan tidak efektif untuk pencapaian kinerja Gubernur. Oleh karena itu, Gubernur diharapkan memeriksa kembali seluruh item anggaran Pemprov Lampung dari hulunya.


Anda ada saran untuk Gubernur Mirza?

Sederhana saja saran saya, yaitu kedepannya Gubernur Mirza jangan segan-segan untuk melibatkan KPK dalam perencanaan anggaran, sehingga kasus Rp 88 M yang sarat pemborosan dan tidak signifikan mendukung kinerja pembangunan daerah, tidak terjadi lagi. Kemudian, menerapkan transparansi total perencanaan keuangan dengan memanfaatkan IT, sehingga masyarakat bisa langsung memberikan koreksi apabila terindikasi menyimpang.


Selain itu, ada lagi saran Anda?

Selain itu, Gubernur tetap memastikan bahwa: Pertama, rancangan anggaran tahun 2025 ini tetap mematuhi Instruksi Presiden Nomor: 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor:900/883/SJ tentang Penyesuaian dan Efisiensi Belanja Daerah dalam  APBD Tahun Anggaran 2025, dan aturan-aturan pemerintah pusat lainnya. Kedua, rancangan anggaran tahun 2025 telah “on the track” pada janji politik dan visi Gubernur.


Selanjutnya..?

Ketiga, Gubernur harus memeriksa penggunaan anggaran Rp 88 M itu benar-benar bersih daripotensi korupsi dan pemborosan. Pastikan bahwa anggaran sudah dibingkai dalam kerangka pencegahan korupsi, karena Provinsi Lampung masih berstatus sebagai provinsi rentan korupsi. Keempat, memastikan bahwa kegiatan rakor dan konsultasi SKSD tersebut sudah berbasis teknologi dengan memanfaatkan rapat-rapat virtual dan pembatasan pertemuan tatap muka.


Menurut Anda, kenapa hal semacam itu terus berulang setiap tahun anggaran dan tidak pernah menjadi temuan terkait penyimpangan anggaran?

Ada banyak faktor, seperti kegagalan dalam menerapkan perencanaan berbasis kinerja, pengawasan pusat yang lemah, belum optimalnya pemanfaatan IT, budaya feodal birokrasi, pemeriksaan sebatas adminstratif, dan tidak hadirnya kepemimpinan dalam perencanaan anggaran. Semua faktor tersebut beroperasi dalam sistem perencanaan keuangan daerah di lingkungan Pemprov Lampung. Terjadi dari setiap periode kepemimpinan. 


Jadi, faktor kepemimpinan cukup dominan ya?

Apabila merujuk pada berbagai pengalaman praktik reformasi keuangan daerah, memang salah satu faktor yang menentukan perubahan adalah faktor kepemimpinan. Mulai dari komitmen dan tindakan nyata pimpinan tertinggi yaitu Gubernur. Gubernur harus memimpin tata kelola anggaran yang berorientasi clean government, minim pemborosan, berbasis outcomes dan impact daripada sekadar output, dan peka dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. (kgm-1/inilampung)

LIPSUS