(Klarifikasi Sejarah & Warisan Budaya Masyarakat Adat Lampung)
Oleh : Doni Afandi, SE (Kakhiya Pukhba Makuta)
Merespons pemberitaan di media daring TintaRakyat.com berjudul “Keluarga Ahli Waris Radin Inten II Protes Tema Tuping di Festival Krakatau: Pemprov Lampung Tidak Dilibatkan, Nilai Budaya Diabaikan”, saya yang berasal dari salah satu Paksi dari Marga Ratu Keratuan Ratu Menangsi di Desa Taman Baru, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan, merasa perlu memberikan klarifikasi dan pandangan atas klaim sepihak terhadap simbol budaya tuping (topeng) Lampung.
Tuping merupakan bagian dari kekayaan budaya masyarakat Lampung yang telah hidup dan berkembang sejak masa lampau, jauh sebelum era kolonial maupun kemunculan tokoh-tokoh sejarah seperti Radin Inten II. Budaya tuping bukanlah warisan eksklusif keluarga atau keturunan tertentu, melainkan bagian dari kearifan kolektif masyarakat adat yang diwariskan lintas generasi dari peradaban asli Lampung.
Menjadikan simbol budaya seperti tuping sebagai hak milik privat atau garis keturunan tertentu merupakan bentuk penyempitan nilai budaya yang seharusnya inklusif dan terbuka untuk seluruh masyarakat adat Lampung, baik dari wilayah Saibatin maupun Pepadun.
Untuk memahami posisi tuping secara utuh, kita perlu merujuk pada sejarah Paksi Pak Sekala Brak sistem adat tertua di Lampung yang menjadi fondasi pembentukan marga, keratuan, dan struktur masyarakat adat di wilayah ini. Empat Kepaksian utama Kepaksian Bejalan Di Way, Kepaksian Belunguh, Kepaksian Nyerupa, dan Kepaksian Pernong telah sejak dahulu mengembangkan bentuk-bentuk ekspresi budaya dan simbolisasi adat, termasuk penggunaan tuping yang di Lampung Barat dikenal dengan sakura, dalam berbagai upacara adat, pertunjukan seni, hingga ritus keagamaan dan spiritual.
Karenanya, tuping dalam konteks adat bukan hanya sekadar topeng fisik, tetapi merupakan lambang transformasi spiritual dan penghormatan terhadap peran leluhur, roh pelindung, serta gambaran nilai-nilai moral dalam masyarakat adat. Bukti keberadaan praktik budaya ini dapat ditelusuri sejak masa pra-Islam di wilayah Sekala Brak yang kemudian bertransformasi saat masuknya ajaran Islam pada abad ke-14 hingga ke-15.
Dalam konteks tersebut, budaya tuping telah menjadi bagian dari ritual dan seni di berbagai wilayah adat Lampung sejak berabad-abad sebelum kelahiran Radin Inten II (tahun 1834).
Meluruskan Klaim Sejarah
Radin Inten II adalah pahlawan perlawanan terhadap kolonialisme, dan jasanya patut dihormati sebagai bagian dari sejarah perjuangan rakyat Lampung. Namun, penting untuk diluruskan bahwa kehadiran Radin Inten II sebagai tokoh sejarah tidak dapat dijadikan dasar pengklaiman simbol budaya Lampung seperti tuping.
Peradaban dan adat Lampung, termasuk simbol-simbol budayanya, telah ada jauh sebelum masa hidup Beliau. Oleh sebab itu, setiap narasi yang mencoba menyandarkan seluruh warisan budaya Lampung kepada satu keluarga atau keturunan adalah bentuk distorsi sejarah dan pengabaian terhadap fakta kultural yang lebih luas dan mendalam.
Festival Krakatau merupakan ruang publik yang memberi kesempatan kepada seluruh elemen masyarakat adat dan seniman Lampung untuk menampilkan karya dan simbol kebudayaannya. Tuduhan bahwa Pemprov Lampung “mengabaikan nilai budaya” karena tidak melibatkan satu pihak tertentu, justru mencerminkan pemahaman yang sempit tentang bagaimana budaya seharusnya dikelola, bukan secara privat, tapi secara komunal.
Sebaliknya, pemerintah daerah dan panitia Festival Krakatau patut diapresiasi karena terus mengangkat simbol-simbol budaya seperti tuping, yang selama ini justru kurang dikenal oleh generasi muda. Apabila ada pihak yang merasa tidak dilibatkan, seharusnya hal ini menjadi bahan evaluasi bersama yang disampaikan dengan cara bermartabat dan terbuka, bukan dengan mengedepankan klaim eksklusif yang menciderai rasa persatuan masyarakat adat Lampung.
Sebagai bagian dari masyarakat adat Keratuan Ratu Menangsi, kami meyakini bahwa budaya adalah milik rakyat adat Lampung secara menyeluruh, bukan milik pribadi, bukan milik keluarga, bukan pula milik generasi tertentu.
Masyarakat adat Lampung hidup dalam semangat sehuyunan, setawitan, sebalakan, dan mak secadangan, saling menghidupkan, saling membesarkan, bukan saling memonopoli. Kita diajarkan oleh leluhur untuk mendudukkan masalah budaya dengan musyawarah, bukan klaim sepihak yang dapat memecah belah.
Mari kita jaga warisan budaya Lampung termasuk tuping sebagai milik bersama. Kita rawat dengan cinta, kita pelajari dengan pengetahuan, dan kita wariskan dengan kehormatan. Budaya Lampung besar bukan karena satu nama, tapi karena seluruh anak adatnya bersatu dalam nilai dan sejarah.
Tuping adalah simbol. Tuping adalah jiwa budaya. Tuping adalah milik seluruh masyarakat adat Lampung.
*Penulis: Paksi Darai Marga Ratu – Keratuan Ratu Menangsi.