Kakak adik Gunawan Yusuf dan Purwanti Lee saat tampil satu panggung dalam kampanye Pilpres Joko Widodo-Makruf Amin dan Pilgub Arinal Djunaidi (2019)
INILAMPUNGCOM --- Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung (Unila) membuka “dosa sejarah” terkait keberadaan PT Sugar Group Companies (SGC). Sekaligus memberitahu aparat penegak hukum (APH) adanya kotak pandora "kejahatan" perusahaan gula yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara itu.
Apa “dosa sejarah” PT SGC yang dibuka BEM Unila? Ada 2 hal. Pertama: Hasil Pansus DPRD Kabupaten Tulang Bawang, dan kedua: Hasil penelitian akademik Unila pada tahun 2017 silam.
"Temuan pansus ini menjadi dasar kuat adanya indikasi manipulasi administratif dan pelanggaran tata ruang," Kata Ketua BEM Universitas Lampung (Unila), M. Ammar Fauzan, Senin (4/8/2025) kemarin.
Terjadinya penambahan luas, ungkap Ammar, inklusi kawasan konservasi seperti Rawa Bakung dimasukkan dalam konsesi HGU tanpa izin dan kajian lingkungan. Di sini, luas HGU SGC harus diaudit tim independen.
Lebih terang lagi, hasil penelitian tiga akademisi Unila -Dedy Hermawan, Dharmawan Purba, dan Yusdianto- yang membeberkan kooptasi lahan warga. HGU telah menjadi instrumen ‘ekspansi hukum’ atas tanah rakyat.
Penelitian ini secara etnografis menggambarkan hukum formal diciptakan melalui pengakuan atas HGU sementara tanah masyarakat lokal dibuat tanpa akses dan masuk program plasma atau kompensasi penebangan di Desa Gedung Meneng dan Dente Teladas.
Hasil beda akademisnya, struktur konfliknya bersifat multidimensional: keberpihakan terhadap kepentingan modal, ketimpangan kekuasaan administratif, dan hilangnya hak-hak pemulihan rakyat melalui hak ulayat.
“Semua ini dihadirkan sebagai bentuk kooptasi hukum yang mengistimewakan korporasi atas masyarakat lokal. Dalam kerangka teoretis politik agraria, fenomena di atas menunjukkan hubungan dialek penegakan hukum yang paling memihak modal swasta dibanding rakyat,” ucap Ammar.
Secara konseptual, Pansus 2017 dan studi akademik Unila ini berfungsi saling melengkapi. Menurutnya, laporan DPRD adalah artefak legal yang membuka pintu administratif dan perijinan; sedangkan riset akademik adalah analisis empiris yang menyuarakan dimensi sosial-hukum rakyat yang teralienasi.
Keduanya menegaskan bahwa evaluasi terhadap SGC tidak bisa cukup berhenti di ranah teknis, misalnya evaluasi luas HGU saja, melainkan perlu dimasukkan juga aspek restitusi sosial dan audit keadilan (fairness audit), termasuk penyelesaian atas kerugian advokasi ulayat, keterlibatan petani dalam mekanisme plasma, serta verifikasi pajak pertanahan.
Dalam perspektif akademik dan sekaligus simbolik, BEM Unila menegaskan narasi ini tidak sekadar laporan: ini adalah tesis empiris tentang kerakusan administratif izin HGU tanpa akuntabilitas.
Jika negara membiarkan perbedaan 37.636,81 hektar tetap seperti itu tanpa audit ataupun akuntabilitas sejati keadilan agraria, sebagai lembaga kritis akademik, BEM Unila menyerukan agar agenda ini menjadi laboratorium validitas politik agrarian. (kgm-1/inilampung)