Cari Berita

Breaking News

Ini Kisah Dokter RSUDAM Diduga Jual Beli Alat Medis

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 22 Agustus 2025

Pemakaman bayi Alesya,.20.Agustus 2025 (ist)


INILAMPUNGCOM --- Harus diakui, kasus pelayanan medis di RSUD Abdoel Moeloek (RSUDAM) Bandarlampung kali ini layak dibilang keterlaluan.

Sampai secara terbuka, keluarga pasien asal Kelurahan Way Urang, Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan, mengungkapkan kekecewaan mendalamnya setelah bayi mereka: Alesha Erina Putri, yang dirawat di RS plat merah tersebut, meninggal dunia.

Kepergian putri pertama dari pasangan Sandi Saputra (27) dan Nida Usofie (23) yang baru berusia 2 bulan itu, akhirnya menguak sejumlah fakta menarik; mulai dari pelayanan RSUDAM yang buruk hingga dugaan jual beli alat medis antara dokter dan orangtua pasien.

Ayah pasien yang menemani bayi tersebut selama di RSUDAM mengaku kecewa berat dengan pelayanan di rumah sakit milik Pemprov Lampung itu. Selain lambat, perawatan bayi dengan diagnosa hisprung itu memicu kekecewaan yang amat mendalam.

Bagaimana kisah yang kian mengungkap tidak manusiawinya pelayanan di RSUDAM Bandarlampung itu?
“Awal mulanya, bayi saya itu dirujuk ke RSUDAM pada tanggal 9 Juli 2025. Kemudian pada tanggal 19 Juli dilakukan rontgen terhadap si bayi, hasil diagnosanya hispro. Kemudian tanggal 18 Agustus 2025 menjalani rawat inap di kelas III, padahal BPJS pasien kelas II. Alasan RSUDAM sudah menerapkan ruangan tanpa kelas,” tutur Sandi, menceritakan kronologi awal yang dialaminya.

Saat berkonsultasi dengan dr. Billy Rosan, Sp.BA, dokter RSUDAM tersebut menyarankan dua opsi. Yang pertama dilakukan tindakan operasi pemotongan usus dengan membuat kantung stoma agar bayi bisa buang kotoran lewat kantung stoma.

Dan opsi pertama itu tidak cukup hanya satu kali operasi.
Opsi kedua yang ditawarkan dr. Billy Rosan; dengan satu kali operasi menggunakan alat medis yang tidak dicover BPJS.
Pihak keluarga Sandi memilih opsi kedua. Konsekuensinya, keluarga pasien mesti membeli alat medis yang menurut dr. Billy Rosan tidak dicover BPJS itu.

Ternyata, aktivitas jual beli alat media tersebut bukan dengan pihak RSUDAM, melainkan dengan dr. Billy Rosan Sp.BA. Nilainya Rp 8.000.000. Yang ditransfer ke rekening Bank Lampung atas nama dokter bersangkutan, Billy Rosan.

Keanehan memang terjadi. Si dokter, kata Sandi, tidak mau memberitahu alat media apa yang dimaksudkan. Keluarga pasien baru diberi tahu oleh dokter itu gambar alatnya setelah melakukan transfer Rp 8.000.000 ke rekening pribadi si dokter. Bukan ke rekening manajeman RSUDAM atau rekening apotek.

Bagaimana pola dokter itu “memainkan” situasi keluarga pasien? “Waktu nyuruh beli alatnya, dia WhatsApp terus, pokoknya komunikasi intenslah. Tapi, pas kondisi anak saya terus memburuk yang bersangkutan membalas WhatsApp kami tidak seperti saat nyuruh beli alat yang harganya Rp 8.000.000 tadi.

Malam di-WhatsApp, baru dibales paginya, itu pun setelah anak saya meninggal,” ucap Sandi dengan nada kecewa.

Lalu apa harapan Sandi sebagai ayah bayi Alesha yang meninggal dunia diduga karena pelayanan yang tidak manusiawi di RSUDAM? “Saya hanya berharap, kejadian seperti ini menjadi pelajaran berharga, agar pelayanan di RSUDAM bisa dibenahi,” kata dia. 

Terus terang, Sandi juga mempertanyakan perilaku dokter yang memperjualbelikan alat medis untuk operasi kepada pasien.

“Sebelumnya dokter itu bilang, kalau alat medis tersebut harus segera dipesan. Karena butuh proses sekitar 10 hari setelah pemesanan. Namun setelah uang ditransfer, besoknya alat medisnya langsung ada. Secepat itu datang,” jelas Sandi, mengisyaratkan jika ada “permainan” dengan memanfaatkan situasi panik keluarga pasien.

Sandi menguraikan, setelah alat medis dibelinya dengan mentransfer ke rekening dr. Billy Rosan, maka pada tanggal 19 Agustus 2025 tindakan operasi pun dilakukan terhadap si bayi. 

Tahukah Sandi dan keluarganya bila alat medis seharga Rp 8.000.000 itu yang digunakan saat operasi sang bayi? Terus terang, mereka mengaku tidak tahu menahu, apakah alat medis itu betul-betul dipakai atau tidak.

“Memang sempat diperlihatkan alat yang dimaksud dengan kotak yang kondisinya sudah nggak sempurna. Di bagian sudut wadah kotak tampak penyok seperti kemasan yang lama tersimpan,” ucap Sandi dan menambahkan, operasi yang dijalani bayinya berlangsung selama empat jam, yaitu mulai pukul 10.00 Wib hingga  selesai sekitar pukul 14.00 Wib.

Pelayanan Buruk
Beberapa fakta yang memicu kekecewaan, juga diceritakan oleh kerabat pasien bernama Elda. Si bayi, kata dia, benar-benar tidak ditangani dengan baik oleh petugas medis di RSUDAM. Padahal, kondisinya pasca operasi terus memburuk.
Praktik lambatnya pelayanan terhadap si bayi pun amat lazim. Dimana ada satu momen, keluarga pasien harus mencari-cari perawat atau suster yang berjaga untuk melaporkan kondisi selang di hidung si bayi yang bergeser dari posisi sebelumnya.

“Namun jawaban perawat kala itu diminta untuk kami menunggu sebentar, karena dia sedang menangani pasien lain. Bahkan perawat itu  mengaku kalau mereka keteteran, disebabkan hanya dua orang yang bertugas menangani 32 pasien saat itu,” urai Elda.

Yang lebih memiriskan hati Elda adalah fakta. Bagaimana ketika baju bayi dalam kondisi basah dan ada bercak darah seusai operasi pun popok berlumuran darah, diganti juga tidak oleh perawat.

Kisah teramat pilu adalah, seusai melakukan operasi, dr. Billy yang menjual alat medis dengan pasien itu, tidak pernah lagi melihat kondisi si bayi.

Dokter itu bilang kalau dia memantau di balik layar saja.
Ketika kondisi bayi Alesha sudah tersengal-sengal, ada satu dokter visit yang memantau, yaitu dr. Angga. Ia datang untuk memacu jantung  pada saat kondisi si bayi sudah tersengal-sengal dengan tubuh membiru.

Padahal sebelumnya, pasca operasi dr. Billy Rosan menyatakan bila kondisi bayi baik-baik saja. Tetapi, tidak selang lama kemudian, bayi Alesha tersengal-sengal. Dan dalam kondisi demikian, keluarga pasien disarankan agar segera membawa Alesha ke PICU. Namun saat itu, ruangan PICU penuh. Meski sempat dibantu dengan alat pernapasan, akhirnya bayi cantik Alesha menghembuskan nafas terakhirnya.

Mencari Sendiri
Sebelumnya, saat mengetahui ruangan PICU RSUDAM penuh, keluarga pasien disuruh mencari ruangan PICU di RS Urip Sumoharjo Bandarlampung. Lagi-lagi keluarga pasienlah yang mesti mencari informasi sendiri soal ketersediaan pelayanan PICU yang dimaksudkan.

“Kami kecewa betul, kenapa kok keluarga pasien yang nyari sendiri. Bukankah seharusnya yang berkomunikasi soal ketersediaan alat bantu itu antara rumah sakit dengan rumah sakit yang paham akan prosedurnya. Kalau keluarga pasien kan kondisinya sedang panik, perhatian harus terbagi antara menjaga si bayi dan mencari alat bantu,” ungkap kerabat korban.

Pihak RS Urip Sumoharjo pun sempat mempertanyakan kenapa keluarga pasien yang harus mencari sendiri alat bantu tersebut, dengan kata lain mengapa bukan pihak RSUDAM yang berkomunikasi ke RS swasta terbesar di Lampung itu.

Sebenarnya, alat bantu di PICU RS Urip Sumoharjo tersedia, dan sempat memberi secercah harapan bagi orangtua pasien bayi Alesha. Tapi, waktu yang habis terbuang mencari ketersediaan alat, memaksa bayi malang itu berpulang sebelum mendapat alat bantu PICU tersebut.

Kesulitan tidak usai disitu saja. Ketika bayi Alesha  telah wafat, keluarga pasien jugalah yang masih disibukkan mencari-cari ketersediaan ambulance di RSUDAM. Keluarga pasien pun mendatangi tempat ambulance di RSUDAM, yang ternyata tidak ada satu pun penjaga yang standby.

“Katanya  BPJS kelas II nggak mengcover ambulance, maka dikenakan biaya Rp 1.500.000. Kami cari ambulance, ternyata nggak ada petugas standby, sempat nunggu dan akhirnya memutuskan pulang ke Kalianda tidak pakai ambulance,” kata Elda.

Setelah memutuskan tidak memakai ambulance, barulah datang petugas jaga dengan cengar-cengir yang mengaku habis keliling. Entah apa yang dicek, sehingga tak ada satupun petugas jaga di unit ambulance yang terkunci di pintu gerbang.

Kini, bayi berusia 2 bulan itu sudah dikebumikan pada tanggal 20 Agustus 2025 di Dusun Sinar Baru, Kelurahan Way Urang, Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan. Ibu mendiang bayi Alesha, Nida Usofie, berharap adanya penjelasan konkrit atas kejanggalan serta buruknya pelayanan yang diterima mereka ketika menjalani perawatan di RS milik Provinsi Lampung tersebut.

“Kami kecewa betul dengan pelayanan serta laku dokter yang tidak bertanggungjawab. Kami ingin ada itikad baik dari pihak-pihak terkait atas dampak dari persoalan ini
Nggak ingin ada lagi pasien yang mengalami pelayanan seperti yang kami rasakan,” tegas Nida Usofie dengan menahan geram dan kecewa. (kgm-1/inilampung)

LIPSUS