Cari Berita

Breaking News

Mengawal Pesan Presiden Membenahi BUMN, Tak Memburu Tantiem, dan Filosofi 'Power of Giving'

Dibaca : 0
 
Rabu, 06 Agustus 2025




Oleh Denny JA

“Bukan apa yang kau ambil, tapi apa yang akan kau sumbangkan untuk negeri.”

Itulah renungan saya menyelami kontroversi soal komisaris BUMN seminggu ini.

Saya menyambut dan menyetujui sepenuhnya pesan Presiden: bahwa komisaris harus membenahi BUMN dan tidak memburu tantiem.

Saya juga mengamini kritik masyarakat yang menyuarakan keresahan. Jabatan  komisaris BUMN jangan sampai menjadi tempat perburuan insentif, melainkan medan pengabdian dan pembenahan.

Apa itu tantiem? Dalam dunia korporasi, tantiem itu bonus tahunan yang diberikan kepada dewan komisaris dan direksi, biasanya dikaitkan dengan kinerja keuangan perusahaan.

Ia bisa menjadi pemacu etos kerja. Namun ia juga dapat menjelma jebakan kepentingan pribadi, bila tidak dibingkai oleh nilai dan kepantasan publik.

Esai ini sekaligus klarifikasi atas pandangan saya sebelumnya, yang sempat disalahpahami.

-000-

Jauh hari sebelum saya menjabat Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi, saya telah mendirikan Denny JA Foundation.

Ini  sebuah yayasan yang mewakafkan dana abadi bagi dunia penulis, seniman, dan kegiatan spiritual lintas iman. Banyak media telah menulis tentangnya.

Namun sedikit yang tahu: di balik itu, tersembunyi filosofi hidup yang saya pegang erat: The Power of Giving.

Saya kerap berpesan kepada anak-anak dan keluarga: “Hidup bukan tentang apa yang kita kumpulkan, tetapi tentang apa yang kita kembalikan.”

Berkah yang Tuhan titipkan untuk saya, yang berangkat dari aktivis mahasiswa, yang acap mengalami kesulitan ekonomi, hingga diberkahi 22 usaha dari properti, hotel budget, restoran, sport center, Aplikasi AI, konsultan politik, hingga tambang, itu saya anggap sebuah keajaiban.

Sebagian telah saya sisihkan untuk menjadi amal jariah, yang terus mengalir bahkan ketika saya telah tiada.

Filosofi Power of Giving tak lahir dari teori, tapi dari pengalaman spiritual. Ia tumbuh dari tafakur di malam-malam sunyi, ketika kita menyadari: semua yang kita miliki, pada akhirnya harus kita lepaskan.

-000-

Sejak diangkat sebagai Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi, Juli 2025 lalu, saya memilih untuk bekerja bukan hanya melalui rapat, tetapi juga lewat pemikiran, tulisan, dan semangat perubahan.

Telah saya tulis lebih dari 20 esai soal energi—dari strategi peningkatan lifting minyak, ketahanan energi nasional, hingga geopolitik OPEC. Kini ia tengah disusun menjadi buku berjudul: Make Pertamina Great  Again: Minyak, Politik dan Bisnis di Era AI.

Saya juga telah menyampaikan beberapa pidato pengarahan, bukan demi formalitas, tetapi untuk menanamkan mindset baru: bahwa Indonesia hanya bisa bangkit jika ia juga mandiri di dunia energi.

Tapi bagaimana  dengan tulisan saya sebelumnya: “Yang Benar dan Yang Keliru dalam Keputusan Kontroversial Danantara”?

Tulisan itu tetap relevan, dalam menjelaskan pentingnya membedakan sistem one-tier board dan two-tier board di dunia korporasi dan BUMN di seluruh dunia.

Esai itu juga tetap berlaku untuk membedakan antara komisaris aktif dan pasif, sebagaimana konsekuensi dari sistem tata kelola yang berbeda.

Soal tantiem untuk komisaris yang diberikan kepada korporasi dalam sistem two tier board, itu adalah perspektif ilmu. Itu memang terjadi di banyak negara.

Tapi ketika presiden berkehendak menghapuskan tantiem bagi komisaris untuk mengelola BUMN, sebagai pihak yang ikut membantunya menang dalam pilpres 2024, dan meyakini aneka gagasan besarnya, tentu saya mematuhinya dan taat.

Perspektif presiden lewat keputusan Danantara adalah sebuah pilihan, yang juga kuat nilai public interest dan spirit pengabdian.


-000-

Jakarta, awal Agustus 2025. Di Istana Kepresidenan, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan dengan tegas:

“Presiden Prabowo Subianto ingin agar para komisaris fokus membenahi manajemen dan keuangan BUMN. Bukan untuk mencari tantiem atau insentif lainnya.”

Pernyataan itu bukan sekadar pesan politik. Ia adalah ikrar moral.

Presiden melihat BUMN sebagai tulang punggung ekonomi bangsa.

Saat saya duduk di ruang kerja, membaca pernyataan itu, saya terdiam.

Saya tahu: saya berdiri di persimpangan antara idealisme dan kenyataan. 

Di titik temu antara pesan dari atas dan suara dari dalam hati.

-000-

BUMN bukan sekadar entitas bisnis. Ia adalah perpanjangan tangan negara.

Setiap keputusan yang diambil harus berakar pada amanah publik.

Saya menerima pesan Presiden sebagai undangan spiritual. Undangan untuk meninggikan makna jabatan, dari sekadar kompensasi, menjadi jalan kontribusi.

Memanggul jabatan publik bukan hanya belajar memimpin, tapi juga belajar mendengarkan. 

Suara publik adalah kompas, bukan gangguan. Jika ada yang belum tepat, pejabat publik tidak segan mengubah arah. Karena jabatan, sejatinya, adalah amanah yang terus diuji.”

Semoga tulisan ini menjadi ruang klarifikasi dan perbaikan. Karena bahkan dalam pengabdian, manusia tetap perlu bertumbuh.

Reformasi BUMN bukan sekadar restrukturisasi korporasi, melainkan revolusi mental kolektif. 

Di titik ini, komisaris, direksi, dan siapapun pejabat publik, harus menjadi katalisator yang mengubah paradigma "profit untuk diri" menjadi
"kesejahteraan untuk bangsa."

Agar reformasi berjalan nyata, penguatan tata kelola BUMN harus diwujudkan melalui standar transparansi yang tegas, sistem pengawasan independen, dan pelibatan publik dalam evaluasi kinerja.

Ini menjadikan BUMN bukan hanya alat negara, tapi teladan manfaat kolektif bagi seluruh rakyat.

Sesungguhnya, kontribusi terbaik bukan diukur dari angka yang masuk ke rekening. Tapi dari nilai yang tertanam dalam sejarah negeri.

Dan nilai itu, hanya bisa lahir dari kekuatan paling sunyi, namun paling dahsyat:
Power of Giving.

Jakarta, 6 Agustus 2025


LIPSUS