Oleh, Hasbullah
Kita hidup di zaman ketika rakyat tak lagi menatap pemimpinnya dengan penuh harap, melainkan dengan curiga. Krisis kepercayaan terhadap pemimpin tidak lagi hanya menjadi bisik-bisik warung kopi, tapi telah menjadi keresahan publik yang mengakar. Hampir setiap hari kita disuguhkan berita tentang pejabat yang terlibat korupsi, konflik kepentingan, atau kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elit politik dan ekonomi.
Krisis ini menyentuh tiga cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Ketika lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi pilar keadilan justru kehilangan kredibilitasnya, maka rakyat pun kehilangan arah dan harapan.
Banyak yang menyarankan reformasi sistem hukum dan politik, bahkan desakan pembenahan total terhadap tata kelola pemerintahan. Namun di balik semua itu, ada satu elemen penting yang sering diabaikan padahal menyentuh akar masalah: pendidikan agama sebagai pembentuk karakter dan nurani manusia.
Agama Bukan Sekadar Ritual, Tapi Fondasi Integritas
Selama ini pendidikan agama sering kali diposisikan sebatas pelengkap kurikulum pelajaran yang diajarkan di kelas, diujikan, lalu dilupakan. Padahal, esensi pendidikan agama adalah membentuk karakter manusia yang jujur, amanah, adil, dan bertanggung jawab. Di tengah derasnya degradasi moral di kalangan elite, pendidikan agama yang benar dan kontekstual dapat menjadi benteng nilai yang menjaga agar kekuasaan tidak disalahgunakan.
Agama, jika dipahami secara utuh, menanamkan kesadaran bahwa setiap tindakan manusia berada dalam pengawasan Tuhan. Konsep "takwa" dalam Islam, misalnya, adalah bentuk kesadaran spiritual yang mendalam, seseorang tidak hanya takut pada hukum manusia, tapi lebih takut kepada pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.
Inilah yang hilang dari sebagian pemimpin kita. Mereka merasa aman selama tidak tertangkap kamera atau aparat penegak hukum. Padahal, pemimpin yang benar tidak butuh diawasi kamera karena nuraninya sudah menjadi pengawas utama.
Pendidikan agama yang bermutu tidak lahir dari indoktrinasi, apalagi pemaksaan. Ia tumbuh dari proses pembiasaan nilai kejujuran dalam tindakan, adab dalam berbicara, dan tanggung jawab dalam memimpin. Sayangnya, sistem pendidikan kita sering kali mengejar capaian akademik dan melupakan dimensi karakter.
Jika kita ingin mencegah hadirnya pemimpin-pemimpin yang rakus, tidak cukup hanya menyiapkan sistem politik yang bersih. Kita perlu menyiapkan manusia yang beriman dan berintegritas dua hal yang seharusnya tak bisa dipisahkan.
Pendidikan agama juga harus dibebaskan dari sekadar urusan privat. Ia perlu menjadi energi publik, dibawa ke ruang sosial, menjadi bagian dari kebijakan. Ketika pemimpin memiliki kedalaman nilai keagamaan, kebijakannya pun akan berorientasi pada kebaikan publik, bukan kepentingan kelompok atau kekuasaan semata.
Akhlak dan Tanggung Jawab Pemimpin: Bukan Sekadar Jabatan
Kita terlalu sering memandang pemimpin sebagai jabatan administratif sebuah posisi yang melekat hak, gaji, fasilitas, dan kuasa. Padahal dalam pandangan agama, kepemimpinan adalah amanah, sebuah tanggung jawab berat yang kelak dipertanggungjawabkan, bukan hanya di hadapan rakyat, tapi juga di hadapan Tuhan.
Di titik ini, akhlak menjadi pondasi utama. Seorang pemimpin yang tidak memiliki akhlak, betapa pun cerdas dan strategisnya, akan tetap berpotensi menyalahgunakan wewenang. Akhlak bukan sekadar sopan santun atau citra di depan kamera, tetapi menyangkut integritas, empati, kejujuran, dan rasa takut pada pengkhianatan terhadap amanah publik.
Banyak pemimpin hari ini gagal bukan karena mereka tak pintar, tapi karena mereka kehilangan nilai. Mereka bisa menyusun rencana pembangunan, membuat program-program populis, bahkan memoles diri dengan pencitraan media. Namun ketika kebijakan mereka mengorbankan rakyat demi kepentingan politik jangka pendek, maka itu bukan kegagalan teknis itu kegagalan moral.
Agama mengajarkan bahwa kekuasaan bukanlah tempat mencari keuntungan, melainkan sarana untuk menebar kemaslahatan. Dalam Islam, misalnya, kepemimpinan adalah beban yang kelak akan ditanya secara rinci di akhirat: apa yang kau lakukan dengan kekuasaanmu? Siapa yang kau tolong? Siapa yang kau dzalimi?
Sayangnya, nilai-nilai ini nyaris hilang dalam pendidikan calon pemimpin kita. Banyak dari mereka hanya dilatih untuk menang dalam pemilu, bukan untuk melayani setelah terpilih. Mereka diajarkan cara mengelola opini publik, bukan cara mendengar suara nurani rakyat. Padahal, pemimpin sejati adalah yang mampu menolak keuntungan pribadi demi kepentingan umum, bahkan jika tak ada satu pun kamera yang merekamnya.
Oleh karena itu, membenahi kepemimpinan bangsa tak cukup hanya dengan regulasi atau pengawasan. Kita butuh menyuntikkan kembali nilai-nilai akhlak dan spiritualitas dalam proses pembentukan karakter pemimpin. Dan itu hanya bisa dicapai jika pendidikan agama dijadikan landasan, bukan pelengkap.
Kritik, Kepedulian, dan Tanggung Jawab Rakyat
Namun, krisis ini bukan hanya tentang para pemimpin. Kita juga harus berani melihat ke dalam diri sendiri sebagai rakyat. Di tengah kekecewaan yang terus menumpuk, banyak dari kita justru memilih apatis, sinis, bahkan permisif terhadap kebobrokan. Kita ikut menyebarkan kabar buruk, tapi enggan terlibat dalam solusi. Kita cepat mengkritik, tapi pelit memberi contoh.
Padahal, dalam sistem demokrasi, rakyat bukan sekadar objek, tapi subjek perubahan. Pemimpin tidak lahir dari ruang hampa mereka dipilih, dibentuk, dan dipertahankan oleh rakyat. Maka jika hari ini kita merasa dikhianati oleh mereka yang berkuasa, kita juga harus bertanya: apa yang sudah kita lakukan untuk mencegah ini semua sejak awal?
Pendidikan agama tidak hanya penting bagi pemimpin, tapi juga bagi rakyat. Masyarakat yang punya kesadaran agama akan menolak suap, melawan manipulasi, dan tidak mudah digiring oleh politik identitas yang murahan. Mereka akan mengedepankan akhlak, rasionalitas, dan tanggung jawab sosial.
Sebaliknya, jika rakyat kehilangan pegangan moral, maka yang terjadi adalah siklus saling menyalahkan tanpa ujung. Pemimpin rusak karena rakyat permisif. Rakyat apatis karena pemimpin tak bisa dipercaya. Ini adalah lingkaran setan yang hanya bisa diputus dengan satu langkah fundamental: kembali kepada nilai-nilai yang diajarkan agama, dan menjadikannya pedoman hidup bersama.
Kita butuh rakyat yang aktif, kritis, namun juga punya kedalaman nilai. Kritik tanpa akhlak hanya akan menjadi caci maki. Aksi tanpa ilmu hanya akan menjadi amarah. Tapi ketika rakyat memadukan spiritualitas, intelektualitas, dan keberanian, maka perubahan bukan sekadar mimpi.
Menumbuhkan kembali kepercayaan kepada pemimpin tidak bisa dilakukan dalam semalam. Ini adalah proses panjang yang memerlukan kerja kolektif dari negara, masyarakat sipil, lembaga pendidikan, dan keluarga. Namun satu hal yang pasti, kita tidak bisa berharap banyak dari sistem yang baik, jika manusia yang menggerakkannya tidak punya nilai.
Pendidikan agama yang dimaknai secara benar dan dijalankan secara konsisten bisa menjadi fondasi perubahan. Bukan agama yang memecah belah, tapi yang mempersatukan. Bukan yang hanya berbicara tentang akhirat, tapi juga menghadirkan keadilan di dunia.
Saatnya kita menyadari, membenahi bangsa bukan hanya tugas para pemimpin. Ini adalah tanggung jawab kolektif, dan harus dimulai dari tempat yang paling sederhana yakni dari hati dan rumah kita sendiri.(*)
Hasbullah
Dosen Universitas Muhammadiyah Pringsewu
Ketua Forum Dosen Indonesia (ForDESI) Wilayah Lampung