![]() |
Bupati Lampung Timur Sidak Pasar Sukadana, 3/3/2025 (ist/inilampung) |
(Bagian I)
Kondisi keuangan Pemerintah Kabupaten Lampung Timur (Pemkab Lamtim) di tahun 2024 memang lebih membaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, perolehan pendapatan dari retribusi justru turun. Kurang lebih Rp 1 miliar.
Di tahun 2023, retribusi yang bisa ditangguk Rp 4.704.579.364, pada 2024 di angka Rp 3.749.508.473. Padahal, target perolehannya Rp 5.626.300.000. Praktis, yang tercapai hingga 31 Desember 2024 hanya 66,64% saja.
Jika dirincikan perolehan retribusinya sebagai berikut:
1. Retribusi jasa umum yang ditargetkan Rp 2.584.650.000, terealisasi di 2024 sebanyak Rp 2.233.879.000. Pada tahun 2023 pendapatannya di angka Rp 3.512.367.000.
2. Retribusi jasa usaha yang ditargetkan menangguk Rp 1.432.300.000, terealisasi di 2024 senilai Rp 779.972.864. Turun dibandingkan tahun 2023 di angka Rp 945.662.802.
3. Retribusi perizinan tertentu dicanangkan pendapatan Rp 1.609.350.000. Yang tercapai di tahun 2024 hanya Rp 735.656.609. Mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2023 yang terhenti di angka Rp 246.549.562.
Mengapa Pemkab Lamtim tampak terseok-seok dalam mengais pendapatan dari sektor retribusi? Semuanya tidak lepas dari keseriusan pimpinan OPD terkait dalam menjalankan tugasnya mendulang pendapatan. Padahal, regulasi terkait pengelolaan retribusi sudah jelas. Yaitu Perda Kabupaten Lampung Timur Nomor: 01 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Diantara OPD yang menjadi unggulan dalam menangguk pendapatan retribusi adalah Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) yang mengelola retribusi pasar dan Dinas Perhubungan (Dishub) yang menangani retribusi parkir.
Diketahui, pada tahun anggaran 2024 lalu Disperindag mencanangkan target perolehan retribusi Rp 695.750.000. Realisasinya di angka Rp 598.687.000 atau hanya 86,05% saja.
Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan. Padahal, potensi yang dimiliki Pemkab Lamtim untuk memperoleh pendapatan lebih banyak, sangatlah menunjang. Dimana terdapat 3.773 toko, kios, los, dan hamparan yang tersebar pada sembilan pasar.
Mengapa perolehan retribusi penyediaan fasilitas pasar/pertokoan yang disewakan demikian terseok jika potensinya memang besar? Menurut telaahan tim BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung yang turun ke lapangan, sebagaimana dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pemkab Lamtim Tahun 2024, Nomor: 27B/LHP/XVIII.BLP/05/2025, tertanggal 23 Mei 2025, penetapan anggaran –atau target- retribusi tersebut tidak berdasarkan perhitungan potensi yang sebenarnya.
Maksudnya? BPK menuliskan: Disperindag Lamtim belum memiliki kajian maupun dasar perhitungan yang terukur di dalam menetapkan anggaran pendapatan retribusi penyediaan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan. Penentuan target pendapatan dilakukan oleh Bapenda hanya berdasarkan realisasi tahun sebelumnya, tanpa didukung analisis potensi riil dan pemetaan objek retribusi.
Menurut hitung-hitungan BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung berdasarkan potensi retribusi penyediaan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan pada sembilan pasar di wilayah Lamtim, seharusnya bisa diperoleh pendapatan sebanyak Rp 892.140.000.
Nilai tersebut dihitung berdasarkan data pedagang yang terdaftar sebagai penyewa pada tahun 2024 atas 2.169 toko, kios, los, dan hamparan pada sembilan pasar. Belum termasuk 1.604 toko, kios, los, dan hamparan yang tidak terisi oleh pedagang.
BPK meyakini, dari hitungannya, terdapat potensi peningkatan pendapatan retribusi pasar ini sebanyak Rp 293.400.000 dari yang diperoleh tahun 2024 senilai Rp 598.687.000. Alias sebenarnya bisa ada penambahan 50% dari realisasi pada tahun lalu.
Tidak Optimal
Mengapa bisa “hilang” potensi pendapatan retribusi pasar senilai 50% dari yang direalisasikan? BPK menegaskan bahwa hal itu terjadi tidak lain karena pendapatan retribusi terkait pasar tidak dikelola dengan optimal.
Tentu BPK tidak asal bersitegas. Hal itu disampaikan berdasarkan dokumen kendali penerimaan retribusi pasar yang dimiliki Koordinator Pasar. Dimana diketahui adanya ketidaksesuaian antara besaran retribusi yang diterima dari sejumlah pedagang dengan ketentuan tarif yang telah ditetapkan dalam Perda Lamtim Nomor: 01 Tahun 2024.
Mengenai adanya ketidaksesuaian besaran tarif ini, Kepala Bidang Pengelolaan Pasar dan Bendahara Penerimaan Disperindag Lamtim mengaku hal itu terjadi akibat pedagang keberatan membayar retribusi dengan tarif sesuai Perda Nomor: 01 Tahun 2024.
Menurut keduanya, pedagang beralasan bahwa kondisi pasar sepi dan tidak mau membayar retribusi jika ditagihkan sesuai dengan tarif yang ditetapkan dalam perda tersebut.
Benarkah pernyataan itu? Ternyata berbanding terbalik dengan pengakuan Koordinator Pasar. Ia justru menegaskan, tidak ada pedagang yang mengajukan permohonan keringanan tarif secara resmi dan tertulis kepada Disperindag.
Hasil pemeriksaan tim BPK lebih dalam menemukan fakta bahwa Kepala Bidang Pengelolaan Pasar dan Bendahara Penerimaan Disperindag tidak pernah melakukan pengendalian atas pendapatan retribusi terkait pasar yang diterimanya.
Lebih ironis lagi, Bendahara Penerimaan sama sekali tidak pernah tahu berapa penerimaan yang seharusnya diterima. Karena ia hanya mencatat jumlah pendapatan yang diterima dari Koordinator Pasar. Bahkan, meskipun ada pedagang yang membayar retribusi secara tahunan, ia tidak mencatatnya sebagai pendapatan diterima dimuka.
Lalu apa kerja atau perkilahan Kepala Bidang Pengelolaan Pasar dan Bendahara Penerimaan Disperindag? Besok kelanjutannya. (bersambung/johan/inilampung)