Cari Berita

Breaking News

Merdeka: 7,28 Juta Rakyat Masih Menganggur

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 21 Agustus 2025

Sebuah Renungan 80 Tahun Indonesia Merdeka

ilustrasi

Oleh;  Zuli Hendriyanto Syahrin

Tanggal 17 Agustus 2025 kita merayakan 80 tahun Indonesia merdeka dengan suka cita. Bendera Merah Putih berkibar di mana-mana, lagu-lagu perjuangan diputar menggema, acara perlombaan sangat meriah penuh hadiah, dan sambutan-sambutan yang membakar semangat terdengar di setiap sudut negeri kita.

Tapi, mari berhenti sebentar, lihat spion dan berkaca melirik ke belakang. Apakah yang kita lihat adalah potret Indonesia yang gemilang, atau hanya bayangan samar yang terlihat terang karena sorotan lampu panggung? 

Pertanyaan ini muncul, karena masih ada jutaan pengangguran di Indonesia yang mencari jalan keluar, bingung mau melangkah ke mana, belok ke kiri atau ke kanan. 

Data BPS Februari Tahun 2025 menunjukan ada 7,28 juta pengangguran di Indonesia. ini bukan hanya angka di atas kertas, melainkan jutaan mimpi yang tertunda, jutaan orang tua yang cemas, dan jutaan anak muda yang bertanya-tanya, apakah hak-hak untuk dapat pekerjaan dan hidup layak benar-benar akan tercapai saat ini dan masa depan?

Zuli Hendriyanto

Kenyataan ini seolah menguji kalimat suci Para Pendiri Bangsa yang tertulis dalam UUD 1945, Pasal 27 ayat (2), yang menyatakan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan." Tapi, 80 tahun kemudian, hak-hak ini masih cukup jauh dari amanat tersebut.

Pandangan saya ini bukan untuk saling menyalahkan, melainkan mengajak semua, terutama Pemerintah, Pengusaha, dan Masyarakat untuk berpikir lebih dalam. Jutaan pengangguran butuh solusi konkret, bukan hanya janji. Butuh aksi nyata, bukan hanya acara seremoni. 

Mari kita bedah simpul-simpul masalah pengangguran terasa begitu kusut, yang diuraikan menjadi langkah-langkah solusi menuju jalan keluar.

8 Simpul Kusut Masalah Pengangguran dan Kunci Jalan Keluar

1. Ketidakserasian Data Tenaga Kerja, Pemerintah Sulit Tahu Siapa Saja yang Nganggur

Sebelum membahas masalah dan solusi lain, kita harus bicara soal data. Masalah pengangguran seringkali hanya jadi angka di atas kertas. Pemerintah tidak punya data detail tentang siapa mereka yang nganggur, keterampilan apa yang dimiliki, dan di mana lokasi mereka. 

Ini membuat program pemerintah sering tidak tepat sasaran dan jadi masalah penting yang mempersulit upaya mengatasi semua simpul kusut yang lain.

Jalan keluar mengatasi masalah ini, Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian terkait, bersama Pemerintah Daerah, perlu bangun satu platform digital terintegrasi di mana setiap pencari kerja dan perusahaan wajib daftar. 

Data ini harus terintegrasi dengan data pendidikan di sekolah dan universitas serta data kependudukan, sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 

Manfaatkan teknologi canggih untuk analisis data lowongan kerja, tren kebutuhan skill, dan demografi pengangguran. Ini bisa jadi sistem peringatan dini bagi pemerintah, sejalan dengan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Setiap kantor tenaga kerja di daerah diwajibkan untuk lapor kinerja mereka secara real-time di platform digital yang dapat diakses publik, sejalan dengan semangat UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

2. Pendidikan dan Kesenjangan Skill, Sarjana Lulus Tapi Gak Tahu Mau Ngapain

UUD 1945, Pasal 31 ayat (1), sudah jelas menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Namun, hak ini jadi tidak berarti jika pendidikan yang didapat tidak sesuai dengan kebutuhan zaman dan menciptakan kesenjangan skill yang lebar. 

Masalah ini jadi salah satu alasan kenapa banyak sarjana tidak tertarik berwirausaha dan banyak lulusan yang memiliki keahlian di bidang yang sudah jenuh. Laporan The Future of Jobs 2023 dari World Economic Forum memproyeksikan bahwa 50% dari seluruh pekerja akan membutuhkan reskilling dalam lima tahun ke depan.

Jalan keluar menjembatani kesenjangan ini, kita harus beralih dari sistem hafalan ke praktek langsung. Kampus Universitas harus didorong untuk jadi laboratorium, bukan pabrik ijazah. 

Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 53 Tahun 2023 yang menekankan fleksibilitas kurikulum. Maka itu Kementerian Pendidikan, kementerian terkait, pelaku industri, serta KADIN dan APINDO, harus terlibat langsung dalam menyusun kurikulum. 

Data Kementerian Pendidikan Januari 2024, yang menunjukkan hampir 1 juta mahasiswa telah berpartisipasi dalam program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dengan tingkat serapan kerja yang meningkat, adalah bukti bahwa program ini salah satu adalah jalan keluar yang tepat.

Selain itu, ciptakan program intensif 6 bulan yang disponsori penuh oleh pelaku industri. Pelaku industri bisa milih calon peserta dari lulusan yang dianggap salah jurusan atau tidak punya keterampilan yang saat ini dibutuhkan. 

Misalnya, seorang sarjana lulusan Sastra Inggris yang bekerja sebagai kasir, padahal ia punya potensi besar di bidang digital marketing. Setelah diperbaiki dengan program X-Tech Reskilling yang disponsori perusahaan teknologi lokal, ia kini jadi Content Strategist andal. Setelah lulus, langsung diikat dengan kontrak kerja, memberikan pekerjaan yang stabil dan kesempatan untuk hidup layak.

3. Birokrasi yang Bikin Pusing, Modal Awal Ludes di Meja Birokrat

Ketidaksesuaian pendidikan hanyalah satu dari sekian banyak tantangan. Simpul berikutnya adalah birokrasi yang justru mematikan inisiatif wirausaha. Pemerintah pusat sering nyatakan bahwa mengurus izin itu mudah, namun praktiknya di daerah masih berbelit-belit. 

Urusan izin yang rumit, pungutan liar, dan waktu yang terbuang jadi beban berat bagi UMKM, membuat UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik seolah tidak ada gunanya. 

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024, yang dirilis oleh Transparency International dengan skor 37 dari 100, adalah cerminan nyata dari sulitnya pengusaha kecil menghadapi birokrasi yang berbelit dan pungutan liar.

Jalan keluar mengatasi masalah ini, perlu dibangun satu platform digital terintegrasi di mana semua perizinan bisa diurus secara daring dan transparan. Sistem ini, yang diatur dalam PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, seharusnya memberikan waktu maksimal 3 hari kerja untuk izin UMKM, tanpa perlu tatap muka untuk menghindari pungutan liar.

4. Akses Modal yang Terbatas, Pengusaha Muda yang Kehabisan Bensin di Jalan

Banyak ide brilian dari anak muda, tapi sulit mendapatkan modal. Bank konvensional terlalu kaku, sementara angel investor sulit dicari. 

Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2024, nilai transaksi fintech peer-to-peer lending mencapai lebih dari Rp700 triliun dalam 6 tahun, menunjukkan potensi besar dari skema pendanaan alternatif.

Jalan keluar menangani masalah ini, Pemerintah pusat perlu alokasikan dana khusus senilai Rp10 triliun per-tahun untuk startup dan UMKM, sesuai dengan amanat UU Nomor 20 Tahun 2008. 

Proses pengajuannya harus dibuat mudah dan transparan. Tapi, yang lebih penting, dana ini harus dikelola secara ketat agar tidak salah sasaran, dengan audit yang transparan dan dapat diakses publik.

5. Pembangunan yang Belum Merata, Daerah Lain Berjuang Sendiri

Pembangunan masih terfokus di pulau Jawa dan beberapa kota besar, daerah-daerah lain tertinggal, infrastruktur minim ke daerah terpencil dan kesempatan kerja terbatas. 

Hal ini memicu urbanisasi besar-besaran, yang bertentangan dengan semangat Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Data BPS pada 2020 menunjukkan bahwa lebih dari 56% populasi Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Jalan keluar menanggulangi ini, Pemerintah pusat perlu tawarkan insentif pajak dan kemudahan investasi yang sangat menarik bagi pelaku industri yang mau buka pabrik atau kantor di luar Jawa, sesuai UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 

Contohnya, bebas pajak 5 tahun untuk investasi di Indonesia Timur melalui skema tax holiday atau tax allowance. Ini bukan hanya soal dana, tapi juga soal komitmen untuk meratakan kesejahteraan.

6. Kurangnya Jiwa Wirausaha, Semua Ingin Jadi Pegawai Tetap

Mentalitas kita masih cenderung mencari aman. Semua ingin menjadi PNS/ASN, Pegawai BUMN, atau karyawan tetap Perusahaan swasta. Padahal, wirausaha adalah tulang punggung ekonomi Indonesia.

Laporan Global Entrepreneurship Monitor (GEM) tahun 2023 menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dalam hal rasio wirausaha, dengan angka hanya sekitar 3,4%, jauh di bawah negara maju.

Jalan keluar mengatasi masalah ini, masukkan kurikulum kewirausahaan di sekolah hingga universitas, sejalan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ajarkan mereka cara membuat produk, menjual, dan mengelola uang. 

Pemerintah dan HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) dapat mengangkat pengusaha-pengusaha muda sukses dari daerah sebagai pahlawan. Bikin film dokumenter, iklan, dan seminar tentang mereka. 

Berikan mereka penghargaan yang setara dengan atlet atau artis. Bikin kompetisi bisnis dengan hadiah modal investasi jutaan atau bahkan miliaran rupiah, didukung oleh KADIN, APINDO dan para pelaku industri lainnya, sesuai dengan semangat UU Nomor 20 Tahun 2008.

7. Lemahnya Perlindungan Tenaga Kerja, Buruh Kerja Kontrak Selamanya

UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan seharusnya melindungi hak-hak buruh, tetapi praktiknya seringkali tidak sesuai harapan. Banyak buruh yang bekerja bertahun-tahun tanpa kejelasan status.

Data BPJS Ketenagakerjaan pada 2023 menunjukkan bahwa masih ada sekitar 30% pekerja yang belum terdaftar dalam program jaminan sosial, terutama di sektor informal.

Jalan keluar menangani masalah ini, Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Tenaga Kerja, harus membuat sistem yang memungkinkan kontrak fleksibel namun dengan batasan yang jelas. 

Misalnya, PP Nomor 35 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Nomor 6 Tahun 2023, mengatur perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dengan durasi yang lebih jelas untuk cegah status kontrak yang tidak pasti. Setelah masa kontrak berakhir, pekerja wajib diangkat jadi karyawan tetap jika pekerjaan bersifat tetap.

8. Regulasi yang Kuno, Aturan Dibuat Sebelum Teknologi Ada

Simpul kusut lain yang sering luput dari perhatian kita adalah regulasi. Banyak aturan dan regulasi yang dibuat di masa lalu tidak lagi sesuai dengan perkembangan teknologi dan ekonomi digital saat ini. 

Misalnya, aturan tentang transportasi online yang sering tumpang tindih antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menciptakan ketidakpastian hukum. Akibatnya, banyak inovasi baru yang seharusnya bisa ciptakan jutaan lapangan kerja terhambat perkembangannya. 

Laporan e-Conomy SEA 2023 dari Google, Temasek, dan Bain & Company mencatat bahwa ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai USD 82 miliar, tetapi potensi ini belum sepenuhnya tergali karena regulasi yang ketinggalan zaman.

Jalan keluar mengatasi masalah ini, Pemerintah perlu segera membentuk tim khusus reformasi regulasi yang beranggotakan perwakilan dari kementerian terkait, akademisi, dan praktisi industri. 

Tim ini harus diberi wewenang untuk meninjau dan merevisi aturan yang menghambat inovasi. Buatlah regulasi sandbox atau area uji coba terbatas untuk teknologi dan model bisnis baru, seperti yang diterapkan di negara Singapura dan Inggris. 

Ini memungkinkan inovasi berkembang tanpa terhambat birokrasi, sambil Pemerintah bisa mempelajari dampaknya sebelum diterapkan secara luas. 

Selain itu, PP Nomor 74 Tahun 2022 tentang Sistem Informasi Ketenagakerjaan perlu dioptimalkan agar dapat jadi landasan hukum yang kuat untuk dukung ekosistem kerja hybrid dan remote, sejalan dengan tuntutan zaman.

Masa Depan yang Harus Kita Ambil, Saatnya Aksi Nyata

Jumlah 7,28 juta pengangguran di Indonesia itu sebenarnya alarm buat kita semua. Itu artinya, janji dasar kemerdekaan, yaitu bikin rakyat adil dan makmur belum benar-benar terwujud.

Momen 80 tahun Indonesia Merdeka ini bukan hanya buat nostalgia atau kebanggaan. Ini saatnya kita berani lihat kenyataan dan mulai membangun buat masa depan. Solusinya, ya harus ada langkah nyata, dimulai dari sekarang.

Tidak bisa sendirian, semua pihak harus ikut turun tangan. Pemerintah Pusat dan Daerah, Pengusaha (KADIN, APINDO, HIPMI), UMKM, Koperasi Desa, sampai Kampus Universitas dan Sekolah-Sekolah. Kita harus bareng-bareng mengubah jutaan angka pengangguran itu jadi jutaan cerita sukses.

Di bawah Kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto, ayo kita jadikan usia 80 tahun Indonesia Merdeka ini sebagai pemicu. Bukan hanya semangat, tapi juga aksi nyata supaya 7,28 juta pengangguran bisa punya pekerjaan atau usaha sendiri dan hidup layak di tanah air kita tercinta.

Sekali lagi, Selamat Hari Ulang Tahun RI Ke-80. Merdeka!

Jakarta, 17 Agustus 2025

Terima Kasih


LIPSUS