![]() |
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu (ist/inilampung) |
INILAMPUNG.COM, Bandarlampung - Kasus dugaan suap pengelolaan kawasan hutan yang di wilayah Kabupaten Way Kanan yang melibatkan PT Inhutani V dan PT Paramitra Mulia Langgeng (PML) menyeret nama perusahaan perkebunan singkong dan pengolahan tepung tapioka terbesar di Lampung dan Indonesia, Sungai Budi Group.
Masuknya Sungai Budi Group dalam pusaran kasus dugaan suap yang telah ditangani KPK ini tidak lain karena PT PML merupakan anak perusahaan Sungai Budi Group, pemilik brand Rosebrand.
Terungkapnya keterlibatan PT Sungai Budi Goup dalam skandal dugaan suap tersebut dibeberkan Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu.
Diketahui, PT Inhutani V memiliki hak areal di Provinsi Lampung seluas sekitar 56.547 hektare. Dari luas tersebut, sekitar 55.157 hektare telah menjadi lahan kerja sama dengan PT Paramitra Mulia Langgeng (PML) yang mencakup Register 42 Rebang seluas 12.727 hektare, Register 44 Muaradua seluas 32.375 hektare, dan Register 46 Way Hanakau seluas 10.055 hektare.
Dan terkait kasus ini, Aditya (ADT), staf perizinan Sungai Budi Grup, telah menjadi tersangka sebagai pemberi suap. Selain itu, ditersangkakan juga Direktur Utama PT Inhutani V Dicky Yuana Rady (DIC) sebagai penerima suap, dan Direktur PT PML Djunaidi (DJN).
Sejak hari Kamis (14/8/2025) kemarin, dua pegawai anak perusahaan Sungai Budi Group –Djunaidi dan Aditya- beserta Dirut PT Inhutani V Dicky Yuana Rady, telah ditahan di Rutan KPK Gedung Merah Putih, pasca operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada hari Rabu (13/8/2025) di empat lokasi berbeda, yaitu Jakarta, Bekasi, Depok, dan Bogor.
Kronologis Kasus
Kasus yang membuat nama Sungai Budi Group naik kepermukaan ini berawal dari PT PML yang tidak memenuhi kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) periode 2018–2019 senilai Rp 2,31 miliar. Selain itu, juga menunggak pembayaran pinjaman dana reboisasi sebesar Rp 500 juta per tahun dan belum menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan bulanannya.
Pada 2023, melalui putusan Mahkamah Agung, perjanjian kerja sama yang telah direvisi pada 2018 dinyatakan tetap berlaku. Dalam putusan itu, PT PML juga diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 3,4 miliar.
"Meskipun dengan berbagai permasalahan tersebut, pada awal 2024, PT PML tetap berniat melanjutkan kerja sama dengan PT INH (Inhutani V)," terang Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu.
Bentuk melanjutkan kerja sama tersebut adalah kembali mengelola kawasan hutan di Register 42, Register 44, dan Register 46, sesuai perjanjian kerja sama yang telah direvisi pada 2018. Prosesnya dituangkan dalam kesepakatan pengelolaan hutan oleh PT PML melalui RKUPH (Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan).
Diuraikan Asep, kesepakatan ini tercapai setelah pertemuan antara jajaran direksi dan dewan komisaris PT Inhutani dengan Djunaidi selaku Direktur PT PML beserta timnya di Lampung pada Juni 2024.
Dua bulan kemudian, Djunaidi mentransfer Rp 4,2 miliar ke rekening PT Inhutani untuk biaya pengamanan tanaman dan kebutuhan perusahaan. Pada saat yang sama, Dicky menerima uang tunai Rp 100 juta dari Djunaidi, yang menurut Asep, digunakan untuk kepentingan pribadi.
Dicky akhirnya menyetujui permintaan dari PT PML dengan perubahan RKUPH pada November 2024. Perubahan tersebut meliputi pengelolaan hutan tanaman seluas 2.619,40 hektare di wilayah Register 42 dan 669,02 hektare di wilayah Register 46.
Selanjutnya, Dicky menandatangani Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Inhutani V yang memuat kepentingan PT PML. Pada Februari 2025, Djunaidi meminta Sudirman, staf PT PML, membuat bukti setor yang mencatat transfer Rp 3 miliar dan Rp 4 miliar dari PT PML ke PT Inhutani V.
Menurut Asep, tindakan ini membuat laporan keuangan Inhutani V yang sebelumnya merah berubah menjadi hijau, sehingga posisi Dicky pun aman.
"PT PML sudah mengeluarkan dana Rp 21 miliar kepada PT INH untuk modal pengelolaan hutan," kata Asep.
Pertemuan kembali terjadi antara Dicky dan Djunaidi di lapangan golf Jakarta pada bulan Juli 2025. Pada pertemuan tersebut, Dicky meminta mobil baru kepada Djunaidi, dan permintaan tersebut langsung disetujui. Mobil seharga Rp 2,3 miliar itu dibeli pada Agustus 2025.
"Yang diminta mobil baru itu Rubicon," kata Asep seraya menambahkan, melalui stafnya, Djunaidi juga mengirimkan uang sebesar SGD 189.000 ke kantor PT Inhutani V.
Djunaidi, pimpinan anak perusahaan Sungai Budi Group, menyampaikan kepada Dicky bahwa ia telah memenuhi semua permintaan, termasuk pemberian kepada salah satu komisaris PT Inhutani V.
Permainan ini pun terendus, dan atas perbuatan ini KPK menduga bahwa dua orang dari PT PML yaitu Djunaidi dan Aditya merupakan pihak yang berperan sebagai pemberi suap. Sementara Direktur Utama PT Inhutani V Dicky Yuana penerima suap.
Karena itu, Djunaidi dan Aditya dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan Dicky diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Diketahui juga dalam OTT kasus yang menyeret nama Sungai Budi Group ini KPK meringkus sembilan orang di empat lokasi berbeda, yakni Jakarta, Bekasi, Depok, dan Bogor. Dari penindakan tersebut, tim KPK menyita sejumlah barang bukti, antara lain uang tunai SGD189.000 (Rp 2,4 miliar berdasarkan kurs saat ini), uang tunai dalam bentuk rupiah senilai Rp 8,5 juta, satu unit mobil Rubicon di rumah Dicky, serta satu unit mobil Pajero milik Dicky yang berada di rumah Aditya. (kgm-1/inilampung)