Oleh Denny JA
Akhir Agustus 2025, Surabaya berubah menjadi panggung amarah. Di depan Gedung Negara Grahadi, massa pengemudi ojek online memadati jalanan.
Mereka datang dengan wajah muram, suara klakson motor bercampur dengan teriakan yang menuntut keadilan bagi Affan Kurniawan.
Mula-mula orasi menggema, namun tak lama kemudian emosi meluap. Batu dan botol beterbangan, kaca pecah berhamburan.
Sebuah motor terbakar di tengah jalan. Asap hitamnya menjulang, menutup pandangan ke langit malam.
Situasi kian panas ketika aparat menembakkan gas air mata, diikuti semburan water cannon yang menyapu massa. Jalan utama Surabaya malam itu menjadi ladang bentrokan antara rakyat kecil dengan negara.
Kota itu bergolak bukan hanya karena satu nyawa yang hilang. Mereka datang membawa perasaan yang sama: bahwa Affan Kurniawan bukan sekadar korban tabrakan aparat, melainkan simbol pekerja kecil yang terlindas.
-000-
Namun Surabaya hanyalah satu potongan cerita. Di Solo, ratusan pengemudi ojol berkumpul bersama aparat Brimob bukan untuk bentrok, melainkan untuk menundukkan kepala.
Salat gaib digelar di halaman Markas Brimob Batalyon C Pelopor. Doa bersama menjadi bentuk lain dari teriakan solidaritas: hening, tapi dalam.
Di Semarang, wajah solidaritas justru meledak jadi konflik. Massa besar memenuhi Jalan Pahlawan di depan Polda Jawa Tengah.
Lalu lintas lumpuh, pos polisi terbakar, puluhan orang ditangkap. Semarang mencatat solidaritas dengan nyala yang garang, seakan kota itu tak lagi bisa menahan amarah.
Sementara di Kota Batu (Malang Raya), aksi berjalan dengan wajah yang berbeda. Aliansi ojol membagikan pita hitam dan menggelar doa bersama di alun-alun.
Tak ada bentrokan, tak ada motor terbakar. Hanya duka yang dijaga dengan khidmat, simbol sederhana tapi kuat: keadilan dituntut lewat kesunyian doa.
Di Medan, ratusan orang berorasi di depan gedung DPRD Sumatera Utara. Poster bertuliskan tuntutan keadilan terangkat di antara peluit dan pengeras suara.
Medan ikut bersuara, menegaskan bahwa Affan adalah potret diri mereka sendiri.
Tak berhenti di situ. Jejak solidaritas muncul pula di Makassar, Aceh, Pontianak, Gorontalo, dan Palu. Kota-kota ini mungkin berbeda wajah, dialek, dan sejarah, tapi mereka digabungkan oleh perasaan senasib.
Pesannya sama: tragedi yang menimpa Affan bisa menimpa siapa saja dari mereka, warga negara biasa.
-000-
Mengapa satu nyawa yang hilang di Jakarta menjalar ke begitu banyak kota?
Jawabannya terletak pada jalinan erat antara jaringan digital, simbol ketidakadilan, dan momentum politik yang sudah memanas.
Ojol adalah komunitas yang unik. Ia tersebar di setiap sudut kota, terkoneksi lewat grup WhatsApp, Telegram, dan aplikasi yang mereka gunakan saban hari.
Ketika kabar duka menyebar, ia tak berputar lambat seperti koran pagi. Sebaliknya, ia meledak cepat seperti api yang menyambar bensin.
Dalam sekejap, ribuan ponsel bergetar serempak dengan pesan yang sama: “Affan harus diberi keadilan.”
Namun yang membuat kabar ini berbeda adalah cara kematian Affan dimaknai. Ia bukan sekadar seorang pengemudi ojol yang naas tertabrak.
Ia dipandang sebagai lambang dari rakyat kecil yang rapuh tanpa perlindungan hukum.
Persis seperti Marsinah, buruh yang menjadi ikon perjuangan kelas pekerja pada 1990-an, Affan kini berdiri dalam imajinasi kolektif sebagai ikon pekerja gig economy di era digital.
Dan tentu saja, konteks sosial politik memberi panggung. Negara sedang dihantam inflasi, kebijakan yang tidak populer, hingga ketidakpuasan publik terhadap aparat.
Bara sudah ada; kisah Affan hanya menjadi api kecil yang membuat seluruh tumpukan kayu menyala.
-000-
Tiga Skenario Ke Depan
Skenario pertama adalah padam perlahan. Tindakan simpatik aparat, kelelahan massa, dan ketiadaan struktur bisa membuat solidaritas hanya bertahan sebentar.
Namun, seperti Marsinah, Affan tetap hidup dalam puisi, mural, dan film dokumenter. Ia abadi bukan di jalanan, tetapi dalam memori bangsa.
Skenario kedua adalah menguat. Dari duka yang spontan, gerakan ini bisa berkembang menjadi forum advokasi, serikat pekerja digital, atau konfederasi gig workers lintas kota.
Di sini, ojol menemukan daya tawarnya. Ia bukan hanya protes emosional, tetapi perundingan rasional untuk menuntut asuransi, upah minimum algoritmis, dan perlindungan hukum.
Ojol menjadi komunitas baru yang powerful. Mereka akan memiliki pemimpin nasionalnya, untuk lebih melindungi kepentingan anggota.
Skenario ketiga adalah melebur ke arus besar nasional. Bila ekonomi terus memburuk, bila kepercayaan terhadap aparat makin runtuh, kisah Affan bisa menjadi George Floyd versi Indonesia.
Solidaritas ojol melebur dengan mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil. Dari Surabaya ke Jakarta, dari Medan ke Makassar, bisa lahir gelombang besar yang mengguncang fondasi politik.
Namun tentu saja, ia tak akan menjadi gelombang 1998 yang mengubah pucuk kepemimpinan nasional.
Popularitas Presiden Prabowo masih bertahan kuat hingga 2029. Tapi di bawahnya, keresahan sosial tetap bergolak, menunggu kanal baru untuk menemukan bentuknya.
-000-
Solidaritas Affan Kurniawan adalah cermin bahwa sejarah bangsa tidak hanya ditulis oleh elit politik, melainkan juga oleh darah rakyat kecil yang gugur di jalan.
Dari Surabaya yang bergolak, Batu yang berdoa, hingga Makassar yang berteriak, pesan itu sama: apakah negara hadir melindungi, atau justru menjadi roda besi yang melindas warganya?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan ke mana arah bangsa: apakah solidaritas ini meredup jadi kenangan, tumbuh jadi gerakan baru, atau meledak jadi gelombang nasional.
Chairil Anwar pernah menulis: “Sekali berarti, sudah itu mati.” Affan sudah mati. Tapi arti hidupnya kini sedang diuji: apakah hanya berarti sesaat, ataukah menjadi babak baru sejarah solidaritas Indonesia.
Presiden Prabowo memang sudah menyampaikan bela sungkawa kepada keluarga Affan. Namun lebih dari sekadar kata-kata duka, publik menantikan keberanian negara untuk menghadirkan perlindungan nyata bagi rakyat kecil.
Misalnya, pemerintah perlu merancang "upah minimum algoritmik.” Ini memastikan pendapatan dasar pengemudi, disertai asuransi kesehatan wajlb yang dibiayai oleh pengusaha platform.
Langkah konkret mengubah duka menjadi sistem perlindungan berkelanjutan. Tanpa intervensi struktural, solidaritas hanya akan jadi riak di permukaan, sementara akar ketidakadilan tetap tak tersentuh.
Baru ketika hukum berpihak, dan ekonomi memberi napas yang layak, kita bisa berkata dengan lega: kematian Affan Kurniawan tidak sia-sia.
Ia gugur di jalan, tetapi maknanya bisa hidup dalam sejarah, sebagai babak baru solidaritas rakyat yang tak lagi bisa diabaikan. ***
Jakarta, 30 Agustus 2025
Referensi
• Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics, Cambridge University Press, 2011.
• Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Verso, 2006.