INILAMPUNGCM --- Banyak persoalan yang melingkupi RSUDAM Tanjungkarang. Bukan hanya soal pelayanan nakes yang masih dalam bahasan publik seusai terungkap fakta seorang dokter bedah anak –dari tiga dokter spesialis yang ada- yaitu dr. BR diduga “memperjualbelikan” alkes ke keluarga pasien dengan minta transfer Rp 8 juta ke rekening pribadinya, -yang kini kasusnya “digantung” oleh Inspektorat Provinsi Lampung-, tetapi banyak hal lain juga.
Salah satunya adalah adanya fakta jika nota pembayaran atas biaya pasien masih berupa manual alias ditulis tangan. Hal inilah yang dialami keluarga pasien berinisial M asal Lampung Timur. Adanya nota bergaya khas Puskesmas terjadi BLUD Pemprov Lampung itu tentu saja mengejutkan. Namun demikianlah kenyataannya, sebagaimana dikutip dari radarcybernusantara.com.
Pemakaian nota manual alias tulis tangan gaya Puskesmas itu tidak ditampik Humas RSUDAM, Desi.
“Mohon maaf, ini terkendala masalah sistem SMRS. Kami selalu berupaya untuk meng-update sistem. Makanya nota pembayaran masih manual,” aku Desi, Senin (19/9/2025) lalu.
Ery, petugas yang menghitung biaya pembayaran pasien, menjelaskan, meski memakai nota manual namun biaya yang ada sudah sesuai ketentuan. Karena kendala dari SMRS-lah maka notanya ditulis tangan.
Dijelaskan Ery, sebelumnya semua sistem SMRS di RSUDAM ada pihak ketiga yang menangani. Tetapi, atas kebijakan pimpinan, sejak memasuki tahun 2025 dirubah.
“Ini berubah sejak 13 Januari 2025. Dulu ada pihak ketiga yaitu PT Buana yang menangani sistem SMRS. Tapi kebijakan pimpinan meminta kami untuk mandiri,” beber Ery.
Lalu apa itu SMRS yang kini seakan dijadikan “kambing hitam” atas kekacauan –dan ketidakprofesionalan- RSUDAM dalam urusan pelayanan administrasi ke keluarga pasien? Menurut penelusuran inilampung.com, singkatan sesungguhnya adalah SIMRS –bukan SMRS-, yaitu sistem informasi manajemen rumah sakit.
Apa pula itu? Suatu sistem informasi komunikasi yang memproses dan mengintegrasikan seluruh proses pelayanan rumah sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan, dan prosedur administrasi untuk memperoleh informasi secara tepat dan akurat.
Diketahui, SIMRS ini mencakup seluruh proses bisnis pada RSUDAM yang berupa pelayanan umum (front office) dan pelayanan administrasi (back office), didukung dengan kemampuan komunikasi dan kolaborasi antar sistem serta didukung infrastruktur yang memadai.
Dan sesungguhnya, SIMRS di RSUDAM ini bukan hal baru. Telah ada sejak tahun 2019 silam, bahkan sampai tahun 2024 kemarin telah menghabiskan anggaran Rp 39.508.603.234. Terkait hal ini, RSUDAM menjalin kerja sama –KSO- dengan PT BVK sejak tahun 2019.
Mengacu pada KSO SIMRS tahun 2019, PT BVK berkewajiban menyediakan aplikasi SIMRS dengan nama MIRSA@ yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Penyediaan aplikasi ini memakai pola sewa pakai atau operational lease, dimana RSUDAM akan mendapatkan manfaat dari penggunaan aplikasi, termasuk seluruh layanan pemeliharaan sistem dan perangkat keras.
Selain itu, PT BVK juga berkewajiban memelihara hardware, menempatkan personal –teknisi- on site assistance, dan layanan local support, merenovasi ruang SIMRS, mengembangkan dan/atau menyempurnakan aplikasi SIMRS serta menambah perangkat untuk mendukung jalannya aplikasi.
Pada saat perjanjian berakhir, PT BVK memberikan hak pakai aplikasi dan sepakat menyerahkan hardware serta jaringan menjadi hak milik RSUDAM. Atas pelaksanaan perjanjian itu –dari tahun 2019 hingga 2024- PT BVK telah menerima pembayaran sebesar Rp 39.508.603.234.
Perincian pembayaran yang diterima PT BVK dengan aplikasi yang kini menjadi hak milik RSUDAM itu adalah:
1. Tahun 2019 menerima pembayaran Rp 1.009.594.862.
2. Tahun 2020 menerima pembayaran Rp 5.738.470.272.
3. Tahun 2021 menerima pembayaran Rp 6.687.804.025.
4. Tahun 2022 menerima pembayaran Rp 8.059.088.418.
5. Tahun 2023 menerima pembayaran Rp 9.005.285.665.
6. Tahun 2024 menerima pembayaran Rp 9.008.359.992.
Persoalannya: Mengapa kini aplikasi SIMRS “ngadat”, sehingga nota pembayaran di RSUDAM memakai nota manual gaya Puskesmas? Benarkah penunjukan PT BVK sebagai perancang dan pelaksana aplikasi selama enam tahun ini “bermasalah”? Besok kupasan mendalamnya. (bersambung/kgm-1/inilampung)