![]() |
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek (RSUDAM) menghadirkan Pelayanan Terpadu Admisi sebagai pintu masuk utama layanan pasien (dok/rsudam) |
(Bagian II)
Sesungguhnya, telah banyak pihak yang sejak awal “mengawasi” adanya program Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) di RSUDAM Tanjungkarang itu. Program yang digadang-gadang mampu memberikan pelayanan “modern” ini justru terindikasi menyimpan beberapa penyimpangan.
Hingga akhirnya, “kasus” SIMRS di RSUDAM ini ditelisik serius oleh BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung. Melalui kerja investigatif yang sangat terukur, ditemukanlah beberapa hal yang tidak sesuai ketentuan.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Belanja Daerah Tahun Anggaran 2024 pada Pemprov Lampung, Nomor: 47/LHP/XVIII.BLP/12/2024 tanggal 20 Desember 2024, BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung mengurai beragam persoalan dalam program aplikasi SIMRS di RSUDAM.
Apa saja persoalannya? Diantaranya; harga penyediaan aplikasi belum dapat diyakini kewajarannya dan berpotensi tidak memberikan manfaat optimal. HPS yang disusun dalam rangka pemilihan penyedia pada tahun 2019 tidak berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan dan pemilihan PT BVK sebagai penyedia tidak sesuai ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah. Ditambah dalam pelaksanaan dan pengakhiran kontrak, PT BVK belum sepenuhnya melaksanakan kewajibannya, dan pihak RSUDAM tidak berencana melanjutkan pemanfaatan aplikasi.
Indikasi Praktik KKN
Merunut pada data, persoalan SIMRS di RSUDAM yang kini dijadikan “kambing hitam”, mengakibatkan nota pembayaran pasien ditulis tangan, sudah bermasalah sejak awal pemilihan penyedia jasa aplikasi. Dimana harga perkiraan sendiri (HPS) KSO SIMRS 2019 tidak disusun secara keahlian PPK.
Pemilihan penyedia pada tahun 2019 (KSO SIMRS 2019) dilakukan berdasarkan HPS Rp 32.378.176.000. Nilai itu merupakan perkiraan biaya total yang akan dikeluarkan RSUDAM selama lima tahun, mencakup investasi aplikasi software SIMRS Rp 12.120.000.000, investasi hardware dan jaringan SIMRS Rp 13.804.035.000, dan investasi penempatan SDM sebesar Rp 6.454.141.000.
Dalam penelisikan diketahui bahwa HPS tersebut disusun oleh PT NTI –penyedia jasa tahun 2014 sampai 2019- bersama PT BVK sebagai calon penyedia jasa sebelum proses pemilihan dilakukan. HPS pun disusun tanpa data pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
Juga tidak ada harga pembanding atau dokumentasi hasil survei atas komponen sewa aplikasi (investasi aplikasi/software SIMRS), tidak pula ada rincian kuantitas dan harga yang memadai atas komponen investasi hardware dan jaringan SIMRS, serta tidak ada dasar perhitungan yang memadai atas komponen investasi penempatan SDM.
Ironisnya, HPS hasil hitung-hitungan PT NTI dan PT BVK –sebelum proses pemilihan- itu tidak dikoreksi atau dirubah oleh pihak RSUDAM. Apalagi, jika HPS dipersentasekan terhadap pendapatan RSUDAM yaitu 3%, masih lebih kecil dari persentase tarif sebelumnya dengan PT NTI sebesar 3,3%.
Indikasi adanya praktik KKN pun sulit dibantah. Penunjukan PT BVK sebagai penyedia jasa aplikasi SIMRS untuk KSO SIMRS 2019 tidak mengacu pada peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.
Panduan yang digunakan dalam memilih PT BVK sebagai penyedia hanyalah Peraturan Gubernur Lampung Nomor: 28 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama RSUDAM dengan Pihak Ketiga. Namun, pergub tersebut tidak secara rinci menjelaskan tata cara dan metode pengadaan barang/jasa dan tidak mengatur tentang metode lelang melalui email dan pembayaran berupa persentase dari pendapatan.
Memang, ada empat perusahaan yang diundang RSUDAM untuk mengikuti seleksi penyedia SIMRS pada SIMRS 2019. Tetapi, ditengarai semua itu hanya kamuflase atau untuk memenuhi ketentuan semata. Terbukti, PT BVK dipilih dan ditunjuk sebagai penyedia jasa melalui proses undangan menggunakan email panitia; panitiasimrs.RSUDAM2019@gmail.com, tanpa menggunakan aplikasi sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik atau SPSE.
Tidak hanya itu indikasi adanya praktik KKN atau “kocok bekem” yang dimainkan RSUDAM. Pemilihan penyedia jasa juga tidak didahului dengan pengumuman pada Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP), media cetak maupun media elektronik, serta SPSE. Pengumuman hanya dilakukan dengan menempelkan kertas pengumuman di papan pengumuman loby gedung administrasi RSUDAM.
Saratnya praktik KKN dalam penunjukan penyedia jasa SIMRS di RSUDAM itu terang benderang. Lalu, benarkah sebenarnya PT BVK tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi penyedia jasa aplikasi di rumah sakit milik Pemprov Lampung itu? Besok kupasannya. (bersambung/kgm-1/inilampung)