-->
Cari Berita

Breaking News

Semaan Puisi: Merawat Sastra, Merajut Kebersamaan

Dibaca : 0
 
Minggu, 21 September 2025



Oleh Muhammad Khairul Risky


Pada 20 September 2025, ruang Al-Zastrow Library di Jakarta menjadi saksi lahirnya sebuah tradisi baru dalam dunia literasi: Semaan Puisi. Acara ini digelar dengan tujuan sederhana tetapi bermakna besar, yakni memperkenalkan dan mempromosikan karya sastra Indonesia melalui diskusi, pembacaan, dan pertemuan langsung antara penulis, pembaca, serta masyarakat. Dengan pendekatan yang cair dan terbuka, Semaan Puisi tidak hanya menghadirkan sastra sebagai teks yang dibaca, tetapi juga sebagai pengalaman kolektif yang menghidupkan kebersamaan.


Acara perdana ini menghadirkan Mahwi Air Tawar sebagai pembicara tunggal. Cerpenis sekaligus budayawan yang telah lama menekuni dunia sastra ini berbagi pandangan tentang karya Santi Gotama berjudul Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu. Diskusi dipandu oleh Andy Lesmana, pegiat sastra yang turut menjaga alur percakapan tetap hangat dan terarah. Buku yang menjadi bahasan menawarkan refleksi mendalam mengenai keteguhan, pengorbanan, serta hubungan manusia dengan alam. Dengan gaya bertutur yang komunikatif, Mahwi mengajak peserta menyadari bahwa sastra bukan sekadar cerita, melainkan ruang renungan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.


Sebelum diskusi berlangsung, acara dibuka dengan sambutan dari Iksan Lutfi Maulana, Ketua Karang Taruna RW 08. Ia menekankan pentingnya kegiatan ini sebagai langkah untuk membudayakan sastra sekaligus mempererat kebersamaan melalui aktivitas yang bermakna. Pandangan ini memberi penekanan bahwa Semaan Puisi tidak hanya ditujukan untuk kalangan tertentu, melainkan terbuka bagi masyarakat luas sebagai ruang perjumpaan lintas generasi.


Diskusi buku berlangsung dalam dua sesi. Pada sesi pertama, Mahwi Air Tawar, mengajak peserta diajak menyelami tema-tema besar dalam karya Santi Gotama, mulai dari keteguhan hati menghadapi ujian hingga bagaimana alam berperan sebagai cermin kehidupan. Kehadiran sesi tanya jawab membuat suasana semakin hidup, karena audiens dapat menanggapi langsung gagasan yang dipaparkan narasumber. Dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul, tampak bahwa sebuah teks sastra mampu memantik perenungan yang berlapis dan membuka cakrawala baru.


Untuk memperkaya suasana, acara dilengkapi dengan pembacaan puisi oleh Amin Densu dan Willy Ana. Dengan penghayatan yang penuh, keduanya menyalurkan nuansa emosional yang memperdalam makna acara. Puisi yang mereka bacakan menjadi semacam jembatan yang menghubungkan dunia ide dengan rasa, menegaskan bahwa sastra tidak hanya hadir dalam diskusi intelektual, tetapi juga dalam pengalaman estetik yang menyentuh perasaan.


Sesi kedua diskusi kemudian melanjutkan pembahasan dengan menyoroti lebih banyak aspek dari buku Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu. Peserta diajak melihat berbagai sudut pandang yang mungkin luput pada awalnya, sehingga pemahaman terhadap karya ini semakin mendalam. Dari sini tampak jelas bahwa setiap pembacaan sastra selalu menghadirkan kemungkinan baru—sebuah ruang tafsir yang tidak pernah selesai.


Tepat pukul 17.30 WIB, rangkaian acara pun ditutup. Namun, jejak yang ditinggalkan Semaan Puisi perdana jauh melampaui batas waktu penyelenggaraan. Ia menghadirkan kesadaran bahwa sastra dapat menjadi ruang dialog, bukan hanya antara teks dan pembaca, tetapi juga antarindividu dalam sebuah komunitas. Dari pertemuan sederhana itu lahir keyakinan bahwa kegiatan serupa perlu terus digelar secara rutin, bahkan dikembangkan menjadi tradisi tahunan.


Dengan demikian, Semaan Puisi tidak hanya menjadi ajang apresiasi sastra, tetapi juga sebuah upaya merawat budaya literasi sekaligus memperkuat ikatan sosial. Refleksi yang lahir dari diskusi dan pembacaan puisi menunjukkan bahwa sastra masih relevan untuk zaman ini: sebagai sumber inspirasi, pengetahuan, dan perekat kebersamaan.***


LIPSUS