Oleh Denny JA
Jakarta, awal September 2025. Di depan gedung DPR yang kokoh berdiri, ratusan mahasiswa duduk di aspal.
Spidol hitam menulis di atas kertas karton: “17+8: Suara Rakyat.”
Tinta itu gemetar, seakan menyerap peluh dan amarah sekaligus.
Seorang guru honorer menangis lirih ketika nama-nama korban disebut: Affan Kurniawan, Umar Amarudin.
Di tengah kerumunan, seorang ibu ojek daring menurunkan helm, ikut berteriak, “Reformasi Jilid Dua.”
Momen itu menggetarkan hati. Protes ini bukan sekadar pawai kemarahan. Ia adalah jeritan nurani.
Tapi apa yang menjadi substansi tuntutan aksi protes dan kerusuhan yang berlangsung di 107 titik dan 32 provinsi di seluruh Indonesia ini, di akhir Agustus–awal September 2025?
-000-
Setiap protes lahir dari luka kolektif. Namun sejarah hanya mencatat dengan jelas jika luka itu diberi tuntutan.
Tuntutan adalah arah panah. Tanpa tuntutan, protes menjadi teriakan yang tercecer. Dengan tuntutan, ia menjadi sejarah.
Saya teringat sebuah buku klasik yang mempelajari tuntutan aksi protes di seluruh dunia.
Judulnya World Protests: A Study of Key Protest Issues in the 21st Century (Ortiz dkk., 2021, Palgrave Macmillan).
Sejak manusia berkumpul dalam komunitas, protes selalu hadir sebagai denyut nadi sejarah. Protes bukan sekadar kerumunan yang berteriak.
Ia adalah pernyataan—kadang marah, kadang pilu, kadang penuh harap—bahwa ada yang salah dalam tatanan sosial, dan harus diperbaiki.
Namun protes tanpa tuntutan ibarat kapal tanpa kompas. Ia bisa menimbulkan gelombang, tapi tak tahu ke arah mana ingin berlayar.
Buku ini salah satu telaah paling luas tentang fenomena tuntutan aksi protes. Ia ditulis berdasarkan analisis hampir 3.000 protes di 101 negara antara 2006–2020—yang mewakili lebih dari 93% populasi dunia.
Betapa beragamnya wajah protes, sekaligus menegaskan satu hal sederhana: protes selalu berharga karena ia membawa tuntutan.
Tuntutan adalah bentuk artikulasi: ia mengubah amarah menjadi agenda, mengubah luka menjadi arah, mengubah kegelisahan menjadi bahasa yang dapat dipahami pemerintah, penguasa, dan dunia.
Tanpa tuntutan, protes hanyalah teriakan di jalan. Dengan tuntutan, protes menjadi sejarah.
-000-
Tuntutan Demokrasi dan Hak Politik
Salah satu pola terbesar yang ditangkap dalam World Protests adalah bagaimana rakyat di berbagai negara turun ke jalan untuk menuntut demokrasi sejati, transparansi, dan hak politik yang dijunjung tinggi.
Dari Arab Spring (2011) di Tunisia, Mesir, hingga Libya, kita melihat bagaimana massa bukan sekadar marah pada pemimpin otoriter.
Mereka membawa tuntutan jelas: kebebasan berpendapat, pemilu yang adil, konstitusi yang dihormati. Di Tunisia, tuntutan itu akhirnya menjatuhkan rezim Ben Ali dan membuka jalan bagi demokrasi, meski penuh liku.
Mengapa tuntutan ini penting? Karena demokrasi adalah mekanisme yang memberi suara pada rakyat di luar jalanan.
Protes adalah pintu darurat ketika saluran demokrasi macet. Tetapi agar pintu darurat ini sah, ia harus diikuti dengan tuntutan yang bisa diwujudkan.
Bayangkan jika protes Arab Spring hanya berupa teriakan “Turunkan Presiden!” tanpa peta jalan. Setelah presiden jatuh, kekosongan bisa menelan rakyat ke dalam kekacauan yang lebih dalam.
Ortiz dkk. menunjukkan, dari Asia hingga Amerika Latin, protes dengan tuntutan demokrasi selalu berkait dengan hak dasar manusia: hak untuk memilih, bersuara, dan tidak dibungkam.
Zeynep Tufekci dalam Twitter and Tear Gas (2017) juga menegaskan: demokrasi yang sehat lahir bukan dari kerumunan spontan saja, tetapi dari tuntutan yang terartikulasi jelas.
Inilah sebabnya tuntutan dalam protes penting—mereka bukan sekadar perlawanan, tapi peta jalan menuju sistem yang lebih adil.
-000-
Tuntutan Ekonomi, Pekerjaan, dan Layanan Publik
Protes tidak selalu lahir dari ideologi tinggi. Sering kali, ia bermula dari perut.
World Protests menegaskan bahwa lebih dari setengah protes global antara 2006–2020 berakar pada isu ekonomi: harga pangan, upah, pengangguran, biaya pendidikan, hingga layanan kesehatan.
Sejarah penuh dengan contohnya. Protes “Bread Riots” di Mesir (1977) pecah saat pemerintah menghapus subsidi roti.
Tuntutannya jelas: kembalikan subsidi agar rakyat miskin bisa makan. Tekanan massa begitu kuat hingga pemerintah mundur.
Di era modern, Gerakan Chile (2019) bermula dari kenaikan tarif transportasi metro di Santiago. Dari situ, berkembanglah tuntutan lebih luas: pendidikan gratis, jaminan kesehatan, hingga konstitusi baru.
Protes yang awalnya tampak remeh—hanya kenaikan ongkos kereta bawah tanah—akhirnya memicu referendum nasional yang menulis ulang arah negara.
Mengapa tuntutan ekonomi penting? Karena ia menegaskan bahwa keadilan sosial tidak hanya ada di dalam pidato, melainkan dalam keseharian.
Harga roti, di sini harga beras, ongkos transportasi, subsidi BBM, subsidi listrik, atau biaya sekolah adalah ukuran nyata apakah negara berpihak pada rakyat atau pada elite.
Ortiz dkk. mencatat bahwa banyak tuntutan ekonomi dalam protes modern beririsan langsung dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB: pekerjaan layak, pendidikan bermutu, kesehatan universal.
Frances Fox Piven dalam Poor People’s Movements (1977) menambahkan: rakyat miskin justru paling lantang menuntut keadilan saat krisis, karena bagi mereka, hidup atau mati sering ditentukan oleh harga pangan atau upah harian.
Dengan kata lain, rakyat di jalan sering kali lebih cepat membaca kebutuhan masa depan dibandingkan birokrasi negara.
-000-
Buku World Protests menegaskan kebenaran yang sederhana namun dalam: protes adalah bahasa rakyat, dan tuntutan adalah maknanya.
Dari Tahrir Square hingga Santiago, dari Occupy Wall Street hingga Climate Strikes, keberagaman tuntutan itu menunjukkan betapa luasnya spektrum kebutuhan manusia: politik, ekonomi, hingga planet yang kita huni bersama.
Tanpa tuntutan, protes hanyalah amarah. Dengan tuntutan, protes menjadi sejarah.
-000-
Lalu apa yang menjadi tuntutan aksi protes 2025 ini? Tuntutan 2025: Gerakan 17+8
Mahasiswa kini membawa 17 tuntutan jangka pendek dan 8 jangka panjang.
Mulai dari penghentian kekerasan aparat, penarikan TNI dari ruang sipil, reformasi DPR dan partai, hingga UU perampasan aset koruptor.
Konflik sosial yang menjadi latar: publik marah dengan kenaikan gaji DPR di tengah krisis, kecewa dengan aparat yang keras terhadap demonstran, protes dengan janji yang tak ditepati.
17+8 adalah daftar panjang, tapi inti emosinya sederhana: rakyat menuntut negara kembali berorientasi kepada kepentingan rakyat kecil.
-000-
Kita bisa bandingkan tuntutan aksi protes dari zaman ke zaman.
Tritura 1966: Tiga Kata yang Mengguncang Soekarno
Awal 1966, mahasiswa meneriakkan Tritura:
1. Bubarkan PKI.
2. Rombak Kabinet Dwikora.
3. Turunkan harga kebutuhan pokok.
Hanya tiga. Tapi cukup untuk mengguncang rezim.
Tritura adalah contoh kekuatan kata singkat. Seperti palu kecil yang memukul gong besar.
Reformasi 1998: Enam Tuntutan yang Menumbangkan Soeharto
Tiga dekade kemudian, 1998.
Mahasiswa meneriakkan Enam Tuntutan Reformasi: turunkan Soeharto, adili kroninya, amandemen UUD, otonomi daerah, tegakkan hukum, dan berantas KKN.
Enam tuntutan itu menjadi lidah krisis ekonomi dan politik yang menyesakkan.
Reformasi pun lahir. Orde Baru runtuh.
Revolusi Prancis 1789: Tiga Kata Mengubah Dunia
Lebih jauh ke Eropa, 1789.
Liberté, Égalité, Fraternité.
Kebebasan. Kesetaraan. Persaudaraan.
Tiga kata itu menyalakan api Revolusi Prancis.
Mereka menuntut dihapuskannya kekuasaan absolut raja, persamaan di depan hukum, dan lahirnya Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara.
Lucy Finchett-Maddock dalam Protest, Property and the Commons (2016) menyebut, tuntutan rakyat yang ringkas mampu mengubah tata ruang kekuasaan.
Dari jalanan Paris, lahirlah demokrasi modern.
-000-
Konteks Sosial 17+8: Apa yang Esensial?
Di tengah 25 poin, ada tiga napas inti:
1. Reformasi Kekuasaan (DPR, partai, militer, aparat).
2. Keadilan Sosial-Ekonomi (upah layak, cegah PHK, reformasi pajak).
3. Supremasi Hukum dan HAM (transparansi, hentikan represi, adili koruptor).
Seperti Tritura dan Revolusi Prancis, esensi 17+8 tetap sederhana: kembalikan orientasi negeri kepada kesejahteraan dan kebebasan rakyat.
-000-
Singkat, Fokus, Abadi
Sejarah berulang kali membuktikan: semakin singkat tuntutan, semakin besar gaungnya.
Tritura (3 tuntutan). Reformasi (6 tuntutan). Revolusi Prancis (3 kata).
Protes 2025 masih mencari bentuk: apakah 25 tuntutan ini bisa disarikan menjadi mantera singkat yang bisa diteriakkan anak-anak sekolah, buruh pabrik, hingga ibu rumah tangga?
Karena tuntutan sejatinya bukan daftar administratif. Ia adalah nyanyian sejarah.
Meski 17+8 mencerminkan kompleksitas
masalah, sejarah mengingatkan: tuntutan yang terlalu banyak rentan memecah konsentrasi gerakan.
Aksi protes 2025 perlu
menyaring tuntutan menjadi core demands-seperti Tritura. Ini agar gerakan mudah diingat, sulit dibantah, dan mampu menyatukan kelas sosial berbeda di bawah satu bendera keadilan.
Dari Jakarta 2025, ke Jakarta 1998, Jakarta 1966, hingga Paris 1789, kita belajar satu hal: tuntutan adalah jiwa protes.
Tanpa tuntutan, protes hanya amarah. Dengan tuntutan, ia menjadi arah. Dengan tuntutan singkat, ia menjelma semboyan abadi.
Tuntutan itu menjadi pedoman bahwa rakyat bukan hanya ingin berteriak. Maka jeritan mereka harus dijelmakan dalam kata-kata yang jelas, sederhana, dan fokus. Itu agar dunia tahu keadilan apa yang sedang diperjuangkan.
Dan di era ini, pastikan tuntutan itu harus diperjuangkan dengan semangat non-kekerasan, dan menolak kerusuhan mengambil bagian.***
Jakarta, 6 September 2025
Referensi:
1. World Protests: A Study of Key Protest Issues in the 21st Century (Ortiz dkk., 2021, Palgrave Macmillan).
2. Lucy Finchett-Maddock, Protest, Property and the Commons (2016).
3. Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas (2017).
4. Frances Fox Piven & Richard Cloward, Poor People’s Movements (1977).