-->
Cari Berita

Breaking News

Bahasa Lampung di Ruang Sastra: Refleksi dari Seminar Puisi Berbahasa Lampung

Dibaca : 0
 
Rabu, 22 Oktober 2025


INILAMPUNG.COM, Bandar Lampung — Lampung Literature bersama BPK Wilayah VII Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia menyelenggarakan Seminar Bahasa Lampung: Evakuasi Bahasa melalui Seni, di Perpustakaan Daerah Provinsi Lampung, Selasa (21/10) kemarin. 


Seminar menghadirkan empat narasumber yakni Iqbal Hilal, M.Pd. (Akademisi Pendidikan Bahasa Lampung FKIP Unila), Dr. Tito Budiraharto, S.E., M.M. (Kepala Pengembangan SDM Perpustakaan Daerah Provinsi Lampung), Dr. Munaris, M.Pd. (Kaprodi Pendidikan Bahasa Lampung FKIP Unila), dan Ari Pahala Hutabarat, M.Pd. (penyair dan seniman), serta dimoderatori oleh Edi Siswanto, M.Pd..


Diskusi berjalan dinamis dengan paparan yang saling melengkapi antara perspektif akademik, kultural, dan estetik. Kegiatan seminar ini diikuti oleh mahasiswa, guru, komunitas sastra, seniman, dan masyarakat umum.


Kondisi Bahasa Lampung: Antara Ancaman dan Harapan


Para narasumber sepakat bahwa bahasa Lampung kini berada di titik yang mengkhawatirkan, baik dari segi jumlah penutur maupun penggunaan dalam ruang publik. Berdasarkan berbagai data dan pengamatan, penutur aktif bahasa Lampung diperkirakan tidak mencapai 12% dari total populasi di provinsi ini.


"Kita harus jujur, penutur aktif bahasa Lampung semakin sedikit. Banyak anak muda yang lahir dan besar di Lampung, tapi tidak pernah benar-benar mendengar bahasa ini digunakan dalam percakapan sehari-hari,” ujar Iqbal Hilal, akademisi Pendidikan Bahasa Lampung FKIP Unila.


Menurutnya, masalah terbesar bukan hanya hilangnya penutur, tetapi hilangnya peristiwa bahasa—yakni momen di mana bahasa digunakan secara alami dalam kehidupan sosial.


“Selama bahasa hanya diajarkan di ruang kelas tanpa dipakai dalam percakapan, maka ia hanya akan menjadi pengetahuan, bukan kebiasaan. Kunci pendidikan adalah komunikasi. Ketika komunikasi terjadi, peristiwa bahasa pun hidup kembali,” tambah Iqbal.



Peristiwa Bahasa di ruang Pendidikan


Dalam pemaparannya, Iqbal Hilal menekankan bahwa langkah paling konkret dalam evakuasi bahasa adalah dengan memperbanyak peristiwa bahasa. Ia bahkan menyampaikan seluruh materinya dalam bahasa Lampung sebagai bentuk simbolik dari ajakan itu.


“Setiap orang yang tinggal di Lampung, tanpa memandang asal sukunya, adalah bagian dari masyarakat Lampung. Maka sudah selayaknya kita semua memiliki kepedulian terhadap bahasa dan budaya Lampung,” ujarnya.


Iqbal juga mengingatkan bahwa pendidikan menjadi kunci pewarisan bahasa. Ia menjelaskan dua jalur penting dalam proses pembelajaran bahasa: jalur sekolah (melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler), serta jalur luar sekolah (melalui komunitas dan ruang sosial).



Digitalisasi dan Komunitas Adat


Sementara itu, Tito Budiraharto menegaskan perlunya revitalisasi budaya melalui peran komunitas adat serta dorongan terhadap digitalisasi dan produksi konten berbahasa Lampung.


“Bahasa harus hadir dalam berbagai bentuk ekspresi—baik di ruang pendidikan, komunitas adat, maupun media digital. Kita perlu memperluas ekosistemnya agar bahasa Lampung tumbuh secara alami di tengah masyarakat,” jelas Tito.


Tito juga menyinggung pentingnya pemetaan linguistik berbasis wilayah dan penguatan kebijakan multikultural yang inklusif agar revitalisasi bahasa Lampung tidak berjalan terpisah dari realitas sosialnya.



Bahasa sebagai Identitas dan Alat Pikir


Munaris menegaskan bahwa bahasa adalah identitas yang melekat pada manusia dan kebudayaannya. 


Dr. Munaris menegaskan bahwa bahasa adalah identitas yang melekat pada manusia dan kebudayaannya. Ia menjelaskan bahwa setiap bahasa menyimpan cara pandang, nilai, dan sistem berpikir dari komunitas penuturnya. Ketika bahasa hilang, maka ikut hilang pula cara suatu masyarakat memaknai dunia.


Ari Pahala Hutabarat membawa lebih jauh. Ia menambahkan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi sebagai identitas, tetapi juga sebagai alat berpikir.


“Bahasa adalah wadah bagi pikiran. Orang Lampung berpikir dengan bahasa Lampung. Jadi jika bahasa Lampung hilang, maka manusia Lampung ikut hilang,” ujarnya.



Seni adalah media paling komprehensif


Ari menilai penerjemahan puisi ke dalam bahasa Lampung menjadi salah satu eksperimen untuk menguji sejauh mana bahasa daerah ini mampu menampung kompleksitas makna dan keindahan bahasa Indonesia modern.


“Bukan hanya berhenti di situ, kita juga ingin mendorong bahasa Lampung mencapai keterampilan berbahasanya yang paling tinggi melalui intrinsik puisi modern. Harapannya tentu, martabat bahasa Lampung akan terangkat,” lanjutnya.


Masalah kita, imbuh dia, sering kali bukan pada bahasanya, tapi pada citra yang kita bangun. "Kita perlu menunjukkan bahwa bahasa Lampung adalah bahasa yang bermartabat,” tegasnya.


Ia juga menyebut teater sebagai salah satu media terbaik untuk mempelajari bahasa Lampung karena sifatnya yang performatif dan komunikatif.


“Di dalam teater, bahasa tidak sekadar dipelajari, tetapi dihidupkan melalui tiga pusat diri kita—emosi, pikiran, dan tubuh. Maka bagi saya, teater adalah ilmu wajib yang harus digunakan untuk menghidupkan bahasa Lampung khusunya di ranah pendidikan,” tutupnya.



Dialog Interaktif: Bahasa, Tradisi, dan Generasi Muda


Peserta dari kalangan mahasiswa dan komunitas literasi menyoroti isu-isu seperti peran mahasiswa dalam memperkenalkan sastra Lampung, keseimbangan antara tradisi Lampung dan non-Lampung di wilayah multietnis, hingga pertanyaan seputar kemampuan menulis puisi berbahasa Lampung.


Menanggapi hal itu, Ari Pahala menyebut bahwa pemilihan puisi sebagai medium revitalisasi merupakan strategi yang bersifat reflektif.


“Kalau tujuannya sosialisasi massal, tentu puisi bukan medianya. Tapi jika tujuannya refleksi—mengukur daya hidup bahasa—maka puisi adalah media yang paling tepat,” jelasnya.


Sementara Munaris menambahkan, mahasiswa khususnya, dan seluruh masyarakat Lampung umumnya, memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan peristiwa berbahasa di lingkungannya sendiri.(rl/bd/inilampung)


LIPSUS