INILAMPUNG.COM, Jakarta -- Bonus demografi yang saat ini dimiliki Indonesia hanya akan menjadi peluang sia-sia jika generasi mudanya tidak siap menghadapi tantangan masa depan.
Hal ini ditegaskan oleh pakar transformasi dan ekonomi digital, Riri Satria, dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Membangun Keunggulan Anak Muda Indonesia untuk Menjawab Tantangan Bonus Demografi” yang diselenggarakan oleh Forum Indonesia Emas 2045, Rabu 1 Oktober 2025.
Dalam paparannya, Riri mengingatkan bahwa jika anak-anak muda Indonesia tidak menguasai kompetensi yang relevan, maka kekayaan bangsa berpotensi dikelola oleh pihak asing yang lebih siap. “Jika itu terjadi, maka impian mewujudkan Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi mimpi belaka. Kondisi seperti itu tidak boleh terjadi,” tegasnya.
Menurut Riri, dunia kini sudah memasuki era Industri 5.0, yang ditandai dengan tiga pilar utama: human centric (berfokus pada manusia), sustainability (keberlanjutan), dan resilience (ketahanan). Ia menekankan bahwa meski teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), blockchain, dan metaverse semakin berkembang, orientasi utama harus tetap pada manusia. “Teknologi hanyalah alat. Yang utama adalah bagaimana ia membawa manfaat bagi umat manusia,” ujarnya.
Dalam konteks keterampilan, Riri menekankan pentingnya reskilling atau membangun keahlian baru dibanding hanya upskilling. Mengutip Bernard Marr dalam buku Future Skills, ia menyebut ada lima klasifikasi kemampuan utama untuk masa depan, yaitu:
1. Digital Skills (kemampuan digital),
2. Thinking Skills (kemampuan berpikir),
3. Collaboration Skills (kemampuan kolaborasi),
4. Social Skills (kemampuan sosial),
5. Self Skills (kemampuan manajemen diri).
“Program pengembangan SDM harus menekankan penguasaan future skills ini dengan strategi yang kompleks, multiplatform, multimedia, dan tetap mengusung konsep global yang disesuaikan dengan konteks lokal,” jelas Riri, yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital serta dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Ia juga menyinggung temuan World Economic Forum (WEF) yang konsisten menempatkan complex problem solving sebagai keahlian utama yang dibutuhkan dunia, mulai dari 2015 hingga proyeksi 2030.
“Anak-anak muda Indonesia harus visioner. Keahlian yang dipelajari sepuluh tahun lalu tidak akan cukup untuk menghadapi sepuluh tahun ke depan. Hanya dengan begitu, kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan mengoptimalkan bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045,” tutupnya.
Selain kiprahnya di dunia akademik dan bisnis, Riri Satria juga aktif sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia, serta menjadi dewan juri untuk ajang Indonesia Digital Culture Excellence Award dan Indonesia Human Capital Excellence Award sejak 2021. (rl/bd/inilampung)