![]() |
ASN Pemerintah Provinsi Lampung (ist/inilampung) |
(Bagian III)
Diakui atau tidak, selama ini di lingkungan ASN Pemprov Lampung telah terbentuk opini mengenai adanya “tiga kluster” OPD. Yang secara nyata membedakan “prestise” dan tentu saja pendapatan melalui TPP yang diterima setiap bulannya.
Kluster pertama –perangkat daerah yang paling tinggi “gengsinya”- adalah Sekretariat Daerah, Inspektorat, Bappeda, dan BPKAD.
Kluster kedua terdiri dari Dinas Penanaman Modal & PTSP, BKD, Sekretariat DPRD, dan Badang Penghubung.
Kluster ketiga adalah perangkat daerah selain yang masuk di dalam kluster pertama dan kedua. OPD yang berada di kluster “buncit” ini jumlahnya puluhan, yang tentu saja lebih banyak lagi pegawainya.
Dan –disadari atau tidak- lahirnya kluster ini berpengaruh besar terhadap TPP yang diterima pegawainya. Maka tidak perlu heran bila banyak yang berjuang untuk bisa masuk menjadi pegawai di kluster pertama dan kedua.
Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) sebenarnya juga masuk dalam kluster pertama. Tetapi karena badan pimpinan Slamet Riadi ini tidak menggunakan pola TPP, melainkan insentif tiga bulanan, maka “suaranya” pun tidak nyaring. Gerakan senyap yang dilakukan pegawai untuk bisa menjadi bagian dari Bapenda. Dan dalam dua bulan terakhir, terjadi praktik bongkar pasang staf mencapai puluhan di perangkat daerah itu.
TPP Era Mirza
Lalu bagaimana besaran TPP era Gubernur Rahmat Mirzani Djausal. Menurut Peraturan Gubernur Lampung Nomor: 4 Tahun 2025 tanggal 17 Maret 2025 –sekitar 25 hari setelah Mirza resmi jadi Gubernur- secara umum tidak ada perubahan mendasar.
Meski memang –jika mengacu pada Lampiran I- hanya khusus Sekretariat Daerah. Karenanya tidak mencantumkan nilai TPP untuk Inspektur, Kaban, Kadis, dan Sekretariat Dewan.
Pun di Lampiran I itu juga tidak dicantumkan nilai TPP Kabag, Kabid, dan Kepala UPTD. Pola demikian mengindikasikan masih banyak “lampiran misterius” yang menyertai Pergub tersebut. Hal yang sejak era Arinal Djunaidi menjabat Gubernur Lampung, selalu berulang setiap tahunnya.
Boleh jadi, adanya praktik pilih kasih TPP antar perangkat daerah yang terbagi dalam tiga kluster itu belum diketahui Gubernur Mirza sampai ia menandatangani Pergub Nomor: 4 Tahun 2025 tanggal 17 Maret 2025 lalu.
Bagaimana besaran TPP era Gubernur Mirza khusus untuk Sekretariat Daerah? Berikut rinciannya:
A. Jabatan struktural:
1. Sekretaris daerah Rp 75.000.000.
2. Asisten Sekdaprov Rp 38.000.000.
3. Staf Ahli Gubernur Rp 26.085.000.
4. Kepala Biro Rp 24.420.000.
5. Kepala Penghubung, irban, sekretaris, kabag Rp 16.245.000.
6. Kasubag, kasubbid, kasi Rp 8.225.000.
B. Jabatan fungsional:
1. Jenjang utama Rp 16.950.000.
2. Jenjang madya Rp 12.950.000.
3. Jenjang muda Rp 8.225.000.
4. Jenjang pertama Rp 4.950.000.
5. Jenjang penyelia Rp 3.950.000.
6. Jenjang pelaksana lanjutan/mahir Rp 3.450.000.
7. Jenjang pelaksana/terampil Rp 2.600.000.
8. Jenjang pemula Rp 2.100.000.
C. Jabatan pelaksana:
1. Fasilitator, penata keprotokolan, pengendali konten internet, penyusun materi hukum dan perundang-undangan, dll Rp 3.900.000.
2. Doumentalis hukum, pengelola layanan operasional, pengelola trantibum, pengelola data dan informasi, dll Rp 3.500.000.
3. Operator alat berat, operator layanan kesehatan, pengarsipan perkantoran, dll Rp 3.200.000.
Ada yang menarik dari praktik pilih kasih TPP ini. Apa itu? Meski masuk dalam kluster pertama, namun faktanya banyak pegawai ASN yang masih “ngedumel”. Mengapa? Karena jam kerja mereka layak dibilang over. Seperti yang ada di Biro Administrasi Pimpinan. Mereka hampir tidak ada waktu libur.
Begitu pula yang ada pada kluster ketiga, seperti pegawai di Diskominfotik. Mereka pun harus terus standby meski di hari libur sekali pun.
Dan sesuai ketentuan, jam kerja seluruh ASN di semua perangkat daerah –tanpa kecuali- di lingkungan Pemprov Lampung juga sama. Yaitu hari Senin sampai Kamis jam kerjanya mulai pukul 07.30 sampai 16.00 Wib. Hari Jum’at mulai pukul 07.30 sampai 16.30 Wib.
Jika perbedaan TPP didasarkan pada beban kerja: Benarkah perangkat daerah di kluster pertama dan kedua lebih ekstra kerjanya dibanding yang berposisi di kluster ketiga? Apakah bukan karena pertimbangan “sekelik ekam” maka ditempatkan di perangkat daerah yang mengedepankan “prestise” itu? Wallahua’lam. (habis/kgm-1/inilampung)