-->
Cari Berita

Breaking News

Setelah 35 Tahun Ari Pahala Kembali ke Kampus, Iswadi: Surga yang Jatuh ke Tong Sampah

Dibaca : 0
 
Rabu, 01 Oktober 2025


INILAMPUNG.COM, Bandar Lampung -- Ari Pahala Hutabarat, penyair nasional asal Lampung dan sutradara teater di Komunitas Berkat Yakin (KoBER) mengaku harus 35 tahun dulu baru kembali ke kampusnya, yakni FKIP Unila.

Penyair yang menempuh pendidikan S1 dan S2 di Fakultas Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung (Unila)  Prodi Bahasa dan Seni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ari Pahala adalah satu-satunya penyair Indonesia yang “dilahirkan” dari FKIP Unila. 


“Selama ini saya belum pernah ke FKIP ini sebagai penyair. Rupanya harus 35 tahun dulu baru kembali ke kampus,” katanya pada Diskusi Buku Sastra #1  yang dihelat Lampung Literature atas bantuan Kemenbud RI untuk program Penguatan Komunitas Sastra, Rabu 1 Oktober 2025 pukul 09.00 sd selesai.


Diskusi buku puisi “Hari-Hari Bahagia” karya Ari Pahala Hutabarat (Lampung Literature, 2023) ini menghadirkan pembicara Dr  Munaris, M.Pd – ketua Prodi Bahasa Lampung FKIP Unila. dan penyair cum sutradara Teater Satu Iswadi Pratama - lulusan FISIP Unila.


Menurut Ari Pahala, keterbukaan kampus terhadap sastrawan sangat berarti bagi lahirnya sastrawan baru. “Apalagi sastrawannya dari alumni Unila, akan bagus,” katanya.



Surga yang Jatuh ke Tong Sampah


Iswadi Pratama dalam diskusi, menulis 12 halaman untuk membicarakan 3 puisi Ari Pahala Hutabarat dalam buku puisi “Hari-Hari Bahagia” (2023).


Iswadi yang mengaku membongkar mitos kebahagiaan dalam puisi-puisi Ari Pahala mengatakan bahwa Ari mengawali perjalanannya dari ruang spiritual—hening, transenden, penuh simbol.


"Meminjam pandangan Simone Weil (1909-1943), kita bisa membaca puisi ini sebagai decreation: senuah pengosongan diri. Sepi ungu dan hati biru adalah tanda jiwa yang melepaskan egonya, menundukz mengiba, agar terbuka bagi yang Ilahi," kata Iswadi Pratama.

Supaya pikiran dan pandangannya terhadap puisi-puisi Ari Pahala, Iswadi Pratama sengaja membaca utuh makalahnya tersebut. Ia juga meminta saat membacakan tidak diganggu oleh hal-hal yang membuatnya kehilangan konsentrasi.


Dilanjutkan Iswadi, filsuf dan mistikus Prancis yang menulis tentang penderitaan, kerinduan rohani, dan keadilan, itu mengatakan penderitaan sebagai Jalan Rohani. 


“Penderitaan (malheur) adalah pengalaman paling dalam manusia, di mana ego manusia dilucuti. Penderitaan membuat manusia kehilangan semua pegangan, hingga satu-satunya jalan adalah membuka diri pada Tuhan,” lanjut dia.


Pada bagian lain, Iswadi menyebut bahwa puisi-puisi lirih yang ditulis Ari dalam kumpulan ini, nada-nadanya hampir selalu seperti doa. Suaranya seperti suara seorang kekasih, tapi juga seperti ratapan seorang mistikus: sebuah permainan ambivalensi yang lembut. Sebagaimana puisi “aku akan pergi, katamu” (puisi ke-28).


“Ini adalah cinta yang lebih besar dari sekadar hubungan manusia. Ada nuansa spiritual, seolah penyair sedang berbicara bukan hanya pada kekasih, tetapi pada yang Ilahi,” ucapnya. 


Dengan strategi naratif, masih kata Iswadi, Ari juga berhasil menjadikan puisi-puisinya bersifat universal sekaligus kontekstual
bisa berupa tubuh boyak, politikus korup yang dilukiskan sebagai bangkai, atau humor hitam.


Sebab, imbuh dia, puisi-puisi dalam kumpulan ini senantiasa menawari kita sesuatu yang paradok,  juga selalu mengguncang batas. Ia bukan sekadar bentuk seni aneh, tapi cara untuk menghadirkan ketidaknyamanan agar kita merenungkan dunia.


Tentang mitos kebahagiaan, Iswadi menegaskan bahwa kebahagiaan, yang sering dipuja dalam tradisi romantik, tidak hadir sebagai cahaya suci. “Ari merobeknya, menjatuhkannya ke tong sampah,” ujar Iswadi.


Ia menutup pembicaraannya dengan pernyataan, kebahagiaan dalam puisi-puisi Ari Pahala Hutabarat sesungguhnya bukan kebahagiaan yang megah, melainkan kebahagiaan yang sederhana, bahkan absurd. 


“Tapi justru di situlah ketajaman puisi ini—ia menunjukkan bahwa hidup, betapapun grotesque dan sia-sianya, tetap pantas dijalani meski sambil ditertawai,” kata Iswadi Pratama.


Sebelum Iswadi, Munaris, dosen dan ketua prodi Bahasa Lampung mengusung judul “Memang Puisi Perlu Dibincangkan?” 


Pertanyaan tersebut melahirkan pendekatan pada puisi-puisi Ari Pahala Hutabarat.


Dikatakan Munaris,klimaks dari penyair ada pada puisi-puisinya. Sehingga jangan berharap mencari romantis dari diri penyair, tapi temuilah pada puisi-puisinya.


Munaris menyebutkan, puisi-puisi Ari Pahala jauh berbeda jika hanya melihat diri penyair. “Kalau sehari-hari, mungkin, tak tampak romantis, sentimen dari diri penyair. Maka itu sudah ‘tumpah’ (klimaks) dalam puisi-puisinya,” katanya.


Diksi-diksi yang dipilih Ari, lanjut Munaris, adalah mencerminkan romantisme. Munaris menyebut warna-warna yang dipilih Ari, yakni ungu, biru, hijau, merah, putih, dan lain-lain.


Dengan kata lain, lanjut dia,  diksi mampu mengubah kata biasa menjadi sarana ekspresi artistik yang penuh daya sugesti. Kekayaan penyair tampak pada warna.


“Diksi dalam puisi tidak sekadar berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga sebagai medium estetik yang mengandung nilai rasa, irama, simbol, serta keindahan bunyi,” lanjut dia.


Kata-kata yang dipilih dengan tepat dapat menimbulkan efek emosional, masih kata Munaris, memperkuat citraan, serta menambah kedalaman makna yang tidak selalu dapat dijelaskan secara langsung.


Program Diskusi Buku Sastra ini dimoderatori Edi Siswanto, M.Pd.(bd/inilampung)




LIPSUS