-->
Cari Berita

Breaking News

Ledakan di SMA 72 Jakarta dan Hilangnya Rasa Aman Pelajar

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 11 November 2025

 


Oleh: Muhammad YK*


Insiden ledakan di lingkungan SMA Negeri 72 Jakarta pada awal November 2025, kembali membuka perbincangan tentang lemahnya standar keamanan sekolah di Indonesia. Aparat kepolisian menemukan indikasi bahan peledak rakitan yang mengakibatkan kepanikan serta evakuasi terbatas. Walaupun penyelidikan awal tidak menemukan keterkaitan dengan jaringan terorisme, fakta bahwa benda berbahaya dapat berada di area pendidikan formal, sudah cukup untuk menjadi alarm kebijakan. Rasa aman pelajar yang selama ini dianggap wajar, ternyata sangat rentan.


Selama beberapa dekade, sekolah diposisikan sebagai zona aman secara otomatis. Padahal, keamanan bukan atribut yang melekat; ia harus dibangun melalui kebijakan, infrastruktur, dan budaya pengawasan. Banyak sekolah negeri di wilayah perkotaan tidak memiliki prosedur pemeriksaan tas, akses kontrol pengunjung, hingga kamera pengawas yang memadai. Celah inilah yang memungkinkan benda berbahaya masuk ke lingkungan pendidikan tanpa terdeteksi.


Kita perlu mengakui bahwa sistem keamanan sekolah Indonesia tertahan pada paradigma lama. Fokus pemerintah lebih terarah pada capaian akademik, kurikulum, dan ranking, sementara persoalan keamanan fisik dan psikologis pelajar sering dianggap sekunder. Akibatnya, sekolah menjadi ruang yang tampak aman di permukaan, tetapi rentan secara struktural.


Kurikulum nasional hampir tidak menyentuh literasi risiko. Siswa tidak mendapatkan penjelasan memadai mengenai bahaya bahan kimia, konsekuensi hukum tindak destruktif, ataupun etika penggunaan teknologi. Sementara itu, internet menyediakan instruksi merakit bahan peledak sederhana dengan sangat mudah. Ketika rasa ingin tahu remaja bertemu minimnya kesadaran hukum, situasi menjadi berbahaya.


Karena itu, perlu ada materi edukatif yang menjelaskan: risiko benda berbahaya, konsekuensi pidana, batas etika eksperimen, keamanan digital.


Tanpa literasi pencegahan, pelajar hanya belajar melalui insiden.


Begitu insiden terjadi, media sosial dipenuhi spekulasi liar. Sebagian warganet mengaitkannya dengan radikalisme atau jaringan teror tanpa data. Padahal aparat secara tegas belum menyimpulkan hal tersebut. Polarisasi opini seperti ini justru menciptakan stigma baru bagi pelajar dan sekolah.


Stigma semacam itu dapat menimbulkan dampak panjang:


kecemasan kolektif, tekanan psikologis, pun menurunnya citra institusi pendidikan.


Dalam isu keamanan, publik perlu mengacu pada fakta resmi, bukan asumsi.


Mayoritas sekolah di Indonesia tidak memiliki Standard Operating Procedure (SOP) untuk ancaman bom atau ledakan. Guru tidak dibekali pelatihan dasar evakuasi. Padahal, dalam standar pendidikan modern, simulasi krisis merupakan kebutuhan rutin. Ketika ancaman terjadi, respons yang panik justru berpotensi menciptakan kerusakan lanjutan.


Minimnya kesiapan ini menunjukkan bahwa negara baru memberi perhatian setelah masalah terjadi, bukan sebelumnya. Pendekatan ini reaksioner, bukan antisipatif.


Insiden seperti ini berisiko meninggalkan trauma psikologis bagi pelajar: rasa tidak aman di ruang belajar, gangguan konsentrasi, juga kecemasan berulang.


Sayangnya, sekolah umumnya tidak memiliki psikolog pendidikan. Ketika trauma tidak diintervensi dini, ia menetap. Dalam jangka panjang, kualitas pembelajaran dan kepercayaan pelajar terhadap institusi pendidikan dapat menurun.


Eksistensi psikolog pendidikan harus menjadi infrastruktur wajib, bukan pelengkap.


Pemerintah daerah dan pusat perlu mengambil langkah konkret. 

Pertama: menyusun Standar Operasional Pengamanan Sekolah (SOPS) yang dapat diterapkan secara nasional. Ini mencakup pemeriksaan barang tertentu, kontrol akses pengunjung, dan pelatihan evakuasi.

Kedua: meningkatkan edukasi digital untuk mencegah replikasi konten berbahaya. Remaja yang akrab dengan teknologi memerlukan panduan moral yang seimbang.

Ketiga: audit keamanan fisik sekolah. Kamera pengawas, pos penjagaan, serta pencatatan tamu harus menjadi protokol standar.

Keempat: komunikasi transparan aparat agar hoaks tidak mengisi ruang kosong informasi.


Jika negara hanya mengurus kurikulum tanpa melindungi ruang belajarnya, pendidikan kehilangan fungsi sosial.


Orang tua merupakan garda pertama deteksi perilaku berisiko. Perubahan sikap, konsumsi konten berbahaya, atau kecenderungan agresif memerlukan respons komunikatif. Namun tanpa dukungan psikologis dan lingkungan sekolah yang responsif, orang tua kerap kehilangan alat deteksi dini.


Kolaborasi keluarga–sekolah–negara harus menjadi pendekatan utama.


Ledakan di SMA 72 Jakarta harus menjadi momentum kebijakan pendidikan yang holistik. Selama ini, pemerintah hanya merespons insiden semacam ini dengan surat edaran sementara. Padahal dibutuhkan kebijakan permanen, bukan injeksi reaktif.


Dinas Pendidikan harus: mengadakan simulasi keamanan minimal dua kali setahun, memperketat pengawasan barang bawaan tertentu, dan bekerjasama dengan kepolisian setempat.


Ledakan di lingkungan sekolah bukan insiden biasa. Ia mencerminkan rapuhnya pengawasan, minimnya literasi, dan absennya mitigasi risiko. Negara wajib memastikan bahwa pelajar tidak hanya mendapatkan ruang belajar, tetapi juga ruang aman untuk tumbuh.


Jika agenda keamanan sekolah tidak dimulai sekarang, kejadian serupa hanya menunggu waktu dan tempat berbeda.


Keamanan pelajar adalah investasi masa depan bangsa.



*Ketua Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Lampung.

LIPSUS