![]() |
| Mikdar Ilyas |
INILAMPUNGCOM - Dibalik "perlawanan" kalangan pengusaha tapioka atas keluarnya Peraturan Gubernur Lampung Nomor: 36 Tahun 2025 tentang Tata Kelola dan Hilirisasi Ubi Kayu dengan menghentikan operasional pabrik sejak Senin (10/11/2025) kemarin, ada hal lain yang patut dicermati.
Apa itu? Tidak lain mulai beralihnya sebagian besar petani singkong di Kabupaten Lampung Utara (Lampura) dengan menanam jagung. Karena dinilai lebih menguntungkan.
"Beralihnya petani dari menanam singkong ke jagung di wilayah Lampung Utara termasuk besar-besaran. Terbukti, tahun lalu luas tanaman jagung sekitar 1.200 hektar, sekarang 5.600 hektar," kata Ketua Pansus Tata Niaga Singkong DPRD Lampung, Mikdar Ilyas, Rabu (12/11/2025) sebagaimana dikutip dari rmollampung.id.
Menurut legislator asal Partai Gerindra ini, bila peralihan petani singkong ke jagung itu dibiarkan, industri tapioka di daerah tersebut bisa lumpuh.
"Kalau pengusaha bertahan dengan harga rendah dan tidak mau menyesuaikan dengan harga tepung, pabrik-pabrik itu hanya akan jadi besi tua. Karena petani sudah enggan menanam singkong," lanjut Mikdar Ilyas.
Anehnya, meski Gubernur Rahmat Mirzani Djausal telah menandatangani Pergub Nomor: 36 Tahun 2025 tentang Tata Kelola dan Hilirisasi Ubi Kayu sejak 31 Oktober 2025 dan menetapkan harga acuan pembelian (HAP) singkong di pabrik Rp1.350 per-Kg dengan rafaksi maksimal 15%, Mikdar justru mendorong pemprov untuk memfasilitasi dialog antara petani dan pengusaha.
Untuk apa? "Guna mencari solusi terbaik agar ekosistem singkong tetap hidup," ujarnya.
Menurut dia, hal ini perlu dilakukan Pemprov Lampung dengan mengajak petani dan pengusaha duduk bersama, agar pabrik bisa bertahan dan petani tidak dirugikan.
Diketahui, sejumlah pabrik tapioka di wilayah Lampura menghentikan operasionalnya sejak hari Senin (10/11/2025) kemarin, bersamaan dengan mulai diberlakukannya Peraturan Gubernur (Pergub) Lampung Nomor: 36 Tahun 2025 tentang Tata Niaga dan Hilirisasi Ubi Kayu.
Tentu saja hal ini membuat petani singkong kebingungan karena hasil panennya tidak terserap pabrik, dan mereka terancam mengalami kerugian.
Menurut Mikdar Ilyas, saat ini hanya tersisa satu hingga dua pabrik yang masih beroperasi di wilayah Lampung Utara.
“Banyak pabrik tutup karena tidak mampu menyesuaikan harga. Akibatnya, petani kesulitan menjual singkong dan khawatir hasil panen tidak laku,” ujarnya.
Dikatakan Pergub 36 sejatinya dirancang untuk memberikan kepastian harga bagi petani sekaligus menjaga stabilitas usaha bagi pengusaha. Namun, proses adaptasi di lapangan belum berjalan mulus, terutama setelah pemerintah menghentikan impor tepung tapioka dari luar negeri.
“Sekarang tinggal bagaimana pabrik-pabrik singkong di Lampung bisa bernegosiasi dengan perusahaan pengguna tepung agar harga jual tepung naik. Kalau harga tepung naik, otomatis pabrik tidak rugi membeli singkong sesuai HAP,” jelas Mikdar. (zal/inilampung)


