Ulasan Kritis Gunawan Handoko*
Akhir pekan kemarin, banyak media online yang memberitakan dugaan cawe-cawenya oknum anggota DPRD Kota Bandarlampung dalam pelaksanaan program revitalisasi sekolah.
Tentu, kabar tersebut tidak asal saja naik tayang bila tidak terdapat data dan faktanya.
Meski sebenarnya, masalah anggota DPRD bermain proyek bukan hal baru, sudah ada sejak lama dan saya tahu persis tentang itu. Tapi di era saya masih aktif dulu -sebagai ASN-, tidak pernah ada oknum Dewan yang berani mengacak-acak proyek swakelola yang ditangani langsung pihak sekolah SD maupun SMP dari sumber Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan. Kalaupun terjadi permainan, pelakunya adalah oknum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandarlampung dengan pihak sekolah dan pelaksana kegiatan.
Dalam praktiknya, pihak sekolah dipaksa untuk terima bersih sesuai kesepakatan dan tandatangan laporan SPJ. Berbeda dengan proyek revitalisasi gedung SD dan SMP di Kota Bandarlampung yang menggunakan dana APBN tahun 2025, patut diduga terjadi penyimpangan yang bukan hanya dilakukan oknum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan saja, tapi juga melibatkan oknum anggota Dewan. Kepala sekolah hanya dijadikan boneka, sementara untuk pengadaan material bahan dan pelaksana kegiatan fisik semuanya dikondisikan oknum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, oknum Dewan, dan pihak swasta.
Indikasinya sangat jelas, yakni ditemukannya kesamaan merk bahan dan pemasok di beberapa lokasi kegiatan. Padahal, sesuai ketentuan yang ada, proyek revitalisasi gedung SD dan SMP tersebut dilaksanakan oleh Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP) yang ditunjuk oleh kepala satuan pendidikan (sekolah), dan unsur-unsur yang terdiri dari kepala sekolah sebagai penanggungjawab, guru atau staf, komite sekolah, dan tokoh masyarakat setempat. Dalam pelaksanaannya, proyek ini melibatkan masyarakat lokal setempat untuk membantu dalam proses pembangunan dan bahan baku bangunan. Artinya, proyek ini dilaksanakan secara swakelola oleh pihak sekolah, karena dananya ditransfer langsung dari pemerintah pusat ke rekening sekolah. Dalam sistem swakelola, sekolah memiliki fleksibilitas untuk mengelola proyek tersebut sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya, sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Tujuan swakelola sangat jelas, selain untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran, mengurangi birokrasi dan mempercepat proses pelaksanaan proyek. Dan yang tidak kalah penting adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dan sekolah dalam pengelolaan proyek.
Jika kemudian ada pihak-pihak yang memaksa pihak sekolah untuk menyerahkan pelaksanaan proyek tersebut, bahkan ada pekerja yang diberhentikan, ini jelas merupakan kasus korupsi yang melibatkan oknum ASN dan pejabat publik, dan senyatanya berpotensi merugikan negara serta merusak fasilitas pendidikan. Pihak berwajib tidak boleh menutup mata, wajib untuk melakukan investigasi menyeluruh untuk mengungkap kebenaran dan menindak para pelaku.
*Pengamat politik pemerintahan dari PUSKAP Wilayah Lampung.


