-->
Cari Berita

Breaking News

PTPN I dan Dinamika Kota Medan: Antara Sejarah Perkebunan dan Optimalisasi Aset

Dibaca : 0
 
Kamis, 06 November 2025

Deli Serdan Medan Sumatera Utara pada masa silam. Foto: Ist.

INILAMPUNGCOM -- Sejarah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I di Sumatera Utara, terutama di Deli Serdang adalah fakta tentang eksistensi dan keniscayaan. Prof. Dr. Phil. Ichwan Azhari, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan menyebut, evolusi kehidupan manusia akan berbanding lurus dengan perubahan tata ruang wilayah. Pakar sejarah dan ilmu filologi itu mengatakan, jika lahan PTPN I pada masa lampau adalah kawasan hutan, maka pada perkembangannya niscaya menjadi kota dengan ekosistem yanag saling menguatkan.


“Pada awalnya, pusat peradaban Sumatera Timur itu ada di Kawasan Deli Serdang, Belawan. Namun, Pemerintahan Belanda kemudian membuka pusat ekonomi baru di wilayah yang sekarang disebut Medan. Artinya, perkembangan wilayah akan mengikuti dinamika masyarakatnya. Kalau dulu lahan PTPN I di Deli Serdang itu terasa jauh, sekarang sudah di dalam kawasan kota. Maka, alih fungsi lahan bukan mustahil. Bahkan, menjadi kebutuhan jika aspek maslahatnya lebih besar dari mudharatnya,” kata profesor kelahiran 1961 itu.


Ichwan Azhari berkisah panjang tentang sejarah PTPN I yang semula merupakan perusahaan milik Belanda di Sumatera Utara. Lebih detail, Ichwan merunut asal muasal komoditas tembakau Deli yang pada masa lampau merajai reputasi rokok hingga negeri-negeri Eropa. 


“Sejarah perkebunan di Sumatera Timur jauh lebih kompleks dari yang selama ini dipahami. Tembakau adalah komoditas lokal yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum Belanda datang. Namun, kedatangan kolonial dan migrasi besar-besaran tenaga kerja mengubah struktur sosial dan demografi daerah ini secara drastis. Sebuah ironi historis terungkap: suku Melayu, sebagai pemilik asli tanah, kini kehilangan hutan komunalnya akibat rezim perkebunan yang terus berlanjut hingga masa PTPN,” kata Ichwani.


Beberapa akademisi, tokoh masyarakat, dan pemangku kepentingan menyatakan hal senada dengan Ichwan Azhari. Prof. Dr. Fajar Pasaribu, gur besar ilmu manajemen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara mengatakan, tata ruang wilayah akan erat kaitannya dengan aspek ekonomi kewilayahan. Ia akan terbentuk seiring spora ekonomi yang tumbuh di wilayah tersebut.


Relasi ini, kata Fajar Pasaribu, bisa berlaku dua arah. Selain aspek ekonomi dulu yang tumbuh lalu diikuti perkembangan tata ruang wilayah, pada banyak kasus juga terjadi tata ruang wilayah yang mendahului sehingga perekonomian bertumbuh Bersama.


“Saya memandang PTPN sebagai warisan kolonial yang kini perlu beradaptasi. Alih fungsi lahan yang dilakukan adalah bagian dari kebijakan transformasi bisnis. Seperti yang kemudian menjadi kawasan perumahan Citraland, dari sisi ekonomi sangat positif karena meningkatkan perekonomian lokal dan mendorong masyarakat untuk terlibat dalam bisnis,” kata Fajar Pasaribu.


Dari sisi pemangku wilayah, Kepala Desa Helvetia, H. Agus Salim menyambut baik perubahan ini. Ia mengaku sejak perubahan peruntukan lahan dari kebun milik PTPN I dijadikan komplek perumahan menjadikan desa ini berubah drastis. Secara keramaian, infrastruktur, modernitas, fasilitas umum, hingga pola hidup masyarakat sekitar ikut berubah.


“Kalau dulu masih kebun, kami warga sekitar ya banyak yang kerja serabutan. Ada yang jadi karyawan perusahaan, tetapi kan tidak banyak. Tetapi sekarang, sejak dibuka perumahan, masyarakat kami banyak yang dagang dan jual jasa. Apa saja jualan di sini laku. Pokoknya, UMKM di sini tumbuh subur. Termasuk jadi tukang ojek dan jasa lainnya,” kata Agus Salim.


Dengan adanya pekerjaan baru, meskipun tidak besar, masyarakat semakin produktif karena punya basis usaha. Secara umum, kata Agus Salim, kesejahteraan masyarakat di desanya sekarang meningkat.


“Di proyek perumahan itu sendiri kan banyak kerjaan. Ada yang jadi tukang bangunan, ada yang merawat rumah, ada skuriti, dan lainnya.”


Tak kurang menarik, Juryadi, Ketua Paguyuban Puja Kesuma (Putra Jawa kelahiran Sumatera) menyatakan dukungannya atas perkembangan wilayah di Helvetia ini. Ia mengajak semua pihak untuk bersinergi dan menjalin kebersamaan antara PTPN dan komunitas. Ia berharap PTPN dapat menjadi fasilitator dan pendamping bagi masyarakat, bukan hanya sebagai pemberi bantuan, agar komunitas dapat lebih mandiri dan berdaya. 


“Sinergi yang saya maksud, PTPN I hendaknya terus berkordinasi dan memberi ruang kepada warga sekitar dan komunitas untuk berpartisipasi pada berbagai rencana. Dalam proyek pembangunan perumahan, warga sekitar harus diprioritaskan agar mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga bisa merasakan manfaatnya,” kata dia.


Tentang manfaat dengan hadirnya keramaian baru di kawasan ini, Gunawan, salah satu pekerja serabutan yang kemudian memilih berdagang mengaku beruntung. Ia mengatakan, sebelumnya ia kesulitan mencari moda penghidupan untuk menafkahi keluarga. Pekerjaan tidak tetap, kata dia, membuat pikiran tidak fokus kepada suatu tujuan.


“Alhamdulillah saya bisa buka usaha di sini, bisa berjualan. Banyak proyek di sini jadi banyak yang bisa ikut kerja. Ya, otomatis masyarakat yang sebelumnya sulit cari pekerjaan, sekarang punya penghasilan yang lebih baik,” kata Gunawan.


Secara keseluruhan, para tokoh ini sepakat bahwa transformasi ini, meskipun memiliki latar belakang historis yang rumit, membawa dampak ekonomi dan sosial positif bagi masyarakat lokal. Mereka menekankan pentingnya keterbukaan, kejujuran, dan keadilan dari semua pihak agar proses perubahan ini berjalan adil dan berkelanjutan, serta memastikan setiap warga di sekitar lahan PTPN dapat merasakan manfaatnya.(mfn/rls)

LIPSUS