-->
Cari Berita

Breaking News

Membaca ‘Kota Kelabu’: Nuansa Cinta, Hujan, dan Kota

Dibaca : 0
 
Jumat, 19 Desember 2025


Oleh Isbedy Stiawan ZS



Lampung pernah dijuluki sebagai Lumbung Penyair ( Nirwan Dewanto, Cakrawala Sastra Indonesia DKJ, 2005). Mungkinkah dari 62 penyair dalam buku ini dapat mengisi kevakuman regenerasi kepenyairan di daerah ini?

 _______


PROSES. Kata kunci untuk menjadi. Di dunia ini, tak ada kesuksesan seperti hujan dijatuhkan dari langit. Turun hujan pun dilalui dengan proses; air di bumi, ditarik ke atas oleh matahari, menggumpal sebagai awan, lalu dijadikan hujan.


Sebanyak 55 penulis muda Lampung dihimpun dalam buku Kota Kelabu yang bertema kota, hujan, dan cinta ini adalah anak-anak gen Z yang tengah berproses. Lewat Komunitas Penulis Muda Lampung (KPML) sebagai “kawah candradimuka” sekaligus tempat bernaung. Mereka “didampingi” 7 penulis yang sudah lebih dulu berkarya: Anggi Farhans, Salwa Pramesti Maharani, Holiq Bae, Nurul Arifah, Arief Ragiell, dan Tegar Nur Ilham. Jadi jumlah pekarya di dalam buku ini yakni 61 orang, dan 121 karya (puisi dan cerpen). Buku ini sampai ke tangan pembaca untuk dinikmati, hasil kurasi dan editor oleh Anggi Farhans.


Karya-karya dari generasi ke 6 KPML ini hasil pelatihan menulis karya sastra digelar KPML pada 30 November 2025. Setelah pelatihan, para peserta “dipaksa” untuk menulis karya (puisi atau cerpen) dengan tema kota, hujan, dan cinta. Kata “paksa” merujuk bahwa harus menyerahkan karya. Bisa atau tidak. Suka atau tak. Hasil dari karya itu ketahuan, mempunyai bakat atau baru menanam bibit. 


Saya sering menganalogikan ihwal ini. Beberapa orang dipaksa masuk ruangan lalu dikunci. Mereka diberi tugas menjahit pakaian yang sobek. Bagi yang selesai melaksanakan tugasnya diizinkan keluar dan menyerahkan hasil pekerjaannya. Mereka selesai, tapi hasil kerja akan berbeda satu sama lain. Bagi yang memiliki bakat menjahit — atau minimal tahu — tentu hasil jahitan lebih baik, daripada yang sama sekali tak punya bakat. 


Namun ingat, bakat tidak akan subur jika malas merawatnya. Cara merawat itu yang disebut proses. Seorang penulis “wajib” banyak membaca. Apa saja. Karya yang baik dilahirkan penulis, tidak lepas dari hasil bacaan yang baik pula. Artinya, standar bacaan juga menentukan karya yang dihasilkan. 


Dengan demikian, pembaca karya-karya berat akan tercermin pada karya tulisnya. Seseorang, misalnya, menyukai karya absurd, maka kecenderungan tulisan yang dihasilkannya akan mendekati absurd(itas) tersebut. 


Iwan Simatupang, sastrawan Indonesia, sangat menyukai eksistensialisme. Karya-karyanya, seperti Merahnya Merah mencerminkan jiwanya yang memburu eksistensi tersebut.


Dari buku yang diberi tajuk Kota Kelabu ini, saya menikmati nuansa cinta, hujan, dan kota dari para penulis muda Lampung. Tema yang diberi panitia ini, mampu ditelisik dengan baik oleh para penulis. 


Dalam pengantar ini,  saya mencoba mengapresiasi saja. Hanya sebagai penikmat puisi dan siap diajak jalan-jalan bersama imajinasi para penyair yang ada di buku ini. 


Terus terang, saya benar-benar menikmati. Seluruhnya. Tak memilih nama — apakah sudah dulu berkarya atau penyair baru — dan tidak pula pilih-pilih puisi — apakah selera saya atau tidak — hanya demi memuaskan maupun sebaliknya. Sebagai pembaca sekaligus penikmat, saya berupaya “merendahkan” keberadaan saya sesungguhnya. 


Dari 62 penulis, saya mendapati 2 penulis yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) — maaf kalau saya salah mendeteksi. Kedua penulis tersebut adalah Nada Ayunda Safira dan Qv (Cykal Qv Ichiya Putri). Keduanya telah mencuri perhatian saya ketika menyimak 191 karya yang terhimpun dalam antologi ini.


Qv menghadirkan 2 puisi dalam buku ini, bertajuk “Residua” dan “Kopi Pahit”. Cykal tampil dengan “keberanian” tampil beda. Ia mengawinkan diksi yang tak biasa dalam dua puisinya. Dari memberi judul saja, “Residua”, pembaca harus memburu dulu artinya sebelum memasuki puisi. Kata ini berasal dari bahasa Latin. Mengutip Wikipedia, kata ini adalah bentuk jamak (neuter plural) dari kata benda Latin yakni residuum, yang diturunkan dari kata kerja residere yang berarti "tetap tinggal" atau "tertinggal". Namun, jika diserap ke bahasa Indonesia, yang benar adalah (seharusnya) ditulis “residu” yang memiliki makna serupa. 


Residua berarti sesuatu yang tersisa, seperti ampas atau endapan setelah sesuatu proses (penyulingan, pembakaran, atau filtrasi) selesai atau sebagian besar materinya dihilangkan/digunakan. Saya kutip lengkap puisi “Residua” karya Qv:


Di kota ini, hujan turun seperti pesan yang tak pernah

kau kirim —

Menyayat jalan,

Menggerus kenangan,

Menyusup ke sela napas yang ingin melupakanmu


Bayangmu berkelana di tiap genangan,

Seperti gema yang keras kepala,

Menolak tenggelam.


Kota menjadi tubuh yang terus mengingat,

Dan hujan adalah lidahnya,

Yang menelusuri sisa-sisa jejakmu.


Aku berjalan di bawah derasnya,

Membiarkan tubuhku dicabik-cabik rindu yang tak mau mati.


Seperti api kecil 

Yang memilih hidup 

Di tengah banjir sendiri



Imaji Qv melompat-lompat. Ia bukan lagi sebagai pemotret alam, yang sekali bidik  maka jadilah. Ia adalah videografi yang menjalani kamera ke mana imajinasinya akan membawa. Dengan begitu, sekaligus ia (telah) membaca detail fokus. Cara menentukan sudut pandang (point of view), Qv seakan tak ingin terpaku pada ke-tunggal-an; agar hasil bidikan bagaikan berjalan. 


Ia tak lagi melihat hujan sebagai air yang membasahi bumi. Melainkan, “seperti pesan yang tak pernah/kau kirim —/Menyayat jalan,/Menggerus kenangan”. Dalam hujan itu, “Bayangmu berkelana di tiap genangan,/Seperti gema yang keras kepala,/Menolak tenggelam”. 


Sampai di sini, Qv tak ingin berhenti pada soal ujian dan bayang di tiap genangan (air). Diarahkan bidikannya ke sudut lain, dan ia dapati suasana bahwa “Kota menjadi tubuh yang terus mengingat,/Dan hujan adalah lidahnya,/Yang menelusuri sisa-sisa jejakmu”. Sementara bersamaan waktu, “Aku berjalan di bawah derasnya,/Membiarian tubuhku dicabik-cabik rindu yang tak mau mati,


Kalimat-kalimat hasil pilihan kata (diksi) yang kuat, membuat puisi ini tak hanya enak dibaca (dinikmati), namun juga mengendapkan renungan mendalam. Qv sudah “melampaui” usianya dalam berimajinasi dan menarasikan perenungan tentang hujan. Puisi ini ditutup dengan tiga baris, yang juga kuat, karena mengandung multi tafsir. Menilik titimangsa puisi ini, ditulis 14 Desember 2025, apakah mungkin terinspirasi dari bencana Sumatera? 


Pada puisi “Kopi Pahit”, diksi Qv juga tergolong berani. Misalnya, ia menulis begini pada bait pertama “Hujan duduk di atap kota,/Menetes ke cangkir kopi/Yang pahitnya hafal pagi.” Kata yang dipilih sepertinya tidak logis jika menggunakan “kepala” orang awam. Tetapi, ini puisi — karya sastra — hal yang dianggap tidak lazim, bisa logis di tangan penyair. 


Begitu pun dalam bait kedua, penyair ini mampu memilih kata (diksi) yang saya anggap baru, apalagi di usia Qv; “Pisang goreng meringkuk di piring seng,/Minyaknya masih hangat,/Seperti kabar kecil yang tak penting/Tapi dibutuhkan


Puisi “Kopi Pahit” memotret kaum kecil (wong cilik) di sebagian kampung kumuh di kota yang ada di Indonesia (“Hujan duduk di atas kota”). Dengan memakai diksi  “piring seng” mewakili potret masyarakat miskin kota. Selebihnya bisa simak puisi “Kopi Pahit” karya Qv.


Lalu, puisi “Prosa Hujan” karya Nada Ayundia Safira, juga siswi SMA, yang telah merayu perhatian saya untuk singgah dan menyimak. Puisi ini ditulis rata kiri dan kanan (justifi). Sejumlah penyair sebetulnya telah melakukan tipografi seperti ini. 


Puisi “Prosa Hujan” menceritakan bahwa hujan membuat segalanya jujur, apa adanya. Misal, jalan yang memantulkan cahaya dengan cara yang terlalu indah dari biasanya. Seperti Qv, Nada juga melakukan lompatan imaji yang tidak biasanya. Seperti, setelah baris pertama dan kedua, ia menulis begini: “dan di antara suara kendaraan,/aku menyadari betapa sepinya mencintai hanya seorang/diri”.


Pada bait berikutnya, Nada Ayundia Safira berucap, “aku pernah berharap kau bisa tinggal lebih lama. tapi/kota mengajarkanku satu hal: tidak semata yang datang/berniat menetap. beberapa hanya singgah, meninggalkan/basah, lalu pergi.”


Penyair ini lalu menutup puisinya dalam dua baris, yang menghentak, “karena pada kenyataannya, aku pulang dengan membawa/basah yang tak bisa dikeringkan. Ibarat cinta yang tidak harus memiliki, si aku lirik membawa pulang cinta yang tak bisa dikeringkan. Penutup yang ironi, namun penyair menulis dengan indah. Nada juga mengantar dua puisi dalam antologi ini, satunya “Kota, Huian, dan Cinta” dengan tipografi berbeda.


Biru Samudra lewat puisi “Kota Raga tanpa Jiwa” telah pula menarik perhatian saya, terutama dengan baris ini, “Oh, sebegitunya kau ingin aku tak lagi menetap/pada taman kota/yang kau janjikan kita akan menua bersama”. Tentang cinta yang telah menyimpan langkah (sebagai kenangan), “memantulkan sisa detak yang kita/punya—membiarkan aku tenggelam/pada rindu yang tak lagi bersuara”. 


Lalu, ia tutup puisinya dengan sebait ini:


Maka biarlah aku tinggalkan kota, yang setiap sudutnya

adalah kita. Biarlah kulangkah jauh meski hatiku tak

turut serta. Karena mencintaimu di kota ini hanyalah 

menambah luka. Maka aku rela pergi, meski separuh 

jiwaku tertanam di sana.


Membaca puisi-puisi dalam antologi Kota Kelabu bertema besar adalah kota, hujan, dan cinta. Bagaimana penyair memandang kota dalam imajinasi yang dipunyainya. Kota yang semula realita, lalu ditarik ke dalam angan atau kenangan. Begitu pula tentang hujan atau cinta. Dari hal realita (fakta) menjadi fiksi dalam imajinasi penyair. Menjadi cerita lain di dalam puisi; sejarah baru dari fakta yang ada. 


Beberapa puisi lain yang juga menggiring perhatian saya dalam pembacaan karya mereka. Di sini saya sebut karya Salwa Pramesti Maharani berjudul “Burung tanpa Sayap”, puisi  “Hujan Bukan Bulan Juni” karya Tauqan Kiram Jaya Prawira, “Ruang Hujan” (Fitria Novita Rahma), “Teras tanpa Judul” (Nurul Arifah), “Luka yang Kau Putar Seperti Lagu Lama” (Kansa Maida), “Kota, Hujan, dan Cinta” (Reni Jayanti), “Mengawang Harap untuk Mekar” (Lutfi Maulidia), “Di Tiap Sudut Kota Ini” (Vira A. Safitri), “Pengakuan Kota” (Kyra Nura).


Kemudian,“Hujan yang Menyiram Sisa Namamu” (Holiq Bae), “Skala Basah” (Siti Dewi N.W.), “Seikhlas Awan Melepas Hujan” (Siti Hardila), “Cara Pulang yang Hilang” (Nurfa), “Hujan di Lantai Dua” (Any), “Hujan yang Menunggumu” (Zii), “Lampung, dengan Hujan dan Cintanya” (Boemi Nala), dan “perayaan hujan” ( Anggi Farhans).


Tema hujan tampaknya mendominasi buku ini. Boleh jadi, dalam beberapa bulan terakhir, senantiasa hujan mengguyur. Bahkan berakibat di beberapa daerah terkena banjir, tanah longsor, ataupun korban hanyut serta tertimbun lumpur. Tiada hari tanpa hujan atau langit pekat diselingi petir. 


Urutan kedua bicara kota. Tema yang membuka ruang interpretasi yang luas, tentang manusia dan sosial. Tentang kota dan segala hiruk di dalamnya. Kota yang terus bertumbuh menjadi metropolitan. Dan, manusianya yang juga tak berhenti pada satu tradisi atau kebiasaan yang sudah dibangun sejak anak-anak dari ruang privasi.


Terakhir adalah cinta; tema yang sebenarnya tak mudah untuk digeluti menjadi puisi. Tema ini terbuka, namun penuh misteri. Maka, tak heran sejumlah penyair “mengartikan” tema ini sebatas hubungan sesama – muda mudi – dan belum masuk pada filosofi cinta itu; hubungan antara hamba kepada Tuhan (hablumminallah). Ini masalah berat, tentunya. Barangkali hanya mereka yang tahu ilmu sufi dan tarekat yang tak kesulitan.


Hanya ini pengantar saya, yang menurut saya masih sederhana sekali, untuk buku Kota Kelabu. Saya mesti menyiapkan waktu lebih banyak jika menulis lebih panjang dan mendalam lagi. Tetapi, waktu yang diberi hanya hitungan jam. Buku ini diburu penerbitan. Jadi, maafkan saya kalau pengantar ini tidak memuaskan semua (penyair, editor, pembaca). Dan, ini juga sebagai bentuk “toleransi” agar pembaca tidak terpengaruh, apalagi terdoktrin, oleh hasil pengamatan (penafsiran) saya. 


Puisi memberi ruang lebih luas untuk dimaknai, dan pemaknaan tidak harus seragam! Salam.*



———

Isbedy Stiawan ZS, sastrawan asal Lampung, dan telah menerbitkan lebih 50 buku (puisi dan cerpen). Karya-karyanya kerap memenangkan lomba dan penghargaan untuk buku-buku sastranya. 












































LIPSUS