Oleh: Juniardi, SIP, SH, MH.
Tahun 2025 memberikan gambaran yang kontradiktif sekaligus menyedihkan bagi wajah penegakan hukum di Provinsi Lampung. Di satu sisi, pemerintah daerah berhasil memoles wajah administratif dengan pencapaian gemilang. Namun di sisi lain, praktik di lapangan menunjukkan bahwa “penyakit” rasuah ini telah mencapai stadium akut, merusak sendi-sendi birokrasi dari level desa hingga kursi bupati, bahkan mencemari sektor pendidikan yang semestinya suci.
Kita melihat ada jurang pemisah yang menganga antara penilaian di atas kertas dengan kenyataan. Pemerintah Provinsi Lampung berhasil meraih skor Monitoring Center for Prevention (MCP) yang sangat tinggi dari KPK, sempat menyentuh angka 87,48. Angka ini menempatkan Lampung sebagai salah satu provinsi terbaik nasional dalam tata kelola pencegahan administratif.
Namun, skor tinggi tersebut seolah menjadi macan kertas. Realitasnya, Lampung tetap bercokol dalam daftar 10 besar provinsi terkorup di Indonesia menurut berbagai catatan pengawasan. Fenomena ini menegaskan bahwa sistem formal dan kepatuhan administratif belum mampu meredam “budaya” korupsi yang terstruktur dan masif.
Pendidikan Ikut Ternoda
Tahun 2025 menjadi tahun kelam bagi dunia pendidikan Lampung. Sektor yang seharusnya menjadi benteng integritas moral justru menjadi ladang basah bagi para koruptor. Kasus memilukan terjadi di tingkat Sekolah Dasar (seperti di Way Ratai, Pesawaran), di mana Dana Program Indonesia Pintar (PIP) untuk siswa miskin disunat atau tidak disalurkan utuh.
Dugaan korupsi proyek fisik pendidikan kian tidak masuk akal. Salah satu kasus mencolok adalah pembangunan laboratorium dan ruang praktik siswa yang dibangun berjarak 9 kilometer dari sekolah induknya. Proyek ini diindikasi kuat hanya sebagai formalitas pencairan anggaran tanpa memikirkan asas manfaat.
Laporan BPK per Mei 2025 menyoroti kelebihan bayar senilai Rp1,6 miliar kepada puluhan rekanan di Dinas Pendidikan Lampung Selatan, menambah daftar panjang kebocoran anggaran.
Korupsi Paripurna Dari Kades hingga Kepala Daerah
Catatan tahun 2025 membuktikan bahwa tidak ada level pemerintahan yang steril di Sang Bumi Ruwa Jurai. Korupsi terjadi secara vertikal dan sistemik. Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK menjaring Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya. Motifnya sangat klise namun miris, yaitu menggunakan uang suap proyek lebih dari Rp5,7 miliar untuk menutupi utang kampanye (biaya politik).
Di Kabupaten Tanggamus, seorang Kepala Desa ditangkap karena menilep dana desa hingga Rp1 miliar. Dan pada sektor strategis, pengadaan alat kesehatan (CT Scan) dan proyek jalan desa/kabupaten masih menjadi “ATM” bagi oknum pejabat, menghambat laju pembangunan infrastruktur dasar.
Deretan Kepala Daerah yang Terjerat
Lampung memiliki rekam jejak kelam sebagai salah satu provinsi dengan jumlah kepala daerah terbanyak yang ditindak KPK atau Kejaksaan Tinggi. Modus operandi mereka seragam; mulai suap proyek (fee ijon) hingga gratifikasi.
Mereka ada Wendi Welfa, eks Bupati Lampung Selatan, yang terlilit korupsi pengadaan lahan PLTU Sebalang. Mustafa (Lampung Tengah) dan Zainudin Hasan (Lampung Selatan) terkait suap infrastruktur dan pengadaan jasa.
Lalu Agung Ilmu Mangkunegara (Lampung Utara), suap Dinas PUPR, Khamami (Mesuji), Bambang Kurniawan (Tanggamus).
Satono (Lampung Timur): Korupsi APBD, meninggal dunia setelah buron 10 tahun, juga Andi Ahmad Sampoerna Jaya. M. Dawam Raharjo (Lampung Timur), masuk dalam catatan pemeriksaan terkait kasus terbaru: Kasus Kakap 2023-2025.
Pemberantasan korupsi tidak berhenti, namun modus pelaku kian canggih. Dalam skandal Participating Interest (2025) Kejati Lampung menetapkan tiga tersangka (Direksi & Komisaris PT LEB) atas dugaan penyelewengan dana bagi hasil migas senilai US$ 17,2 Juta. Dana daerah disulap menjadi bonus dan dividen ilegal.
Korupsi Bendungan Marga Tiga (2024). Polda Lampung mengungkap korupsi pembebasan lahan proyek strategis nasional dengan kerugian negara Rp43,33 miliar, melibatkan oknum BPN. Juga ada suap penerimaan mahasiswa Unila. Kasus Rektor Unila, Karomani, (vonis 10 tahun) membuka mata publik bahwa jual-beli kursi pendidikan tinggi adalah nyata.
Dan banyak lagi pejabat setingkat kepala dinas, sekda, hingga kabid di daerah yang terjerat korupsi.
Mengapa Korupsi di Lampung Begitu Akut?
Dari banyak catatan itu, peta korupsi Lampung tahun 2025 dapat dilihat melalui berbagai sektor. Misalnya pada sektor paling rawan ada pada Dinas Pendidikan; menyorot Dana PIP dan proyek fisik sekolah.
Pada Dinas PUPR model fee proyek jalan dan jembatan (Ijon). Pada lingkungan Energi dan SDA contoh Dana Bagi Hasil Migas (Participating Interest). Dan desa rawan penyelewengan Dana Desa.
Modus operandi dominan adalah mark-up anggaran, suap/gratifikasi (fee proyek). Laporan fiktif dan proyek nangkrak, ditambah penyalahgunaan wewenang (jabatan).
Para pengamat dan akademisi sepakat bahwa korupsi di Lampung bukan lagi kasuistik, melainkan penyakit struktural yang disebabkan tiga faktor utama.
Pertama: Biaya politik mahal. Kasus Bupati Lampung Tengah adalah bukti nyata. Mahalnya “mahar politik” memaksa kepala daerah terpilih mencari jalan pintas (return on investment) melalui jual beli proyek, bahkan sebelum anggaran diketok (ijon).
Kedua: Mandulnya pengawasan internal, karena Inspektorat daerah seringkali tidak bertaring. Mereka tak berdaya menghadapi intervensi pimpinan daerah, membuat fraud tidak terdeteksi sejak dini.
Ketiga: Adalah krisis integritas. Pendidikan moral birokrasi gagal. Jabatan dipandang sebagai instrumen memperkaya diri, bukan amanah publik.
Lampung sebagai Gerbang Sumatera memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Namun, jika penyakit “kanker” korupsi ini tidak diamputasi, pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi angka di atas kertas, sementara jalanan tetap rusak dan rakyat tetap miskin. Penegakan hukum yang tegas di tahun 2026 diharapkan bukan sekadar seremoni, melainkan awal dari pembersihan total. ***
Penulis: Pemred sinarlampung.co.


