Oleh: Muhar Efendi
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) –hari ini- seperti sebuah aula besar yang penuh gema. Banyak suara, banyak arah, banyak tafsir.
Ada yang berbicara atas nama moral, ada yang atas nama struktur, ada pula yang berdiri atas nama sejarah. Tetapi, justru di situlah problemnya bermula: ketika semua merasa paling sah berbicara, kebenaran berubah menjadi gema yang saling bertabrakan.
Yang terjadi di PBNU bukan sekadar konflik organisasi. Ini adalah benturan antara tiga kekuatan besar:
1. Tradisi.
2. Kekuasaan.
3. Zaman digital yang tak mau menunggu musyawarah.
Dulu, keputusan di lingkungan Nahdlatul Ulama lahir dari ruang-ruang sunyi: pesantren, bahtsul masail, dan majelis yang penuh adab. Hari ini, sebagian debatnya pindah ke layar kecil di genggaman. Fatwa berubah menjadi potongan video. Kebijaksanaan bersaing dengan algoritma. Dan PBNU, mau tidak mau, terseret ke tengah pusaran itu.
Yang menarik, konflik di PBNU bukan tentang siapa paling benar, tetapi siapa yang paling diikuti. Ini menandakan sebuah pergeseran yang lebih dalam: otoritas keilmuan mulai bersaing dengan otoritas viral. Yang alim bisa kalah oleh yang ramai. Yang mendalam bisa tenggelam oleh yang sensasional.
Inilah tantangan terbesar PBNU hari ini — bukan soal jabatan, bukan pula soal faksi, melainkan bagaimana menjaga marwah keilmuan di tengah dunia yang lebih menghargai kecepatan daripada ketepatan.
Lebih dari itu, PBNU sedang diuji dalam sebuah pertanyaan besar yang jarang diucapkan secara terbuka.
"Masihkah PBNU berdiri sebagai penuntun umat, atau mulai dilihat sebagai salah satu pemain dalam arena kekuasaan?”
Ini adalah pertanyaan yang tidak dijawab dengan konferensi pers, klarifikasi, atau pernyataan sikap. Ini hanya bisa dijawab oleh sikap batin organisasi: apakah ia masih menempatkan umat sebagai pusat, atau mulai membiarkan kepentingan elite mengatur kompas.
Yang paling berbahaya dari seluruh situasi ini bukanlah perbedaan, melainkan normalisasi kegaduhan. Ketika warga mulai menganggap konflik sebagai hal biasa, maka di situlah kerusakan yang sebenarnya bekerja secara senyap.
NU dibangun bukan hanya dengan struktur, tetapi dengan kepercayaan jutaan orang kecil: petani, santri kampung, pedagang pasar, buruh, dan kaum pinggiran. Mereka mungkin tak memahami dinamika elite PBNU, tetapi mereka menggantungkan moral hidupnya pada nama besar NU. Dan kepercayaan, sekali retak, tak bisa disambung hanya dengan jargon persatuan.
PBNU hari ini seperti sedang berdiri di depan cermin yang retak. Yang terlihat bukan wajah utuh, melainkan potongan-potongan yang saling mencurigai. Jika cermin itu tak segera diperbaiki, yang rusak bukan hanya bayangan, tapi identitas.
Namun di setiap krisis, NU selalu punya satu kekuatan yang tak dimiliki organisasi lain: daya hidup kultural. Selama pesantren tetap bernapas, selama shalawat tetap bergema, selama santri masih mengaji tanpa pamrih jabatan, maka NU sejatinya belum benar-benar goyah — hanya sedang diuji ketahanannya.
PBNU hari ini tidak sedang kehilangan NU. PBNU hari ini sedang diuji: masihkah ia layak dipercaya sebagai rumah besar, bukan arena perebutan panggung.(*)
*Anak Muda NU asal Lampung


