-->
Cari Berita

Breaking News

Saat Alam “Menggugat”: Dedi Mulyadi dan Politik Keberanian Melawan Kerusakan

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 04 Desember 2025



Oleh: Muhar Efendi


Di banyak tempat, pemimpin sering dipuji karena pembangunan. Jalan dibuka, gedung ditinggikan, investasi dibentangkan. Namun jarang ada yang dipuja karena satu hal yang lebih sunyi: keberanian berkata tidak pada perusakan. Di titik inilah, langkah Kang Dedi Mulyadi di Jawa Barat menemukan maknanya.


Penertiban lahan yang ia lakukan bukan sekadar soal administrasi pertanahan. Ia adalah perlawanan terhadap cara lama kita memperlakukan alam—seolah hutan hanyalah kayu, sungai hanyalah saluran, dan gunung hanyalah komoditas. Dalam politik yang sering dihitung dengan suara dan angka, Kang Dedi memilih kalkulasi yang lebih sunyi namun jauh lebih mahal: keselamatan generasi masa depan.


Menjaga lingkungan bukanlah kebijakan populer. Ia sering berhadapan dengan kepentingan besar, keberatan pengusaha, bahkan kemarahan warga yang terlanjur menggantungkan hidup pada pola yang salah. Maka, ketika seorang kepala daerah tetap bersikukuh menertibkan, di situlah kita melihat bahwa keberanian ekologis adalah bentuk tertinggi dari kepemimpinan moral.


Banjir bandang dan longsor di Sumatera bukan sekadar berita bencana. Ia adalah surat peringatan dari alam yang kita abaikan terlalu lama. Hutan ditebang, tanah dikeruk, sungai dicekik. Lalu ketika air datang membawa lumpur dan maut, kita menyebutnya“bencana alam”, seolah manusia tidak ikut menandatangani kehancuran itu.


Apa yang dilakukan di Jawa Barat hari ini seharusnya dibaca dalam bingkai Sumatera: bahwa pencegahan selalu lebih sunyi, tetapi kehancuran selalu gaduh. Kita sering terlambat belajar, karena kita menunggu korban terlebih dahulu.


Maka upaya penertiban lahan yang kini berlangsung di Jawa Barat sesungguhnya bukan hanya urusan daerah. Ia adalah pesan nasional: bahwa pembangunan yang meninggalkan alam adalah pembangunan yang sedang menyiapkan kuburnya sendiri.


Satu hal penting yang sering kita lupakan: kerusakan lingkungan bukan diciptakan oleh pemerintah saja, tapi juga oleh kebiasaan masyarakat. Kita menuntut pemimpin bersih, tapi membuang sampah sembarangan. 

Kita mengutuk banjir, tapi membiarkan sungai dipersempit. Kita marah saat longsor datang, tapi diam saat hutan diratakan.


Di sinilah tugas generasi muda, termasuk kami dari kalangan Nahdliyin: mengubah kepedulian menjadi gerakan, bukan hanya status media sosial. Menjaga lingkungan adalah bagian dari iman, bukan sekadar proyek pemerintah.


Jika kita sungguh ingin mencegah tragedi berulang, setidaknya lima langkah ini harus berjalan serentak:

1. Kesadaran rakyat harus lebih cepat dari ambisi pembangunan.

2. Hukum lingkungan tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

3. Mitigasi bencana harus menjadi investasi utama, bukan anggaran sisa.

4. Reboisasi harus menjadi gerakan massal, bukan seremoni tahunan.

5. Kolaborasi pemerintah–rakyat–organisasi harus dibangun tanpa saling curiga.


Tanpa ini, kita hanya akan mengulang siklus derita: bangun–rusak–bencana–sesal.


Kang Dedi Mulyadi hari ini mungkin hanya satu dari sekian banyak pemimpin. Tapi keberaniannya mengutamakan lingkungan mengingatkan kita pada satu kebenaran pahit: pemimpin bisa berganti, tetapi alam yang rusak tidak bisa kita cetak ulang.


Jawa Barat hari ini sedang menulis satu bab penting tentang bagaimana sebuah daerah memilih berpihak—bukan pada kerakusan, tetapi pada keberlanjutan. Semoga bab ini tidak berhenti sebagai catatan lokal, melainkan menjadi panduan nasional.


Karena pada akhirnya, yang benar-benar kita wariskan kepada anak cucu bukanlah gedung dan jalan, tetapi udara yang mereka hirup dan tanah yang mereka pijak. 


*Penulis: Anak muda NU, tinggal di Pesawaran.

LIPSUS