-->
Cari Berita

Breaking News

Tragedi dalam Buku Puisi Peduli Bencana Sumatera 2025

Dibaca : 0
 
Rabu, 17 Desember 2025




INILAMPUNG.COM, Jakarta -- Pada 16 Desember 2025, panitia Puisi Peduli Bencana Sumatra 2025 mengumumkan puisi-puisi yang terpilih dan dimuat dalam buku Tanda Cinta bagi Korban Bencana Sumatera


Buku ini merupakan himpunan puisi yang lahir dari keprihatinan mendalam atas bencana banjir dan longsor besar yang melanda berbagai wilayah Sumatera pada penghujung tahun 2025, sebuah tragedi yang merenggut ratusan nyawa dan memaksa hampir satu juta orang mengungsi. 


Sejak awal, buku ini tidak dimaksudkan sebagai antologi puisi bertema bencana semata. Dalam pengantarnya, para inisiator menegaskan bahwa puisi-puisi di dalam buku ini hadir sebagai bentuk kesaksian moral dan etis.


“Puisi-puisi di dalamnya bukan sekadar ungkapan empati, melainkan bentuk kesaksian kolektif atas bencana banjir dan longsor yang melanda berbagai wilayah Sumatera pada akhir 2025,” tulis Mustafa Ismail sebagai salah satu pemrakarsa kegiatan ini.


Kesaksian tersebut hadir dari beragam suara dan latar. Penyair-penyair yang terlibat berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura, hingga Turki. Keragaman ini memperlihatkan bahwa duka Sumatera tidak berdiri sendiri, melainkan beresonansi secara global.


“Para penyair yang terlibat berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura, hingga Turki, menjadikan buku ini sebagai ruang lintas batas yang mempertemukan duka lokal dengan keprihatinan global,” demikian ditegaskan Mustafa yang juga jurnalis dan penyair dari Aceh ini.


Secara tematik, puisi-puisi dalam buku ini menolak pandangan bahwa bencana adalah peristiwa alam yang netral dan terpisah dari tindakan manusia.


“Bencana tidak diperlakukan sebagai peristiwa alam yang netral, melainkan sebagai simpul pertemuan antara hujan ekstrem, kerusakan lingkungan, kelalaian manusia, dan ketimpangan kuasa,” menurut Dedy Tri Riyadi, yang juga terlibat dalam kegiatan ini.


Nada tersebut langsung terasa sejak puisi pembuka, “Arus Deras Itu” karya Ahmadun Yosi Herfanda. Dalam puisi ini, banjir bandang hadir bukan hanya sebagai kekuatan alam, melainkan sebagai “tentara Tuhan” yang mengingatkan manusia atas keserakahannya sendiri. Sungai, meunasah, kampung, dan tubuh manusia menjadi satu lanskap kehancuran yang religius sekaligus ekologis. Doa dalam puisi ini lahir dari kepanikan dan kehilangan, bukan dari ketenangan.


Pendekatan reflektif itu menemukan resonansi konseptual dalam puisi “Variabel Liar Persamaan” karya Rintis Mulya. Banjir digambarkan sebagai persamaan yang tak lagi bisa diselesaikan karena hutan hilang dari sistem, lereng gunung menjadi garis putus-putus, dan curah hujan berubah menjadi variabel liar. Metafora matematis ini menegaskan bahwa bencana adalah hasil dari sistem ekologis yang dirusak secara kolektif, bukan semata-mata akibat hujan deras.


Sikap kritis terhadap kebiasaan menunda kesadaran muncul dalam puisi Ahmad Md Tahir dari Singapura yang menulis, “seperti biasa, esok saja kita berbincang lagi”, sementara korban terus berjatuhan di Sumatera dan kawasan sekitarnya. Bencana dicatat sebagai agenda, bukan sebagai peringatan. Nada serupa hadir dalam puisi “Rengkah Bumi” karya Fakhrunnas MA Jabbar, yang menempatkan bumi sebagai tubuh renta yang terluka oleh tambang, asap industri, racun laut, dan penebangan hutan tanpa kendali.


Sementara itu, Fikar W. Eda melalui “Sobekan Perca Tanah Gayo” menghadirkan bencana dalam lanskap yang konkret dan kultural. Longsor dan banjir tidak hanya menenggelamkan jembatan dan jalan, tetapi juga mematikan bunyi didong, merobek sejarah, dan memutus hubungan manusia dengan gunung, hutan, dan sungai. Kampung-kampung disebut dengan nama, menandai bahwa yang hancur bukan sekadar ruang hidup, melainkan identitas kolektif.


Personifikasi air dan tanah muncul kuat dalam puisi Isbedy Stiawan ZS, “Jangan Tahan Tubuhku”. Air berbicara sebagai entitas yang dilepaskan manusia sendiri setelah akar dicabut dan hutan ditebang. Dengan cara ini, puisi menolak pandangan fatalistik: alam menjadi kejam karena manusia terlebih dahulu merusaknya. Dimensi ingatan dan warisan moyang hadir dalam Iyut Fitra, “Ratap Hantu Air”, yang memandang air sebagai penyimpan roh-roh kehilangan yang terus berkeliling di hilir.



Nada gugatan politik dan moral tampil tegas dalam puisi Kurnia Effendi, yang secara terang menyebut kebijakan, izin, dan data ekologis. Banjir diposisikan sebagai bukti terbuka kejahatan struktural. Gugatan serupa, dengan gaya satir dan getir, muncul dalam Triyanto Triwikromo, “Hanyut”, yang menggambarkan negara dan parlemen ikut hanyut, meninggalkan rakyat di atap-atap rumah.


Namun buku ini tidak hanya berisi gugatan. Dimensi kehilangan personal dan spiritual hadir dalam puisi Nanang R. Supriyatin, “November Rain”, dan Riri Satria, “Doa untuk Kampung Halaman”. Anak kehilangan ibu, ibu kehilangan keluarga, kampung kehilangan suara surau. Doa menjadi satu-satunya jembatan antara yang selamat dan yang hilang.


Secara umum, keseluruhan puisi yang ada dalam buku ini adalah arsip emosional dan etis. “Tanda Cinta bagi Korban Bencana Sumatera dapat dibaca sebagai arsip emosional dan etis dari tragedi ekologis,” pungkas Mustafa Ismail.


Lebih jauh ditegaskan oleh Iwan Kurniawan, jurnalis Tempo dan penggagas kegiatan ini, “Puisi-puisi itu menjadi tanda cinta bukan dalam arti romantik, melainkan keberanian untuk menyebut luka, menunjuk sebab, dan menolak lupa,” kata Iwan.


Setelah dikurasi dan disusun, puisi-puisi dari para penyair akan diterbitkan oleh Ruang Merdeka Inspira, dan buku ini dijadwalkan terbit Desember 2025. Melalui pengumuman puisi-puisi terpilih ini, Puisi Peduli Bencana Sumatra 2025 diharapkan menjadi pengingat bahwa di tengah dunia yang kerap memadatkan bencana menjadi angka dan statistik, puisi tetap mampu mengembalikan wajah, suara, dan nama-nama manusia yang hanyut bersama air.


Buku tersebut akan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin pada Jumat malam, 19 desember 2025 dalam acara bertajuk "Panggung Puisi Bencana Sumatera”.


Menurut koordinator acara panggung puisi bencana, Rintis Mulya, acara itu akan diwarnai baca puisi, testimoni, dan donasi. “Sejumlah penyair sudah menyatakan kesediaannya untuk membaca puisi pada acara tersebut," katanya.(rl/bd/inilampung)

LIPSUS