Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 164)

INILAMPUNG
Senin, 13 Juni 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


TERIMAKASIH banyak ya, Gerry. Alhamdulillah. Pantes rejekimu terus ngalir, kamu banyak sedekah disini,” ujarku, yang disambut Gerry dengan senyum kebahagiaan.


“Kunci ketenangan dan kebahagiaan itu ada di hati dan pikiran kita sendiri, bang. Iringi dengan sedekah setiap hari, sesusah apapun kita. Jangan diukur dari besar kecilnya sedekah, bang. Yang penting ikhlas. Inshaallah, selalu ada aja jalan keluarnya, sepelik apapun masalah,” sahut Gerry. 


“Gitu ya, Gerry. Tapi repot juga kita bersedekah dalam kondisi kayak gini,” kataku, menyela.


“Jangan gitu, bang. Justru dalam kondisi terpuruk kayak ginilah, kita harus terus sedekah. Jangan nunggu lapang, baru sedekah. Tapi ya itu tadi, yang penting niat dan ikhlas aja,” jawab Gerry.


“Misalnya, yang biasa kita lakuin dan bisa jadi sedekah kayak mana, Gerry?” tanyaku, tertarik dengan perkataan dan apa yang dilakukannya selama ini.


“Misalnya aja ini ya, bang. Abang kasih tamping sebatang rokok, niatin sebagai sedekah dan ikhlas bener. Semata-mata karena Allah. Bukan karena abang pengen tamping itu nurut sama abang. Lakuin aja sedekah yang kecil-kecil kayak gitu. Nanti kan jadi besar juga hitungan sedekah abang dimata Allah,” kata Gerry mengurai.


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mencoba memahami praktik bersedekah rutin yang dilakukan Gerry. Tiba-tiba ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari kantong celananya. Pecahan Rp 2.000.


“Buat apa itu, Gerry?” tanyaku, penasaran.


“Buat sedekah, bang. Gerry selalu siapin uang pecahan Rp 2.000-an. Kalau keluar kamar, pasti bawa minimal lima lembar. Kan nggak berat di hati kalau kita kasih orang, uang pecahan segitu. Hati kita tetep ikhlas. Coba kalau Rp 20.000-an, kan belum tentu kita ikhlas. Karena nafas sedekah itu ikhlas, bukan jumlahnya,” ujar Gerry, panjang lebar.


Kembali aku hanya bisa menganggukkan kepala melihat pola bersedekah yang selama ini dilakukan Gerry. Sebuah pengalaman kehidupan yang baru aku dapatkan.


Sambil berjalan menuju blok masing-masing, Gerry mempertanyakan mengapa aku sangat menyukai lauk telor sambal. Padahal, di kantin banyak lauk lain yang lebih enak.


“Sejak kecil, aku sudah biasa makan telor, Gerry. Jadi, rasanya ada yang kurang kalau belum ketemu telor. Lagian, lauk yang lain kan mahal-mahal,” jelasku.


“Sesekali coba abang makan sayur kepala ikan simba gitulah. Ikan mas atau nila bakar. Banyak itu di kantin. Atau ayam goreng mentega, enak dan renyah. Kasih tahu Gerry aja, kalau abang pengen makan yang lain-lain. Kalau nggak ada di kantin, nanti pesen lewat sipir yang piket,” ucap Gerry, dengan wajah serius.


“Iya, nanti kalau pas pengen, aku kasih tahu kamu ya. Sekarang ini masih enak makan dengan telor sambel itulah,” sahutku, seraya tersenyum.


“O iya, bang. Nanti sore Gerry mau main bulutangkis di aula. Sama pejabat rutan dan sipir juga. Kalau abang mau cari keringet, dateng aja ya. Nanti pakai raket Gerry,” kata Gerry, mengajakku berolahraga.


“Oke, lihat nanti ya, Gerry. Sebenernya aku pengennya main voly. Tapi belum ada kesempatan juga,” ujarku. 


“Ya sudah, mana enaknya abang aja ya. Oke, baik-baik jaga kondisi ya, bang,” kata Gerry lagi saat kami berpisah di depan pintu masuk Blok B. Dia masih harus berjalan di selasar untuk sampai ke tempatnya, di Blok A.


Selepas berganti pakaian, aku pun makan siang. Rudy menemaniku. Duduk di kursi yang ada di ruang depan kamar. Ia mengaku sudah makan nasi pecel saat aku solat jum’at.


“Habis makan ini om mau keluar lagi apa gimana?” tanya Rudy, tiba-tiba.


“Emang kenapa?” tanyaku, balik.


“Ya, nggak kenapa-kenapa sih, om. Rudy cuma pengen tahu aja. Sebab, sering om Basri atau om Dino tanyain kalau om nggak ada di kamar,” kata Rudy.


“Kenapa mereka tanyain om ya, Rud?” tanyaku lagi. 


OD kamar 20 yang masih muda usia itu hanya mengangkat bahunya. Pertanda, ia tidak mengerti mengapa Basri dan Dino menanyakanku. 


Memang, aku merasakan. Basri dan Dino tampak selalu mengawasiku. Beberapa kali aku pergoki, mereka tengah memandangiku saat aku sedang berbincang dengan sesama tahanan. 


“Besok-besok kamu tanya kenapa tanyain om lagi dimana, gitu ya, Rud. Jadi kamu tahu maksudnya. Buat apa kamu kerjain sesuatu, tapi nggak tahu maksudnya,” kataku kepada Rudy, dengan penekanan.


“Iya juga ya, om. Mestinya Rudy tanya ya ke om Basri atau om Dino,” ucap Rudy dengan cepat. Seakan baru tersadar.


“Mestinya emang kamu tanyalah, Rud. Orang tanya itu kan karena ada keperluannya. Nah, nggak salah juga kalau kamu perlu tahu apa keperluannya, kan kamu yang ditanya,” lanjutku.  


Setelah makan dan mengikuti apel siang, aku keluar kamar. Melangkah ke kamar 34. Kamar pak Edy. 


“Masuk, Be. Makan sekalian yok,” kata pak Edy, begitu aku berdiri di depan pintu kamarnya.


Saat itu, ia bersama seluruh penghuni kamar 34 sedang menikmati makan siang. Berlauk tempe dan tahu goreng dengan sambel pecel kemasan. Dilengkapi kerupuk. 


“Barusan aja aku makan, pak Edy. Terimakasih tawarannya. Aku di gazebo ya,” kataku kemudian.


Gazebo kecil yang berada di depan kamar pak Edy sangat bersih. Tampak nyata bila tempat kongkow ini dirawat dengan baik oleh OD kamar 34. 


Sebuah pesawat televisi ukuran 24 inc terpasang di bagian sudutnya. Tayangan sinetron yang selalu menunjukkan kehidupan serba mewah, adalah tontonan paling disukai para tahanan. Selain film-film India.


“Alhamdulillah aku sudah sehat, Be,” kata pak Edy, yang tiba-tiba duduk di dekatku. Bersandar pada pilar gazebo.


“Alhamdulillah. Yang penting jaga pikiran dan perasaan aja, pak Edy. Kalau fisik, pak Edy itu tangguh bener. Cuma lemahnya, ya kalau pikiran dan perasaan lagi nggak bisa dikendaliin,” sahutku.


“Oh iya, kabarnya Babe sudah pindah ke kamar 20 ya?” ucap pak Edy dengan menatapku serius.

 

“Iya, sudah di kamar 20. Baru beberapa hari ini, pak Edy,” jawabku.


“Syukur kalau gitu, Be. Tapi sabar-sabar aja ya. Apa-apa yang jadi kepengen kita, nggak bakal bisa terwujud dengan baik selama di rutan,” ujarnya, kemudian.


“Maksudnya gimana, pak Edy?” tanyaku. (bersambung)

LIPSUS