Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 240)

Dibaca : 0
 
Minggu, 28 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang 


SUARA mengaji dari masjid di dalam kompleks rutan, mulai terdengar. Penanda bila waktu solat Subuh akan segera datang. 


“Kita jamaahan di masjid ya, bang. Aku ambil sarung dulu,” kata sang bos, dan bergerak ke kamarnya. 


Aku pun masuk ke kamar. Mengambil kain sarung dan kupluk. Beberapa saat kemudian, sang Bos telah keluar dari kamarnya, dan kami berjalan bersama menuju masjid. Prosesi jamaahan Subuh berlangsung dengan khidmat, diikuti sekitar 50-an orang. Penghuni rutan maupun petugas sipir.


Seusai solat, kami mengikuti agenda kultum, yang disampaikan ustadz Umar. Pria berprofesi sebagai dosen sebuah perguruan tinggi ini, memang banyak menghabiskan waktunya di masjid, dan terus menebar keilmuan yang ia miliki. 


Ia mengingatkan perlunya kita terus memperbaiki diri pribadi, tanpa mengorek kesalahan orang lain atau bahkan memperbandingkannya. 


“Jangan pernah merasa paling suci, apalagi sampai mengomentari keimanan orang lain. Karena pada hakekatnya, kita ini hanya berbeda saja dalam memilih dosa, tanpa pernah tahu amalan ibadah mana yang akan mengantarkan kita ke surga, atau justru perbuatan yang akan menyeret kita ke neraka,” kata ustadz Umar dengan suaranya yang berat.


Pria berkepala plontos itu menambahkan, merasa benar, boleh saja. Namun, jangan merasa paling benar. Karena yang dianggap kita benar, belum tentu dibenarkan oleh orang lain.  


“Merasa pintar, boleh-boleh saja, tapi jangan merasa paling pintar. Karena masih banyak orang yang lebih pintar dalam segala hal. Yang harus kita selalu jaga, jangan sombong, jangan menghina, jangan merendahkan dan meremehkan orang lain, sebab kita tidak pernah tahu bagaimana takdir kita besok ataupun lusa,” lanjut ustadz Umar. 


Ia menambahkan, semua orang yang masuk rutan adalah yang bermasalah dengan hukum dunia. Namun, justru dalam posisi seperti inilah kita dituntut untuk berjalan di atas rel hukum Allah, untuk meraih akherat. 


“Seorang ulama besar pernah berkata: bukan seorang ksatria yang memasukkan musuhnya ke neraka. Seorang ksatria adalah yang mampu memasukkan musuhnya ke surga sebelum dirinya,” kata ustadz Umar dengan suara bergelora.


Menutup kultumnya, Ustadz Umar menyampaikan, pemberani bukanlah orang yang berani mati atau tidak punya rasa takut sama sekali. Tetapi, orang yang tetap melangkah ke depan walaupun diliputi rasa takut di hatinya.


Saat kembali berjalan menuju ke kamar, aku melihat sang Bos banyak diam. Wajahnya terus menunduk. Matanya menghujam ke tanah. 


“Ada apa, bos?” tanyaku, penasaran.


“Lagi ngerenungin kultum tadi, bang. Sederhana tapi pas di hati. Nggak nyangka aku dapetin banyak ilmu di dalem penjara gini,” ucap sang bos, dengan suara santai.


“Aku seneng dengerin kultum ustadz Umar itu, bos. Singkat tapi penuh makna didalamnya. Dia orang pinter yang tawadhu,” kataku, menimpali.


“Aku juga sering denger kultumnya, bang. Dan kalau nurut aku, ustadz Umar seperti kata Buya Hamka: nakhoda yang baik bukan yang pandai mengemudikan kapal, tapi yang mengetahui rahasia lautan. Ustadz Umar tahu persis apa yang dibutuhin kita-kita yang lagi di dalem. Makanya, apa yang dia sampein langsung mengena. Dan aku ngerasa bahagia bisa ikut kultumnya, walau nggak setiap hari,” jelas sang bos, panjang lebar.


Kami berpisah jalan setelah memasuki pintu utama Blok B. Sang Bos menuju kamar 25, sedang aku ke kamar 20. Begitu masuk kamar, aku bangunkan Rudy. Untuk dia segera solat. 


“Subhanallah. Om sudah subuhan ya. Kenapa nggak bangunin Rudy pas mau ke masjid. Sayangkan, Rudy nggak dapet 27 pahala,” kata anak muda itu, sambil mengucek-ucek matanya yang baru terbuka.


“Maaf ya, Rud. Tadi om lupa bangunin kamu. Karena buru-buru nunggu bos di depan kamar. Lagian, kamu masih nyenyak bener tidurnya,” sahutku, dan menyalaminya sebagai wujud permintaan maaf karena tidak membangunkannya untuk solat berjamaah di masjid.


“Lain kali bangunin ya, om. Mau nyenyak kayak mana juga, bangunin aja. Rudy lagi nikmat-nikmatnya ibadah sekarang ini. Takutnya kalau banyak lalai, kenikmatan itu bakal hilang,” ucap Rudy, dengan wajah serius.


“Siap. Ya sudah, sekarang kamu solat aja dulu. Om mau rebahan ya. Sudah berat ini mata dan lelah bener rasanya badan ini dibawa begadang,” kataku, seraya masuk ke ruang tempat tidur.


“Ya sudah, om tidur aja. Emang mestinya nggak usah lagilah begadang itu, om. Sudah tua om ini. Inget umur, nggak sekuat dulu lagi badan om dipaksa nggak tidur,” kata Rudy, tetap dengan wajah serius.


Perkataan Rudy tidak aku sahuti. Sambil tersenyum, aku naik ke lantai tempatku tidur. Di sebelah kiriku ada Dino dan di sebelah kanan ada Basri. Keduanya masih lelap dalam tidurnya. Dan setelah menutup telinga dengan bantal, aku pun mengatupkan mata. Melepaskan semua pernak-pernik yang berseliweran di dalam pikiran. Tidur. 


Aku terbangun saat Rudy menepuk-nepuk telapak kakiku. Ia memberitahu, ada yang mau ketemu denganku dan menunggu di taman depan kamar. 


“Siapa, Rud?” tanyaku.


“Rudy nggak tahu namanya, om. Yang pasti, dia dari Blok A. Rudy pernah lihat dia disana,” kata Rudy.


Setelah turun dari lantai tempat tidur, aku melihat keluar dari jeruji besi. Seorang pria bertubuh besar dengan tato di kedua lengan tangan dan kaki bagian bawahnya, tampak duduk santai di taman depan kamar, sambil menghisap rokok. Dengan posisi membelakangi kamarku. 


Seusai mencuci muka dan menggosok gigi, aku keluar kamar. Menemui pria yang akan menemuiku. Setelah menyalaminya, aku duduk berhadapan dengan pria yang belum aku kenal tersebut. 


“Aku anak buahnya abah. Aku disuruh nemuin abang. Abang ditunggu abah dan kawan-kawan di kantin,” ujar pria yang mengaku bernama Iwan.


“O gitu. Oke, kamu duluan aja, wan. Aku mandi sebentar. Nanti aku kesana,” sahutku, dan bergegas masuk ke kamar. Iwan pun beranjak dari taman depan kamarku.


Sambil mandi, pikiranku berputaran. Menduga-duga berbagai hal yang akan disampaikan Abah. Napi senior yang sangat disegani di rutan. Juga memikirkan, apa yang akan aku sampaikan mengenai penunjukannya terhadapku untuk “mengasuh” ke-12 tahanan yang selama ini menjadi anak buahnya. 


“Om, lama amat mandinya. Kayak mau ketemuan sama siapa aja,” kata Rudy dari luar kamar mandi. Menyadarkan aku bila telah cukup lama berada di dalam kamar mandi.


“Sabar, Rud. Mandinya sambil mikir, makanya agak lama,” sahutku, sambil tertawa.


“Nggak usah lama-lama mikirnya, om. Malah ngebuat mumet aja. Jalan-jalani aja, nanti juga ketemu alurnya,” tanggap Rudy.


Spontan aku merasa mendapatkan jawaban atas berputarnya pikiran akan segala kemungkinan dalam pertemuan dengan Abah. Ternyata, memang tidak perlu membayangkan beragam kemungkinan. Cukup menjalani saja. (bersambung)

LIPSUS