Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 241)

Dibaca : 0
 
Senin, 29 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


DENGAN memakai celana panjang jeans belel, berkaos tanpa lengan, dan bertopi, aku menuju ke kantin. Tempat Abah dan anak buahnya berada.


“Assalamualaikum, abah. Inshaallah sehat terus ya,” sapaku.


Dan langsung menyalami tokoh napi senior itu dengan kedua tangan, seraya menundukkan wajah. Penuh penghormatan.


“Waalaikum salam. Seperti adek haji lihat, abah terus sehat. Alhamdulillah,” sahutnya, sambil melepas senyum kharismatiknya.


Enam pria yang mendampingi Abah, aku salami satu-persatu. Mereka menerima uluran tanganku dengan kedua tangan. Pertanda, mereka menghargai kehadiranku. Ada keadaban yang diajarkan Abah. 


Abah memerintahkan salah satu anak buahnya memesankanku kopi pahit dan nasi uduk. Saat itu, mereka baru saja selesai sarapan. Juga menikmati nasi uduk khas kantin rutan. 


Yang hanya dilengkapi beberapa lembar suwiran telor goreng ditambah potongan tempe goreng, dan sambal merah yang tidak ada pedasnya sama sekali.


“Sambil adek haji sarapan, kita ngobrol ya,” kata abah, beberapa saat kemudian.


“Siap, abah,” sahutku, pendek. Dan memulai menikmati nasi uduk.


“Jadi gimana tawaran abah waktu itu? Adek haji mau kan ngedidik mereka-mereka ini?” tanya abah dengan suara khasnya.


“Inshaallah, aku siap menerima amanah abah. Tapi, yang aku mauin, kami seiring-sejalan, abah,” kataku, tegas.


“Maksudnya gimana, adek haji?” tanya abah lagi.


“Aku tahu diri, nggak bakalan bisa gantiin posisi abah. Aku nerusin aja. Kalau abah kan komandan, kalau aku, ya kawan seiring-sejalan aja buat mereka semua. Kami akan saling jaga sebagai saudara,” ujarku.


“Abah nggak nyambung sama maksud adek haji. Jelasnya gimana?” kembali abah bertanya. Dahinya mengernyit. 


“Sederhananya begini, abah. Kawan-kawan ini jangan berdiri di depanku, karena aku bukan pengikut. Juga jangan berdiri di belakangku, karena aku bukan pemimpin yang baik. Berdirilah semua disampingku sebagai kawan dan saudara,” kataku mengurai.  


Abah mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil menarik-narik jenggot tebal dan panjangnya. Selintas aku melihat sebuah senyum di sudut bibirnya. Senyum penuh misteri. Matanya yang tajam tetap menatapku, seakan tanpa berkedip.


“Abah pernah denger kalimat yang adek haji sampein itu sekitar awal tahun 1990-an dulu. Ada seorang kawan yang ditunjuk jadi ketua pendekar pada saat itu. Dia nggak menolak, tapi nyampein kalimat tersebut. Nggak nyangka, sekarang abah denger lagi kata-kata itu, setelah hampir 30 tahun berlalu,” kata abah dengan suara santai.


Aku dan enam tahanan lainnya hanya berdiam diri. Menunggu perkataan selanjutnya dari Abah. Kharisma pria ini memang luar biasa. Desir kewibawaannya sangat kuat. Membuat yang bertemu dengannya nyaris kehilangan kata.


“Abah paham maunya adek haji. Dan abah bangga. Karena dengan apa yang disampein tadi, adek haji tetep junjung tinggi kehormatan abah yang telah ngebina mereka selama ini. Terus rendah hati ya, adek haji. Yakin aja, semesta akan bekerja dengan sendirinya buat adek haji ke depannya,” lanjut abah, tetap dengan santai.


“Inshaallah, abah. Mohon bimbingan dan doa abah. Agar kami semua disini tetep baik-baik aja dan dapet hidayah Allah,” sahutku, seraya membungkukkan badan. Memberi penghormatan.


“Gimana kalian semua? Apa pendapat kalian sama apa yang dimauin adek haji tadi?” tanya abah kepada enam anak buahnya yang saat itu berkumpul dengan kami di kantin.


“Kalau aku sepakat, abah. Walaupun abah sudah keluar, kami tetep merasa abah itulah pemimpin kami. Bang Mario yang ngarahin kami ke depannya. Dan semua apa yang akan kami lakuin, dibicarain lebih dulu. Karena kami seiring-sejalan. Aku suka sama suasana kebersamaan kayak gitu,” Danil memberi komentar.


“Yang lain gimana?” tanya abah lagi, sambil memandang anak buahnya yang duduk rapih di kursi panjang.


“Intinya, kalau abah sudah sepakat nunjuk bang Mario sebagai pengganti dan yang akan ngarahin kami ke depan, ya kami ikut aja, abah. Kami percaya, abah nunjuk bang Mario karena abah ngelihat dia punya kelebihan dibanding kami-kami,” kata Iwan, mempertegas sikap Danil.


“Kalian inget ya, kelebihan adek haji yang abah lihat, bukan dalam hal kegagahan atau kesaktiannya. Tapi ketenangan, kepedulian dengan sesama, dan kerendahan hatinya. Kalau soal kesaktian, di atas langit, ada langit. Walau abah yakin, adek haji ini nggak kosong-kosong amat. Kekuatan besarnya justru tersimpan dibalik kerendahan hati dan ketenangannya,” ujar abah, panjang lebar.


“Yang sudah ada dipikiran bang Mario, apa kegiatan buat kami ke depannya,” tiba-tiba Danil bertanya, sambil menatapku.


“Aku mau tahu dulu, mau kalian apa. Mau bener-bener taubat dan belajar agama, atau keterampilan buat bekal hidup yang bener ke depannya, apa nambah ilmu, pengalaman, dan kegagahan buat ngelanjutin kegiatan kriminal nantinya,” tanggapku, dengan serius.


“Mereka ini sudah pada sadar, adek haji. Pengen jadi orang baik setelah keluar dari penjara,” kata abah, menyela.


“Bagus kalau begitu, abah. Aku cuma pengen denger langsung dari mulut mereka aja,” jawabku dengan cepat.


Tampak keenam tahanan itu saling berpandangan. Dan bersamaan,  mengangkat bahu sebagai ekspresi selanjutnya. Penuh kebimbangan. Belum mantap dengan sikap yang menjadi pilihan. 


“Kok kalian pada diem. Ayo, kasih jawaban sama adek haji,” ujar abah dengan nada tinggi.


Kembali, keenam anak buah Abah hanya saling berpandangan. Pahamlah aku, bila selama ini mereka patuh dan mengikuti apapun perintah tokoh napi tersebut, semata-mata karena rasa takut atau segan. 


“Gini aja. Kalian berenam coba keluar dulu. Aku mau bicara berdua sama abah,” kataku, beberapa saat kemudian.


Tanpa diperintah dua kali, mereka pun bergerak. Meninggalkan kantin, dan berjalan menuju ke arah lapangan sepakbola. Duduk di tepian selasar. 


“Kenapa adek haji suruh mereka pergi sebelum kasih pernyataan? Harusnya teken mereka buat bicara,” kata abah, setelah tinggal kami berdua.


“Justru karena mereka masih belum mantep dengan pilihannya itu, maka aku minta mereka keluar dari kantin ini, abah. Mohon maaf ini, abah. Menurut penilaianku, selama ini mereka takdzim kepada abah, karena rasa takut atau segan. Tepatnya, mencari payung yang menjaga mereka dari berbagai masalah yang bisa saja muncul selama di rutan ini,” kataku, dengan menatap wajah Abah.


Wajah Abah sontak memerah. Emosinya tersulut. Gemeretak suara giginya yang beradu, terdengar kencang. Kedua telapak tangannya, mengepal. Ciri khas seorang jagoan saat amarah mulai merayapi dirinya. 


“Kurang ajar kalau gitu mereka selama ini. Mempermaluin abah aja. Di depan abah, manggut-manggut. Nggak tahunya cuma buat cari selamet badan aja,” ujar abah, dengan nada emosi.     


“Mungkin mereka nggak bermaksud mempermaluin abah. Yang abah perbuat selama ini sudah cukup banyak. Mengajak mereka taubat dan mereka sendiri berjanji tidak berbuat kriminal lagi. Tapi mungkin, hidayah belum sampai ke mereka. Tetep ada keterbatasan kita sebagai makhluk buat ngajak orang ke arah kebaikan itu, abah,” kataku, dengan hati-hati.  


“Iya sih, abah juga paham, adek haji. Setiap kita punya potensi salah dan benar, punya kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan. Terkadang kita taat dan lain waktu, kita alpa. Itulah kenapa Allah perintahin kita untuk saling menasihati,” tutur abah, kali ini dengan suara pelan. 


Ku tatap wajah pria yang sangat disegani oleh seluruh penghuni rutan itu. Dibalik ketegaran jiwanya, ia tetap memiliki sisi sensitifitas seorang manusia. Yang menjadi trenyuh atau bahkan terluka ketika melihat kenyataan berbanding terbalik dari yang diyakini selama ini.  


“Sekarang terserah adek haji aja. Mereka mau diapain. Cuma abah pesen, kalau kemarin kita berbuat kesalahan, hari ini hapuslah dengan berbuat kebaikan. Dan inget, setiap orang bisa sembuh dari lukanya, tapi tidak semua orang bisa berdamai dengan traumanya,” tutur abah, dan kemudian berdiri. Meninggalkan kantin tanpa memberiku kesempatan untuk bersalaman. (bersambung)

LIPSUS