Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 242)

Dibaca : 0
 
Selasa, 30 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


SEPENINGGAL Abah, aku masih berdiri di kantin. Enam anak buah Abah yang duduk di tepian selasar, melihat ke arahku. Ku panggil mereka dengan isyarat tangan. Tidak berselang lama, kami telah duduk kembali di bangku panjang pada bagian sudut belakang kantin.


“Abah tadi kenapa, bang?” tanya Danil, dengan suara penuh khawatir.


Aku pun menceritakan apa yang terjadi. Termasuk penilaianku terhadap mereka yang selama ini menasbihkan diri sebagai anak buah Abah. 


“Kok abang bisa tahu ya, kalau kami sebenernya emang karena takut dan segen aja sama abah, makanya selama ini ikut sama dia,” tutur Iwan, dengan polos.


“Kita ini sama-sama penjahat, cuma beda pilihan ambil dosanya aja, iwan. Aku tahu, kawan-kawan sebenernya masih bingung mau gimana ke depannya. Bener-bener mau taubat atau malah nambah ilmu kriminal selama disini,” sahutku dengan santai.


Serempak keenam anak buah Abah itu menganggukkan kepalanya, diiringi senyuman penuh arti.


“Kata abah kan ada 12 orang yang selama ini dia bina, mana yang enam lainnya,” lanjutku.


“Yang enam itu jadi tamping, bang. Ada yang tamping kebersihan, regis, dan tamping air. Mereka semua satu kamar sama abah. Kalau kami beda kamar,” jelas Danil, yang menjadi juru bicara mereka.


“Oke kalau gitu. Nah, aku mau tanya lagi, sebenernya mau kalian itu apa?” tanyaku, sambil memandang keenam anak buah Abah dengan bergantian.


“Apa ya mau kami ini, bang. Jujur ya, kami sendiri bingung sebenernya,” aku Danil, apa adanya.


“Maksudnya gimana?” tanyaku lagi.


“Kami ini kan ipis, bang. Sudah dua tiga kali keluar-masuk bui, jadi kami paham gimana kondisi rutan atau lapas sekalipun. Kalau ditanya, mau kami apa, susah juga ngomongnya. Karena emang sebenernya kami nggak kepikir apa-apa, kecuali jalani hukuman sampai selesai. Dapet remisi ya syukur, mau jalan kaki tanpa remisi juga, ya dijalan-jalani aja,” sambung Danil, dengan tersenyum kecil.    


“Emang yang selama ini abah lakuin buat kalian apa?” aku bertanya lagi.


“Ya ngajak ngobrol-ngobrol aja, bang. Ngomongin soal perlunya kita tahu agama. Jalanin solat. Ninggalin maksiat dan kejahatan. Yah, berputar-putar soal itulah, bang,” tanggap Iwan, yang diamini lima orang lainnya.


“Kalian pernah diajak ke masjid?” tanyaku, dengan rasa penasaran. Dengan kompak mereka berenam menggelengkan kepalanya. 


“Selain ngobrol soal yang tadi, apa ada kegiatan lain yang kalian kerjain sesuai arahan abah,” kataku lanjut.


“Nggak ada, bang. Paling kami nongkrong di kantin. Dan nanti disuruh deketin siapa gitu, buat bayarin apa yang kami makan,” ujar Iwan.


“O, kayak dulu itu ya. Mau malak aku sama kawan-kawan, pas kami lagi makan,” kataku, menyela.


“Nah, iya kayak yang waktu itu, bang. Untung si Danil ngenalin abang. Kalau nggak, bisa aja ada keributan, karena abang nggak mau bayarin kami,” ucap Iwan, dengan cepat. 


“Oke, aku paham sekarang. Yang aku pengen tahu, siapa yang mau belajar solat. Siapa yang kepikir mau usaha asongan rokok, atau mau jadi tamping. Atau pengen gini-gini aja,” kataku, beberapa saat kemudian. 


“Kalau aku, pengen belajar solat, bang. Anak-anakku sudah besar. Malu kalau keluar nanti, solat aja aku nggak bisa. Gimana mau ngajari mereka,” kata Danil, dengan wajah serius.


“Aku kepengen dagang asongan rokok sebenernya, bang. Cuma nggak ada modal. Padahal kalau aku perhatiin, untungnya gede. Bisa buat makan dan sesekali kirim ke rumah,” Iwan menyela.


“Kalau kalian berempat, mau apa?” tanyaku kepada empat anak buah Abah lainnya. Yang selama kami berbincang, mereka lebih banyak diam. 


“Kalau kami sih, ya mau gini-gini ajalah, bang. Sambil ngelihat perubahan Danil sama Iwan ke depannya kayak mana. Kami kan kena hukuman enam tahun, banyak waktu buat berubah,” ujar Jhon, salah satu dari empat anak buah Abah.


“Jhon, kamu jangan kepedean sama umur. Emang kamu bisa jamin, kalau besok kamu masih hidup. Sekarang waktunya kalau mau berubah, jangan ditunda-tunda,” sahutku dengan nada tinggi.


“Ya sudah, aku dan kawan bertiga ikut aja apa yang diarahin bang Mario. Kami siap nyemplung mau disuruh apapun, asal buat kebaikan pribadi kami,” kata Jhon, menimpali.


“Jadi sepakat aku yang ngarahin ya. Jangan jadi pecundang. Di depanku manggut-manggut, tapi jalaninya nggak dari hati,” kataku, sambil menatap tajam keenam anak buah Abah.


“Siap, bang. Kami ini sudah biasa rasain hidup di neraka dunia, penjara kayak gini. Jadi, kami bukan pecundang. Kalau iya, ya sepakat bener. Kalau nggak, mau diapain juga, ya tetep nggak itulah,” ucap Danil dengan cepat. 


“Oke kalau gitu. Berarti nanti Danil sama Jhon, aku usahain masuk majelis taklim. Iwan sama satu lagi, dagang asongan rokok. Dua lagi jadi tamping. Kasih aku waktu beberapa hari buat ngaturnya ya,” kataku, kemudian.


“Sepakat, bang. Kami ikut perintah abang,” tanggap Iwan. 


“Aku nggak bakal kasih kalian perintah. Kita ini seiring-sejalan. Makanya aku sampein ke kalian langkah pembagiannya. Kalau sepakat, sepakat bener. Inget ya, aku nggak mau kalian jadi pecundang,” lanjutku, dan bergerak meninggalkan kantin.


“Siap, bang!” kata Danil dan berdiri dari kursinya. Mereka berenam menyalamiku sambil tersenyum lega. 


Saat memasuki pintu Blok B, aku melihat pak Anas, pak Waras, juga Asnawi tengah menonton siaran televisi di ruang penghubung dengan kamar-kamar tahanan. Dipundak mereka menggantung kain sarung. Pertanda akan segera ke masjid.   


“Ayo lagi, be. Ambil sarungnya, sebentar lagi dhuhur,” kata Asnawi, begitu melihat aku berjalan melewati mereka.


“Siap, nawi. Ke kamar dulu,” sahutku, meneruskan langkah menuju kamar 20, tempatku.


Selepas aku berwudhu di kamar mandi, Rudy yang telah memakai kain sarung dan kopiah, memandangiku dengan penuh tandatanya.


“Kenapa kamu ngelihat kayak gitu, Rud? Ada yang aneh ya?” tanyaku.


“Apa urusan om sama ipis-ipis tadi di kantin. Kayaknya serius bener. Hati-hati lo, om. Mereka itu begajulan. Hidupnya sudah kebentuk jadi orang kriminal murni,” ujar Rudy, terus menatapku dengan serius.


“Ngobrol-ngobrol aja kok, Rud. Nggak ada yang serius-serius amat. Lagian, jangan terlalu cepet menghakimi orang lain, Rud. Kita nggak tahu takdir orang itu besok seperti apa. Cukup yang nggak kita sukai adalah perbuatannya, bukan orangnya. Kayak kita sudah baik aja,” tuturku, seraya menepuk bahu Rudy.


“Ya maaf, om. Rudy cuma pengen ingetin om aja. Jangan sampai om masuk dalam lingkaran mereka-mereka itu. Semua tahu, mereka tukang palak dan nggak segen-segen main gebuk kalau mau mereka nggak kewujud,” ujar Rudy, dengan suara kalem.


“Iya, om paham kok maksudmu baik, Rud. Terimakasih sudah ingetin om ya. Inshaallah, ke depannya mereka bukan tukang palak sesamanya lagi,” kataku, sambil tersenyum.


Rudy mengernyitkan dahinya. Menandakan ia tengah menelaah perkataanku yang diluar perkiraannya.


“Maksudnya, sekarang mereka sudah jadi anak buah om, gitu ya?” tanya Rudy, dengan mulut menganga. Heran. 


Aku hanya tersenyum, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku mengambil kain sarung dan kupluk. Dan selanjutnya menggandeng Rudy keluar kamar, untuk menuju ke masjid. Pada saat bersamaan, suara adzan terdengar dengan kencangnya. Waktunya solat Dhuhur. (bersambung)  

LIPSUS