Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 243)

Dibaca : 0
 
Rabu, 31 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


SEUSAI mengikuti solat Dhuhur berjamaah, aku menemui ustadz Umar. Sambil duduk di sudut bagian belakang masjid, aku sampaikan mengenai Danil dan Jhon yang ingin menjadi anggota majelis taklim.


“Silahkan saja, pak. Saya dan kawan-kawan, pasti menyambutnya dengan gembira. Berarti Allah telah memberi hidayah kepada mereka. Hanya saja, sebelum bergabung, harus ada izin dari sipir yang bertanggungjawab dalam hal pembinaan rohani. Pak Nasir nama sipir itu,” ujar ustadz Umar, panjang lebar.


“Terimakasih petunjuknya, pak ustadz. Nanti saya bicarakan hal ini dengan pak Nasir. Yang penting, pak ustadz sebagai koordinator majelis taklim sudah berkenan menerima kedua sahabat saya itu,” tanggapku, dengan hati plong.


“Tentu saya dengan senang hati menerima kedua sahabat itu, pak. Harus diakui, di dalam penjara seperti ini, hanya yang dapet hidayah saja yang tergerak untuk belajar dan melaksanakan ajaran agama. Karena itu, saya seneng kalau ada WBP yang mau gabung di majelis taklim. Sebab, saya juga pasti dapet percikan pahala dari hidayah itu,” lanjut ustadz Umar, seraya tersenyum.


Ketika kami masih berbincang, ustadz Umar menunjuk seorang sipir yang baru keluar dari sebuah ruangan, yang berada pada bagian belakang masjid.


“Itu pak Nasir. Bapak temui saja. Kalau beliau setuju, secepatnya akan turun surat dari kepala rutan, dan kedua sahabat bapak pindah ke kamar khusus anggota majelis taklim,” ucap ustadz Umar.


Aku pun berdiri. Mengejar pak Nasir yang akan meninggalkan masjid. Saat ia duduk di tangga masjid untuk memakai sepatu, aku menyapanya.


“Assalamualaikum, pak Nasir. Saya Mario. Mohon waktu sebentar untuk bicara,” kataku, seraya mengulurkan kedua tangan, menyalami sipir berusia sekitar 40 tahun itu.


“Waalaikum salam. O iya, pak Mario. Ngobrol sambil duduk disini aja ya,” sahut sipir Nasir, dengan ramah.


Setelah duduk berdampingan di tangga masjid, aku sampaikan mengenai keinginan Danil dan Jhon untuk menjadi anggota majelis taklim.


“Beneran mereka berdua mau jadi anggota majelis taklim? Nggak salah apa yang pak Mario sampaikan ini?” tanya sipir Nasir, memandangku dengan penuh tandatanya.


“Iya bener, pak. Mereka sampaikan keinginan itu beberapa jam yang lalu,” jawabku, dan secara ringkas menceritakan peristiwa yang terjadi tadi pagi di kantin.


“Luar biasa kalau mereka bener-bener mau jadi anggota majelis taklim, pak. Mereka itu seinget saya, sejak saya tugas disini, sudah tiga kali ini masuk sini. Jangankan solat, ke masjid aja nggak pernah. Kok sekarang tiba-tiba taubat gini, kan wajar saja kalau saya pertanyakan,” sipir Nasir melanjutkan perkataannya.


“Mungkin memang baru sekarang mereka dapet hidayahnya, pak. Saya hanya memfasilitasi keinginan mereka saja. Atau ada baiknya, kalau saya ajak mereka menghadap pak Nasir,” kataku.


“Boleh juga, pak. Selesai solat Ashar, kita ketemu disini ya. Ajak Danil sama Jhon,” ujar sipir Nasir, dan setelah bersalaman, ia meninggalkan kompleks masjid untuk kembali ke kantor rutan.


Sesampai di kamar dan setelah mengikuti apel siang, aku mengajak Rudy menemui Danil dan Jhon di Blok A. Mereka bersama Iwan dan tiga lainnya anak buah Abah, tinggal di kamar 23. Namun, Rudy menolak ajakanku. Dengan alasan belum bersih-bersih kamar. 


Akhirnya, aku berjalan sendirian menuju ke tempat Danil dan Jhon. Saat berada di selasar samping pos penjagaan dalam, sebuah suara memanggilku. Aku pun masuk ke pos jaga. Ternyata, komandan pengamanan rutan yang sejak awal aku masuk rutan telah membantuku, yang memanggil.


“Mau kemana, pak?” tanya dia.


“Ke Blok A. Ke kamar 23. Mau ketemu Danil sama Jhon,” kataku.


“Danil sama Jhon? Ada masalah apa, pak,” ucap komandan pengamanan rutan itu, dengan wajah serius.


“Ngobrol aja, dan. Mereka kan mau masuk majelis taklim. Tadi saya sudah bicara dengan ustadz Umar, juga pak Nasir. Prinsipnya setuju. Tapi pak Nasir mau ketemu dulu dengan mereka, sore nanti,” jawabku, mengurai.


“Apa? Mau jadi anggota majelis taklim si Danil sama Jhon? Nggak salah denger saya, pak,” ujar komandan pengamanan rutan, menyela dengan cepat. Tampak di wajahnya ada keheranan.


“Iya, tadi pagi mereka bilang ke saya begitu, dan. Maka, saya bela-belain bicara sama ustadz Umar dan pak Nasir,” jawabku, dengan tegas.


“Jangan-jangan, mereka itu ngerjain pak Mario aja. Gini ajalah. Saya panggil Danil sama Jhon kesini. Kita ngobrol disini,” tutur komandan, dan memerintahkan seorang sipir untuk menyusul dan membawa Danil serta Jhon ke pos penjagaan dalam.


Sekitar 10 menit kemudian, Danil dan Jhon masuk ke ruang pos penjagaan dalam. Keduanya tampak terkejut melihat aku berada di pos tersebut. Namun, dengan cepat, keduanya bisa menetralkan kembali keterkejutannya, dan menyalamiku dengan kedua tangannya.


“Ada perintah, dan?” kata Danil kepada komandan pengamanan, setelah bersama Jhon duduk di kursi plastik yang ada di pos penjagaan.


“Mau tanya aja. Beneran apa kalian ini mau jadi anggota majelis taklim? Barusan pak Mario cerita. Tadinya, dia mau ke kamar kalian, tapi aku juga kepengen denger, makanya kalian berdua dipanggil kesini,” sahut komandan pengamanan rutan, dengan suara kalem. 


“Iya, bener, dan. Pagi tadi aku sudah bilang ke bang Mario, kalau aku pengen jadi anggota majelis taklim. Pengen belajar agama, terutama solat,” ucap Danil dengan suara tegas.


“Kalau kamu, Jhon?” tanya komandan pengamanan. 


“Sebenernya, aku juga kepengen bisa ikut jadi anggota majelis taklim, dan. Cuma tadi waktu kami ngobrol di kantin, nggak aku sampein ke bang Mario. Malahan bang Mario yang nyuruh aku, ya sudah. Karena emang sudah ada kepengen mau kesitu, aku setuju,” jawab Jhon, dengan santai.


“Jadi mantep bener pengen jadi anggota majelis taklim?” tanya komandan, lagi.


“Ya benerlah, dan. Komandan tahu akulah, bukan orang yang cucuk-cabut kalau sudah ngomong,” sahut Danil, dengan cepat. 


“Bukan nggak percaya sama kalian, cuma saya nggak mau kalian ngerjain pak Mario. Dia ini kawan deket saya. Jangan dia sudah usaha sana-sini buat kalian jadi anggota majelis taklim, kalian malah ngebuat dia malu,” kata komandan pengamanan, sambil menatap Danil dan Jhon.


“Nggak mungkin kami buat malu bang Mario, dan. Dia ini bos kami sekarang. Abah sudah nyerahin ke bang Mario buat ngedidik kami,” Jhon yang menyahut.


“O gitu, jadi apa ceritanya kok sudah geser-menggeser posisi gitu,” kata komandan, menyela dengan cepat.


“Bukan geser-menggeser kok, dan. Abah suruh saya ngelanjutin ngebina kawan-kawan kita ini. Sebentar lagi, abah kan mau bebas. Beliau nggak mau, anak buahnya lepas kendali lagi, ditunjuklah saya buat nerusinnya,” ujarku, memberi penjelasan.


“Jadi, memang abah yang nunjuk pak Mario gantiinnya?” tanya komandan pengamanan rutan, sambil memandangku.


“Iya, abah langsung yang nunjuk, disaksiin kawan-kawan ini juga,” jawabku.


“Bagus kalau gitu. Terus gimana pola ngebina mereka, kalau saya boleh tahu,” ucap komandan pengamanan, lagi.


Aku sampaikan hasil pembicaraan kami pagi tadi di kantin. Karena enam anak buah Abah telah menjadi tamping, maka yang enam lainnya dibagi tugas. Yang dua masuk anggota majelis taklim, dua akan diusahakan untuk berdagang asongan rokok, dan dua lainnya menjadi tamping.


“Bagus juga pola itu. Cuma, nggak boleh malak-malak lagi kan, pak,” kata komandan pengamanan rutan, kembali menatapku.


“Kalau itu sudah pasti, dan. Walau nggak secara langsung saya sampein, tapi nggak mungkinlah sudah jadi anggota majelis taklim, sudah dagang atau jadi tamping, masih malakin sesama penghuni rutan,” jawabku, seraya tersenyum.


“Gimana kamu, Danil sama Jhon. Masih mau malakin lagi nggak?” tanya komandan pengamanan.


“Ya nggaklah, dan. Justru mau masuk majelis taklim itu buat perbaiki diri, masak masih mau malak-malak lagi,” tanggap Danil, seraya tersenyum penuh arti.


Tiba-tiba komandan pengamanan rutan berdiri dari kursinya. Menyalami dan memeluk Danil dan Jhon sambil menepuk-nepuk punggung mereka. Ada rasa bangga disana. Dan setelahnya, ia menyalami juga memelukku dengan erat. (bersambung)

LIPSUS