Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 244)

Dibaca : 0
 
Kamis, 01 September 2022


Oleh, Dalem Tehang


SAYA seneng dengan keikhlasan pak Mario membantu kawan-kawan ini nemuin jalur lurusnya. Ada yang bilang ke saya, kalau orang ikhlas itu seperti orang yang berjalan di atas pasir. Langkahnya tidak terdengar, tetapi jejaknya terlihat,” ucap komandan pengamanan rutan, sambil menatapku dalam-dalam.


Aku hanya tersenyum mendengar perkataan komandan pengamanan rutan yang memang dikenal sangat dekat dengan penghuni rutan. 


“Kalian bersyukur ditemuin sama pak Mario. Tapi inget, wajahnya yang selalu tersenyum itu, bukan berarti kesedihannya telah hilang, tapi karena dia mampu ngadepin segala rasa sedih yang dialaminya,” kata komandan pengamanan lagi, seraya menatap Danil dan Jhon.


“Ngomong-ngomong soal soal senyum, aku inget perkataan Gus Mus, dan. Kata beliau: wajah terindahmu adalah saat engkau tersenyum, dan senyum terindahmu ialah yang terpantul dari hatimu yang damai dan tulus,” ucap Danil, tiba-tiba, sambil tersenyum lebar.  


“Wah, hebat juga rupanya kamu, Danil. Nggak nyangka, ipis kayak kamu bisa inget omongan ulama besar sekelas Gus Mus. Angkat topi sekarang buatmu,” sahut komandan pengamanan yang spontan memberi hormat ke arah Danil.


Pria yang dikenal sebagai ipis –residivis- itu, tertawa ngakak. Dan mendekat ke posisi komandan pengamanan rutan. Menyalami dengan kedua tangannya seraya membungkukkan badan. Penuh penghormatan. 


Suasana pos penjagaan dalam yang biasanya kaku dan seram, berubah penuh keceriaan dan kebersamaan. Seorang tamping diperintahkan oleh komandan pengamanan untuk membuatkan kami minuman kopi hangat, dan membeli panganan ringan ke kantin. Sebuah suguhan ala rutan dengan wujud persamaan kemanusiaan. 


“Nah, ngomong-ngomong, siapa yang mau ngurus dua orang buat jadi tamping itu, pak?” tanya komandan pengamanan kepadaku, beberapa saat kemudian.


“Itu dia, dan. Saya memang pengen minta bantu komandan soal itu. Nggak mungkin saya bergerak sendiri kalau tidak diback-up komandan,” sahutku, seraya tersenyum.


“Oke, saya siap bantu. Nanti kasih aja namanya. Tapi jangan milih jadi tamping apa ya? Yang penting jadi tamping,” ucap sang komandan dengan cepat.


“Siap, inshaallah sore nanti namanya langsung saya serahkan ke komandan,” jawabku.


“Kalau yang mau asongan rokok, gimana?” tanyanya lagi.


“Masih saya pikirin siapa pemodalnya, dan. Inshaallah sehari dua ini sudah ketemu jalurnya,” kataku.


“Mantap kalau gitu, pak. Saya suka pola pembinaan yang terukur kayak gini. Apalagi pak Mario mau terus jalin komunikasi sama kawan-kawan sipir, pasti tetep ada kemudahan,” tuturnya lanjut.


“Inshaallah saya terus jaga komunikasi dan silaturahmi dengan kawan-kawan sipir, dan. Karena saya tahu persis peran dan fungsi kawan-kawan sipir di rutan ini,” ucapku, menanggapi.


Setelah minuman kopi panas dan panganan kecil ditaruh di meja, kami pun menikmatinya bersama-sama. Danil dan Jhon yang semula agak kaku, kini telah menjadi lebih rileks.


Sambil mengunyah tahu isi yang dibeli dari kantin, aku sampaikan kepada Danil dan Jhon untuk nanti solat Ashar berjamaah dan setelahnya bertemu dengan sipir Nasir. 


“Aku nggak punya kain sarung, bang. Boleh pakai celana panjang aja kan,” ucap Danil.


“Boleh aja, nggak masalah. Yang penting menutup aurat. Jangan pula pakai kaos tanpa lengan, nggak sopan itu,” sahutku, dengan tersenyum.


Setelah berbincang beberapa saat dan menghabiskan kopi panasnya, Danil dan Jhon berpamitan. Kembali ke kamarnya.


“Ngapain buru-buru? Mumpung lagi enak ngobrol, nanti juga nggak apa-apa,” kata komandan pengamanan.


“Mau buka-buka buku soal cara wudhu dan solat dulu ini, dan. Kan nggak lucu kalau ke masjid tapi nggak bener cara wudhunya, juga solatnya,” kata Jhon, terus terang.


“Subhanallah. Kalian ini emang kelewatan. Sudah setua ini, cara wudhu sama solat aja nggak tahu,” tanggap komandan, dengan cepat. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.


“Sekalian mandi wajib. Mandi diniatin untuk solat taubat. Biar lebih afdhol,” kataku, menyela.


“Siap, bang. Nanti aku cari tatacaranya sama Jhon di buku yang ada di kamar,” sahut Danil. 


Ketika Danil dan Jhon sudah meninggalkan pos penjagaan, aku sampaikan kepada komandan tentang rencana panjang ke depan untuk keenam anak buah Abah. Yang terfokus pada perbaikan diri dengan mendekat kepada Ilahi.


“Kalau sudah dijelasin begini, paham saya, pak. Sebenernya, saya juga sempet heran. Kok pak Mario cuma nyuruh mereka ke majelis taklim, dagang asongan rokok, dan tamping. Mana pembinaan mentalnya yang konkret. Mudah-mudahan aja semua usaha ini jadi ibadah ya, pak. Nyenengin orang aja kita dapet pahala, apalagi bisa ngajak orang ke jalan Tuhan,” tanggap komandan dengan panjang lebar. 


“Inshaallah bisa bawa barokah buat kita semua, dan. Utamanya buat Danil dan kawan-kawan. Hidup ini kan memang proses belajar,” kataku.


“Cocok itu, pak. Sepakat saya. Hidup ini memang belajar. Mau nggak mau, kita akan selalu belajar, baik dengan kerelaan ataupun dipaksa oleh lingkungan. Dan yang jelas, proses ini menuju ke satu tujuan, yaitu membuat diri kita jadi lebih baik,” sahut sang komandan.


“Kenapa ya kehidupan ini selalu butuh proses, dan. Padahal, kalau Allah berkehendak, apa pun bisa Dia berikan untuk makhluk-Nya kapan saja,” ucapku, menyela.


“Kalau nurut saya, karena di setiap proses itu ada pembelajaran, pak. Kalau dipercepat, Allah ingin kita bersyukur. Kalau diperlambat, Allah ingin kita bersabar. Jadi, proses itu sendiri adalah satu lelakon keabadian buat makhluk. Istilah sederhananya, nggak ada yang ujug-ujug atau instan,” kata dia, dengan serius.


Perbincangan kami terhenti saat pintu samping pos penjagaan dibuka. Pak Hadi berdiri disana sambil melepas senyumnya.


“Hayo, lagi ada permufakatan jahat apa nih komandan sama pak Mario,” kata pak Hadi, dilanjutkan dengan tertawa. Ngakak. 


Kami pun tertawa dengan candaan pak Hadi. Pria low profile yang dikenal bergaya familiar dan piawai bermain catur ini.


“Lagi ngerancang strategi, gimana ngabisin pion-pion pak Hadi kalau main catur,” sahutku, dan berdiri menyalami pria seumuran denganku itu.


Sambil tetap tertawa, pak Hadi pun menerima uluran tanganku dengan hangat. Dan menyalami komandan pengamanan rutan. Baru ia duduk di kursi plastik. Berhadapan dengan kami.


“Langsung kita main?” tanya komandan kepada pak Hadi.


“Sebentar, dan. Ngatur napas dulu. Lagian, ada pak Mario. Harus hati-hati kita mainnya, karena diem-diem ternyata dia ini pemerhati ulung. Gerakan catur aja jadi perhatian seriusnya,” sahut pak Hadi, dan kembali melepas senyumnya.


“Emang bener gitu, pak. Pemerhati ulung,” kata komandan sambil menatapku.


“Kebetulan saja saya merhatiin gaya main caturnya pak Hadi, dan. Dia ini ngejaga bener pionnya jangan termakan lawan. Saking berharganya itu pion, sampai-sampai lebih baik kehilangan benteng,” jelasku, seraya tersenyum.


“O iya, bener itu, pak. Saya juga paham itu. Ada makna yang dia sampaikan lewat gayanya main catur,” sahut komandan.


Mendengar perkataan kami, pak Hadi hanya tersenyum. Wajahnya tetap teduh. Tanpa ekspresi apapun. Yang menurut penilaianku, gaya semacam ini adalah pertanda ia merupakan orang berjiwa besar, yang memiliki dua hati. Satu hati untuk menangis, satu hati lagi untuk bersabar. (bersambung)

LIPSUS