Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 245)

Dibaca : 0
 
Jumat, 02 September 2022


Oleh, Dalem Tehang


KENAPA menjadikan pion sebagai filosofi pribadi ya, pak?” tanyaku, beberapa saat kemudian kepada pak Hadi.


“Aku suka sama hal-hal yang sederhana, karena pikiran ini sudah begitu rumit. Nah, aku hobi main catur, akhirnya pion itulah yang jadi pilihanku,” kata pak Hadi, tetap dengan gayanya yang khas; kalem.


Tiba-tiba seorang sipir yang sebelumnya duduk di teras depan pos penjagaan, masuk ke ruangan. Memberitahu komandan, ada lima orang tahanan baru memasuki area steril, didampingi seorang tamping regis. Tiga orang berusia diatas 40 tahunan, dua lagi masih dibawah 30 tahun.


Bercelana pendek, tanpa memakai kaos alias bertelanjang dada, mereka berjalan lunglai sambil menenteng kantong plastik berisi barang bawaan masing-masing.


Komandan pengamanan keluar ruangan. Berdiri di teras depan. Memandang dengan tajam kelima tahanan baru yang tengah berjalan menuju ke arahnya. Setelah tamping yang membawa mereka memberikan laporan tertulis tentang tahanan baru, komandan meminta mereka masuk ke ruangan.


Terperangah aku saat melihat dua dari lima tahanan baru tersebut. Ternyata mereka adalah Hendri dan Agus. Dua pria berusia diatas 40 tahun yang pernah satu kamar denganku saat menjadi tahanan di polres.


Spontan aku berdiri dan menyalami keduanya. Wajah Hendri dan Agus yang sebelumnya penuh gurat kekhawatiran, perlahan berubah. Kembali tenang.


“Babe, Alhamdulillah kita ketemu lagi disini,” ucap Hendri dan memelukku dengan erat.


Pria berpostur gagah yang terkait kasus perampokan spesialis pecah kaca dan sempat menjadi buronan polisi selama beberapa tahun ini, tidak kuasa menahan keharuan. Ia menangis. Tanpa suara. Hanya air menetes dari kedua matanya.


Agus pun memelukku. Pria berstatus ASN yang terjerat kasus tabrak lari ini, juga meneteskan airmatanya. Cukup lama ia memelukku. Sampai kemudian komandan berdehem. Memberi isyarat untuk tahanan baru bersiap mengikuti proses selanjutnya.


“Mereka kawan pak Mario?” tanya komandan pengamanan rutan.


“Iya, dan. Mereka ini sekamar waktu saya masih di polres. Yang satu namanya Hendri, satunya lagi Agus,” sahutku.


“Kami anak buah babe, dan. Beliau kepala kamar sekaligus pemimpin kami,” kata Hendri dengan tegas.


“Oke. Nanti setelah didata dan dilakukan pemeriksaan ulang, kalian semua masuk ke sel AO,” ujar komandan, seraya memerintahkan anak buahnya untuk melakukan pengecekan ulang.


Sekira 20 menit kemudian, kelima tahanan baru telah siap dimasukkan ke sel AO. Komandan meminta sipir yang mengawal mereka untuk menempatkan Hendri dan Agus di sel 1. Sedang tiga lainnya di sel 2.


“Kalau pak Mario mau temani mereka masuk ke AO, silahkan,” kata komandan, beberapa saat kemudian.


Aku pandangi wajah Hendri dan Agus. Dari sorot matanya, aku memahami bila mereka membutuhkan kehadiranku. Minimal untuk menguatkan jiwa mereka, yang tampak sangat down menjalani proses penahanan di rutan, setelah perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan.


“Izin temani mereka dulu ya, dan,” ujarku, sambil membungkukkan badan ke arah komandan. Pria berbadan atletis yang ramah itu, menganggukkan kepalanya.


Sambil berjalan menyelusuri selasar untuk menuju sel AO di bagian sudut rutan, aku menepuk-nepuk bahu Hendri dan Agus dengan bergantian. Memasukkan sentuhan ketenangan bagi mereka.


Ketika melewati depan pintu Blok B, aku melihat Udin. Tamping kebersihan yang juga berdagang asongan rokok. Aku minta dua bungkus rokok, dan memberikannya kepada Hendri dan Agus.


“Ya Allah, be. Malu aku selalu ngerepotin babe,” kata Agus, seraya mencium tanganku.


“Santai aja. Nanti aku kirim makanan buat kalian juga. Yang tenang ya. Inget, ini semua ujian buat kita tambah kuat. Apapun yang terjadi, hadapi dengan tenang,” kataku.


Sesampai di pos jaga Blok C yang juga pos sipir untuk sel khusus alias AO, ternyata sipir Almika yang bertugas. Aku menitipkan Hendri dan Agus kepadanya.


“Kawan om ya mereka ini. Perintah komandan masuk sel 1,” kata Almika.


“Iya, kawan om sejak sama-sama di polres. Bener, komandan minta mereka ditaruh di sel 1,” jawabku.


“Siap, om. Sel 1 isinya memang cuma 18 orang. Berarti sekarang jadi 20 orang. Kalau sel 2, ditambah tiga orang ini, isinya jadi 28 orang,” jelas Almika.


Seusai memeriksa data lima tahanan yang baru masuk dari berkas yang dibawa tamping regis, Almika membawa mereka ke arah sel AO. Setelah membuka gembok pintu utamanya, sipir muda usia itu membuka gembok kamar 1. Hendri dan Agus diperintahkan segera masuk. Dilanjutkan dengan tiga lainnya dimasukkan ke sel 2.


Aku langsung ke kantin. Memesan dua bungkus nasi berlauk telor sambel dan dua potong tempe goreng. Juga dua botol air mineral serta kerupuk. Aku bungkuskan juga makanan ringan siomay dan sebotol air mineral serta satu bungkus rokok.


Ku temui Almika yang sudah kembali di pos jaga Blok C. Aku titipkan nasi bungkus berikut dua botol air mineral untuk Hendri dan Agus, sedangkan siomay dan rokok untuk dia.


“Aih, ngapain om beliin aku juga. Baru aja aku ini makan, om,” kata Almika.


“Sesekali beliin kamu kan boleh sih, Mika. Masak kamu aja yang selalu kasih om. Sekadar buat ganjel perut aja siomay ini,” jawabku, sambil menaruh bungkusan makanan di mejanya.


Setelah berpamitan kepada Almika, aku kembali ke pos penjagaan dalam. Komandan dan pak Hadi masih asyik bercengkrama. Sekilas aku ceritakan kasus yang melilit Hendri dan Agus, termasuk karakter mereka selama bersamaku di polres.


“Jadi Agus itu sengaja nabrak orang yang buat dia sama istrinya jatuh dari motor ya, pak,” tanggap komandan.


“Iya, dan. Dia sakit hati sama kelakuan orang yang kebut-kebutan liar itu. Yang ngebuat istrinya sampai masuk sakit. Tragisnya, orang yang dia tabrak itu, akhirnya meninggal. Ya, mau nggak mau dia terancam pasal berlapis. Pasal 340 subsider 338. Pasal pembunuhan berencana. Paling ringan, belasan tahun dia ancaman hukumannya,” ujarku, mengurai.


“Itulah misteri cerita hidup manusia ya. Sesuatu yang kelihatannya diawali dengan perbuatan sepele, bisa berujung fatal. Ayahku dulu pesen, jangan kau mengaku menang, kalau belum bisa kalahkan egomu sendiri. Jangan ngaku hebat, kalau masih ngerendahin orang lain, dan jangan ngaku pinter, kalau belum bisa ngelihat kekurangan diri sendiri,” kata pak Hadi, menimpali.


“Dalem makna pesen ayahnya itu, pak Hadi. Memang petuah-petuah orangtua kita itu sangat sederhana, tapi tetep ngikuti zaman. Cuma seringkali, kita nggak mengambil maknanya dengan tuntas dan praktekin dalam kehidupan. Akhirnya, kita malah tercerabut dari akar kebenaran,” tanggap komandan.


Dari balik jendela berkaca di dalam ruangan pos penjagaan dalam, aku melihat belasan anggota majelis taklim sudah berjalan menuju masjid. Segera aku berpamitan untuk kembali ke kamar. Untuk bersiap-siap mengikuti jamaahan solat Ashar, serta mempertemukan Danil dan Jhon dengan sipir Nasir.


“Nanti setelah membawa Danil dan Jhon ketemu pak Nasir, kesini lagi ya, pak. Ada yang mau saya pesenin sama mereka berdua,” ujar komandan, ketika aku akan meninggalkan pos penjagaan.


“Siap, dan,” sahutku, pendek.


“Mau pesenin apa emangnya, dan?” tanya pak Hadi.


“Cuma mau sampein kata-kata aja, pak. Kalau kalian bener-bener mau belajar soal agama, belajarlah juga tentang manusia. Supaya kalian nggak cuma pinter ibadah, tapi juga pandai ngehargai orang lain,” jelas komandan, sambil melepas senyum simpatiknya. (bersambung)

LIPSUS