Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 246)

Dibaca : 0
 
Sabtu, 03 September 2022

 

Oleh, Dalem Tehang


SAAT memasuki Blok B, aku melihat beberapa orang duduk di kursi taman depan kamarku. Berbincang penuh keriangan. Tanpa melihat ke arah mereka yang sedang kongkow, aku masuk ke kamar.

“Nah, itu dia babe. Darimana, be,” sebuah suara dari mereka yang sedang duduk di taman depan kamar, terdengar menyapaku. 

Spontan aku menengokkan wajah. Rupanya Aris, Dika, dan Iyos yang sedang kongkow di taman. Juga ada Asnawi, dan tiga tahanan lain.

“Rupanya kalian yang sudah nguasai semua kursi di taman ini ya. Pada ngapain kumpul disini,” kataku, dan menghentikan langkah tepat di depan pintu kamar.

“Kami nyariin babe tadi. Karena kata Rudy, babe nggak ada di kamar, kami nongkrong disini. Sejauh-jauhnya babe main, kalau mau waktunya solat, pasti balik ke kamar. Jadi kami tunggu aja disini,” kata Aris.

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan tersebut. Aris dan kawan-kawan memang seringkali mencariku. Bukan karena ada suatu keperluan, namun sekadar untuk berbincang ringan, merangkai keceriaan meningkahi kepenatan hidup di rutan, dan bersama-sama menuju rumah Allah saat waktu bersujud telah tiba.

“Aku ambil sarung dulu ya,” kataku, dan masuk ke dalam kamar. 

Seusai berwudhu dan berganti pakaian, aku akan keluar kamar. Tiba-tiba Danil dan Jhon telah berdiri di pintu kamarku. Keduanya memakai kemeja, berkopiah dan bersarung.

“Keren kalian ini. Sudah kayak santri beneran,” kataku melihat tampilan kedua ipis yang selama ini dikenal sebagai tukang palak itu. 


“Babe ini malah ngehina lo, bukannya seneng ngelihat kami bergaya kayak gini,” ujar Danil, merajuk.


“Aku nggak ngehinalah, Danil. Justru nyebut kalian kayak santri itu, karena aku bangga dan seneng ngelihat kalian berdua tampil kayak gini,” sahutku dengan cepat. 


Aku, Danil, dan Jhon berbincang di depan kamar, sambil tetap berdiri. Sekilas aku melihat tatapan Aris, Dika, Iyos, Asnawi dan beberapa orang lainnya tampak penuh pertanyaan. Tepatnya heran dengan penampilan Danil dan Jhon.


“Ayo kita ke masjid. Mumpung belum adzan, kita sempetin solat sunah dulu,” kataku mengajak semua kawan yang ada di depan kamarku. 


Kami berjalan beriringan. Aku mengenalkan Danil dan Jhon kepada Aris, Dika, Iyos dan beberapa tahanan lain. Meski aku tahu, sebenarnya mereka sudah mengenal nama Danil dan Jhon, namun belum pernah berkenalan secara langsung.  


Beberapa tahanan yang sedang duduk di depan pintu masuk Blok B, tampak mengernyitkan dahinya melihat Danil dan Jhon ada di dalam barisan kami yang akan ke masjid. 


“Hei, Danil. Nggak salah nih. Sudah taubat ya,” celetuk seorang tahanan yang sedang bercengkrama di selasar.


Danil tampak akan bergerak mendekati orang tersebut. Kelihatan ia tidak suka dengan celetukan itu. Namun, dengan gerak cepat, aku pegang tangannya. Melalui isyarat gelengan kepala, aku terus pegang tangannya untuk meneruskan langkah.


“Ngeselin omongan anak itu, bang. Pengen bener ngehantem mulut comelnya,” kata Danil, setengah berbisik.


“Omongan kayak gitu, bagian dari ujian ringan buat kita-kita yang berniat perbaiki diri, Danil. Nggak usah ditanggepi. Kasih senyum aja,” sahutku.


“Masak orang ngecilin kita kayak gitu malah disenyumin sih, bang. Yang bener aja,” Danil menyela. 


“Kita kan niatnya mau ngadep Sang Pencipta. Orang yang kamu anggep ngecilin itu juga makhluk, sama kayak kita ini. Ngapain jadi ngerusak kebersihan niat cuma gara-gara sesama makhluk. Inget, omongan kayak gitu ujian buat kita. Mantepin aja hati dengan sabar, dan bertekad kita harus lulus dari ujian,” kataku, menyemangati. 


Danil tidak bicara lagi. Tampak mulutnya terus berkomat-kamit. Ada sebuah kalimat yang tampaknya terus ia ucapkan. Tanpa suara, namun bersumber dari jiwa.


“Aku baca istighfar aja, bang. Cuma itu yang aku tahu,” ucap Danil dengan pelan.


“Alhamdulillah. Sudah bener itu, Danil. Istighfar itu mampu membelah langit buat kita mendapat ampunan. Terus aja baca. Nggak perlu bersuara, yang penting disampein sepenuh kesadaran jiwa,” tanggapku, seraya memandang wajahnya dan tersenyum.


Sesampai di masjid, kami mencari tempat masing-masing untuk menjalankan ibadah. Solat Ashar petang itu cukup padat dengan jamaah. Selain puluhan tahanan yang menjadi anggota majelis taklim, juga banyak WBP yang mengikuti prosesi persujudan hamba kepada Sang Khaliq, pun belasan sipir dan petugas rutan.       


Seusai solat dan berdoa, aku ajak Danil dan Jhon duduk di teras masjid. Menunggu sipir Nasir yang masih berada di dalam masjid. Sekira 20 menit kemudian, petugas penanggungjawab pembinan kerohanian bagi WBP itu keluar.


“Assalamualaikum, pak. Sesuai perintah, ini saya ajak Danil dan Jhon solat berjamaah untuk selanjutnya menghadap,” kataku, seraya menyalami sipir Nasir.      


“Waalaikum salam, pak Mario. Alhamdulillah, akhirnya Danil dan Jhon dateng juga ke masjid. Syukuri hidayah Allah ini,” sahut pak Nasir, dan menyalamiku juga Danil dan Jhon.


Sipir Nasir mengajak kami ke sebuah ruangan di bagian samping masjid. Ruangan ini sering digunakan koordinator majelis taklim untuk mengadakan rapat terkait agenda-agenda pembinaan rohani para WBP, juga tempat istirahatnya. 


“Pak Mario sudah cerita soal keinginan Danil dan Jhon yang ingin jadi anggota majelis taklim. Saya perlu ketemu, untuk mendengar langsung keinginan dan niat kalian,” kata pak Nasir setelah kami berempat duduk di lantai. 


“Iya, bener, dan. Aku dan Jhon sudah berniat untuk perbaiki diri. Satu-satunya jalan, ya dengan jadi anggota majelis taklim itulah. Alhamdulillah, bang Mario memberi kami dorongan,” jawab Danil dengan suara tegas. 


“Kalau memang kalian sudah punya niat begitu, saya minta kalian baca bismillah dan dua kalimat syahadat,” ujar sipir Nasir.


Dengan bersamaan, Danil dan Jhon memenuhi permintaan sipir Nasir. Dengan suara lantang penuh ketegasan sikap, kedua pria yang dikenal sebagai ipis itu, membaca basmallah dan dua kalimah syahadat. 


Suasana ruang pertemuan kami menjadi mencekam. Tanpa terasa, aku dan sipir Nasir menitikkan air mata karena haru dengan prosesi “peng-Islam-an” ini. Mendadak, aku teringat pesan seorang sahabat, mengutip perkataan Tao Te Ching: yang tinggi menjadi rendah untuk menyatukan, yang rendah akan tetap pada posisinya untuk bergabung dan melayani. Seperti laut yang menjadi muara jutaan sungai karena terampil dan lebih rendah. (bersambung)

LIPSUS