Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 247)

Dibaca : 0
 
Minggu, 04 September 2022


Oleh, Dalem Tehang


ALHAMDULILLAH. Saya hanya minta, kalian bener-bener dengan niat memperbaiki diri ini. Karena kalian akan hadapi banyak ujian, gangguan, bahkan mungkin ejekan-ejekan dari sekeliling,” kata pak Nasir, dengan suara tenang.


“Siap, dan. Inshaallah, kami siap hadapi ujian apapun. Kami cuma pengen berubah aja. Jadi hamba Tuhan yang baik,” jawab Jhon. Suaranya bergetar hebat.


“Saya percaya, inshaallah kalian kuat. Karena kalian memang orang-orang tangguh. Tapi perlu kalian tetep inget, dibalik kata istiqomah itu, ada perjuangan yang kuat, pengorbanan yang banyak, dan doa yang tidak pernah berhenti,” lanjut sipir Nasir.   


“Inshaallah kami kuat, dan. Mohon terus kami dibimbing. Kami ingin berubah karena bener-bener sadar banyaknya dosa kami. Kami pengen, di sisa umur ini bisa dapet pengampunan dan keridhoan Allah,” kata Jhon, lagi.


“Saya bangga denger kesungguhan kalian ini. Dan memang, siapa yang bisa mengakui dan menerima kekurangan serta dosa-dosanya, sebenernya orang itu baru saja menambah satu kelebihan pada dirinya sendiri,” tanggap sipir Nasir. 


Pada saat bersamaan, ustadz Umar masuk ke ruangan tempat kami mengadakan pertemuan. Sipir Nasir langsung mengenalkan Danil dan Jhon kepada koordinator majelis taklim tersebut.


“Alhamdulillah. Saya dan sahabat-sahabat di majelis taklim menerima kalian dengan hati senang dan bahagia. Kalian adalah orang-orang yang dipilih Allah untuk mendapat hidayah-Nya,” ucap ustadz Umar, dengan tersenyum ramah.


“Oke, sore ini juga saya akan melaporkan kepada kepala rutan. Inshaallah, beliau segera menerima keinginan kalian untuk menjadi anggota majelis taklim. Kalau nanti kepala rutan langsung acc, berarti malem nanti kalian harus sudah pindah ke kamar khusus majelis taklim,” tutur sipir Nasir.


“Siap, dan. Mohon betul bantuannya. Inshaallah, aku dan Jhon bener-bener bisa merubah diri dan tidak sia-siain hidayah ini,” sahut Danil, dengan suara haru.


Setelah bersalaman, pertemuan kami pun selesai. Sipir Nasir bergegas kembali ke kantor rutan, ustadz Umar masuk ke dalam masjid untuk mengajar anggota majelis taklim memahami makna yang terkandung di dalam surat Al-Waqiah. 


“Kita kayak mana, bang?” tanya Jhon, saat kami bertiga berjalan meninggalkan masjid. 


“Kalian siap-siap aja. Rapihkan pakaian dan satukan barang yang perlu dibawa. Kalau feelingku, malem nanti kalian bakal pindah ke kamar majelis taklim. Tapi, nggak usah ngomong apapun sama kawan-kawan di kamar. Yang penting, terus mantepin niat, terus baca istighfar, dan berserah total kepada kehendak-Nya, apapun juga yang terjadi nanti,” kataku, panjang lebar.


“Siap, bang. Terimakasih banyak sudah bawa kami masuk ke dunia lain kayak gini,” tutur Jhon sambil memelukku.


“Santai aja, Jhon. Semua atas kehendak Sang Pengatur. Berterimakasihlah terus-menerus kepada Dia Yang Maha Perkasa. Bukan kepada sesama makhluk,” sahutku.


Aku mengajak mereka ke pos penjagaan dalam. Menemui komandan pengamanan. Saat kami masuk ruangan, ia tengah konsentrasi bermain catur dengan pak Hadi. Melihat aku, Danil, dan Jhon datang, ia menghentikan permainan olah otak tersebut, yang semata-mata hanya untuk mengatasi kejenuhannya.


“Sudah ketemu dengan pak Nasir ya. Apa kata dia,” kata komandan.


Dengan singkat, aku sampaikan apa yang terjadi beberapa saat yang lalu di ruangan samping masjid. Termasuk kesungguhan sipir Nasir untuk memperjuangkan niat Danil dan Jhon kepada kepala rutan.


“Syukur kalau gitu. Aku cuma mau pesen sama Danil dan Jhon. Belajar agama itu memang sangat penting, tapi yang lebih penting lagi ngewujudin ajaran tersebut dengan ngehargai sesama manusia. Jangan lagi nyusahin orang lain. Dan hargai orang yang membencimu. Karena sebenernya, diem-diem dia itu penggemar yang rela ngabisin waktunya hanya buat ngelihat setiap kesalahanmu. Pahami aja yang aku sampein, nggak usah dijawab,” kata komandan, dengan panjang lebar.


Dan setelahnya, ia menyalami Danil serta Jhon dengan wajah ceria penuh kebahagiaan. Seusai itu, kami keluar ruangan pos penjagaan dalam. Kami pun berpisah. Aku berjalan ke pintu utama Blok B untuk menuju ke kamar selku, sedangkan Danil dan Jhon meneruskan langkah menuju Blok A, untuk kembali ke kamarnya. Kamar 23. 


Sesampai di kamar, Rudy menyampaikan, beberapa saat yang lalu aku dicari oleh Gerry. Akan diajak bermain bulutangkis di aula rutan, bersama dengan beberapa petinggi rutan.


“Sudah lama ya Gerry kesini, Rud?” tanyaku.


“Ya lumayan lama sih, om. Tadi sempet Rudy cari-cari om ke depan. Termasuk ke kantin, tapi nggak ada,” sahut Rudy.


“Tadi om di ruangan koordinator majelis taklim, Rud. Di ruangan bagian samping masjid. Ada yang lagi om urus,” jelasku.


“Om mau jadi anggota majelis taklim?” tanya Rudy, sambil menatapkan pandangannya ke wajahku dengan serius.


“Bukan om yang mau jadi anggota majelis taklim, Rud. Tapi si Danil sama Jhon. Alhamdulillah, tadi pak Nasir juga ustadz Umar responnya positif,” kataku, mengurai.


“Apa? Om Danil sama om Jhon mau masuk majelis taklim? Nggak salah ini, om?” ucap Rudy, penuh keheranan.


“Iya, beneran ini, Rud. Danil sama Jhon mau jadi anggota majelis taklim. Nggak perlu juga kamu heran sampai melongo kayak gitu, Rud. Kapan aja Allah kasih hidayah, penjahat kelas berat juga bakalan taubat,” kataku lagi.


“Iya sih, kalau Allah mau kasih hidayah, siapapun makhluk yang Dia mauin ya terjadi, om. Kun fayakun. Dan Rudy tahu, taubatnya seorang pendosa lebih disenengi Allah, ketimbang ibadah jungkat-jungkitnya orang taat yang sombong. Cuma Rudy nggak nyangka aja denger kabar dari om ini,” ujar Rudy, seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.


“Maksudmu nggak percaya sama kuasa Allah, Rud?” tanyaku, menyela dengan cepat.


“Astaghfirullah. Nggak gitu maksudnya, om. Rudy percaya bener, yakin, bahkan haqqul yakin akan kuasa Allah, om. Rudy bilang, kalau nggak nyangka aja denger cerita om ini. Jadi, bukan soal nggak percaya sama kehendak Allah, om. Astaghfirullah hal adzim,” kata Rudy dengan cepat.


“Syukur kalau gitu, Rud. Memang, seringkali kita nemuin cerita atau fakta kehidupan yang nggak disangka-sangka. Tapi jangan sampai ngebuat kita ber-masak-masak atau berandai-andaian. Apalagi kalau itu nyangkut pertaubatan seseorang. Yakini segera, kalau semua terjadi karena kehendak Allah. Kun fayakun katamu tadi,” tuturku, panjang lebar.


“Siap, om. Maklumi kalau Rudy kaget denger cerita soal om Danil dan om Jhon ya. Karena semua seisi rutan ini tahu, kayak mana laku mereka selama ini. Malakin dan gebukin orang itulah kerjaannya. Eh, tiba-tiba om kasih tahu, mereka mau masuk majelis taklim. Rudy cuma kepancing dengan pikiran; apa iya ya, kenapa dunia jadi kebalik-balik gini ya,” ujarnya lagi. Kali ini ada senyum di bibirnya.


“Kejadian ini makin ngajarin kita, kalau apapun itu, nggak ada yang abadi, Rud. Semua cuma fana, sesaat, titipan aja. Gitu juga perilaku atau perkataan orang. Yang hari ini buruk, bisa jadi besok baik. Ada ulama yang bilang: beruntunglah seseorang yang mengetahui aib-aibnya melebihi apa yang diketahui manusia dari aib-aib tersebut,” kataku. 


“Siapa ulama yang bilang gitu ya, om. Rudy belum nemuin di buku-buku yang sudah dibaca. Berarti masih banyak ilmu yang harus Rudy kejar buat tahu ya, om,” tanggap Rudy.


“Kalau nggak salah, ulama itu bernama Ibnu Hazm dan tertulis di buku Al Akhlaq Wa Asiyar, Rud. Om juga dapet pengetahuan ini dari ikut kajian agama di masjid, dan kebetulan om catet. Makanya masih inget sampai sekarang,” jelasku, seraya tersenyum.


“Kembali ke om Danil sama om Jhon, gimana ceritanya mereka mau jadi anggota majelis taklim itu, om?” tanya Rudy, beberapa saat kemudian.


“Ya, mereka sudah dapet hidayah, Rud. Dorongan jiwa dan pikirannya yang kuat, akhirnya nyari siapa yang secara lahiriyah bisa bantu mulusin niatnya. Nah, sama Allah ditemuin dengan om. Ya, om bantu dengan bicara sama ustadz Umar dan sipir Nasir. Alhamdulillah, respon mereka baik. Doain aja secepetnya mereka sudah resmi jadi anggota majelis taklim,” kataku, mengurai.


“O, pantes kemarin om ngobrol sama mereka di kantin itu ya. Syukurlah om, apapun ceritanya, om sudah ngebantu kawan nemuin jalan nuju kebaikan hidup mereka. Jadi pahala ya, om,” tanggap Rudy. 


“Aamiin. Prinsipnya, nggak ada yang sia-sia apapun yang terjadi sama kita, Rud. Tetep disyukuri aja semuanya. Dan terus yakin, kalau Allah pasti berikan yang terbaik buat kita,” ucapku.


Seusai berbincang dengan Rudy, aku pun mandi sore. Rudy buru-buru membuatkanku minuman makanan sehat bergizi. Menyeduh energen. Diaduk bersama dengan madu. Kehangatan minuman makanan segar itu, aku nikmati sambil menulis catatan harian di buku yang aku beli dari kantin. (bersambung)

LIPSUS