Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 248)

Dibaca : 0
 
Senin, 05 September 2022


Oleh, Dalem Tehang


SUARA adzan maghrib yang mendayu, menggugahku dari rebahan di kasur. Dan bergegas mengambil air wudhu untuk berangkat ke masjid. 


Saat aku berjalan bersama dengan Rudy, Dino dan Basri yang sedang duduk santai sambil menonton televisi di ruang masuk Blok B, sempat menyapaku. 


“Doain kami ya, pak. Biar bisa kayak Danil sama si Jhon itu. Begajulan kelas berat mendadak taubat,” ujar Basri dengan wajah serius.


“Inshaallah. Yang penting kalian juga punya kemauan buat ngerubah diri. Nggak cuma nunggu hidayah aja,” sahutku, sambil tersenyum.


Saat memasuki masjid, Rudy memegang tanganku. Menunjuk dua laki-laki yang tengah duduk tepekur di sudut. Berdoa dengan khusu’. 


“Itu kan om Danil sama om Jhon ya. Berarti mereka sudah jadi anggota majelis taklim dong sekarang,” kata Rudy dengan pelan. 


“Alhamdulillah. Kalau kita sungguh-sungguh, Allah pasti kasih kemudahan, Rud,” jawabku, dan spontan mengangkat kedua tangan, mengucap syukur kepada Allah atas hidayah-Nya untuk Danil dan Jhon.


Seusai jamaahan dan berdoa, aku dan Rudy kembali ke kamar. Aku meminta untuk segera disiapkan makan. Ketika kami tengah makan, apel malam pun berlangsung. 


Sipir Fani yang bertugas mengabsen penghuni Blok B beserta dua sipir lainnya, tampak tersenyum melihat menu makanku saat itu.


“Kenapa senyum gitu, Fani?” tanyaku, juga sambil tersenyum.


“Kirain abang nggak doyan lauk terong sambel sama ikan asin. Nggak tahunya suka juga. Kalau tahu gitu, aku bawain tadi dari rumah, bang,” ujar sipir berbadan tinggi besar dengan berewok tebal di wajah gantengnya itu. Juga tetap dengan menunjukkan senyum simpatiknya.


“Wah, kalau om Mario mah apa aja dimakan, pak. Yang penting halal aja. Nggak milih-milih. Pete sampai jolang-jaling aja, dia gadoin tanpa nasi,” sahut Rudy, menyela. Kami pun tertawa bersama.


“Izin keliling dulu ya, bang. Terus jaga kesehatan ya,” ucap sipir Fani, beberapa saat kemudian. Dan melanjutkan tugasnya mengecek satu demi satu penghuni kamar di Blok B.


Baru saja selesai makan, suara adzan Isya terdengar. Aku dan Rudy kembali keluar kamar untuk menuju masjid. Saat bersamaan, pak Edy keluar dari kamarnya. Kamar 34. Ia juga akan ke masjid.


Sambil berjalan menyelusuri selasar untuk menuju rumah Allah, pak Edy bercerita, ia akan pindah ke blok lain dalam waktu dekat. 


“Ngapain pindah, pak Edy?” tanyaku.


“Cari suasana baru aja, be,” jawabnya, singkat.


“Emang suasana kayak mana yang pak Edy cari?” tanyaku lagi. 


“Yah, yang lebih adem gitulah, be. Nggak yang sedikit-sedikit bentur,” kata dia.


“Emang ada suasana kayak gitu di rutan ini, pak?” kembali aku bertanya.


“Ya namanya usaha, be. Yang penting pindah kamar dulu. Nanti nyesuaiin sama tempat yang baru. Kalau nggak dicoba kan kita nggak tahu,” ujarnya dengan serius. 


“Nggak ada salahnya memang dicoba, pak. Tapi, apapun yang ada, sebaiknya berdamai aja dengan kenyataan. Ketimbang kita ngerasa nggak nyaman terus-terusan. Padahal, orang di sekeliling kita asyik-asyik aja,” ucapku.


Selepas Isyaan, aku buru-buru kembali ke kamar. Rudy yang masih akan mengikuti kultum, aku biarkan saja. Namun, melihat aku meninggalkan masjid, ia pun bergerak menyusul langkahku.


“Kok nggak dengerin kultum dulu, om?” tanya Rudy, saat kami berjalan kembali ke kamar.


“Ini malam jum’at, Rud. Om mau baca qur’an dulu,” kataku.


Dan sesampai di kamar, aku memulai membuka Alqur’an. Membaca surah yasin. Disambung dengan melanjutkan bacaan sebelumnya. Rudy pun membaca kitab suci. Ia ulang lagi pelajaran yang diberikan pak Anas pada petang harinya.


Ketenangan yang mulai merayapi Blok B, mendadak berubah. Puluhan petugas melakukan razia secara mendadak. Masing-masing kamar langsung dipantau oleh seorang petugas, yang berdiri di depan jeruji besi. 


Satu demi satu, kamar dibuka. Penghuninya dikeluarkan. Berbaris di depan kamar. Dino memerintahkan Rudy menaruhkan air mineral botol untuk petugas yang merazia. Ditaruh di meja taman depan kamar.


Aku terus saja melanjutkan membaca Alqur’an. Karena bagiku, razia semacam ini merupakan hal yang biasa. Sesekali terdengar suara keras dari petugas saat menemukan barang terlarang namun tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya.


Pimpinan razia masuk ke kamarku. Melihatku tengah mengaji, ia duduk di sampingku. Aku pun menghentikan kegiatanku sesaat.


“Bapak pegang botol?” tanya pria berusia sekitar 45 tahun itu, dengan ramah dan santun.


“Iya, ada, pak. Dipinjemi saudara saya, sipir disini,” kataku, apa adanya.


“Bapak sendiri yang memakainya atau sering dipinjamkan ke orang lain?” tanya dia lagi.


“Saya sendiri yang pakai, pak. Hanya buat hubungi istri dan anak-anak. Itu juga jarang,” jelasku, dengan santai.


“Oke, yang penting jangan bapak pinjamkan ke orang lain, siapapun itu. Karena bisa saja disalahgunakan tanpa sepengetahuan bapak,” ujarnya, dan kemudian meninggalkan kamarku.


Sepeninggal pimpinan razia, Rudy menemuiku yang masih akan melanjutkan membaca Alqur’an.


“Om tadi ditanya soal botol ya?” tanya Rudy. Aku menganggukkan kepala.


“Terus apa kata om?” tanyanya lagi.


“Ya om bilang aja kalau om memang ada botol. Dipinjemi sipir,” kataku.


“Terus diambil nggak. Atau komandan tadi minta lihat botolnya,” ujar Rudy.


“Nggak. Dia cuma pesen jangan dipinjemi ke orang lain, siapapun itu. Sudah gitu aja,” jelasku, dengan enteng.


“Syukurlah, om. Rudy khawatir aja botol diambil dan om diproses sampai masuk strafsel,” kata Rudy, tampak ada kelegaan terpancar dari wajahnya. 


“Alhamdulillah, Rud. Allah masih terus melindungi,” sahutku, dan kembali membaca Alqur’an. 


Suara diluar kamarku masih penuh hiruk-pikuk. Bukan hanya teriakan atau bentakan. Namun juga sesekali terdengar pukulan dengan memakai rotan yang dibawa petugas razia. Pun jerit kesakitan. Aku telah terbiasa dengan dinamika itu semua. Tak menggoyahkan keteguhanku untuk meneruskan membaca kitab suci. 


Pesan istriku Laksmi yang selalu menguatkanku: tetaplah tenang meskipun tertekan, tetaplah sabar meskipun sulit. Walau terkadang, hidup membuatmu jungkir balik. (bersambung)

LIPSUS