Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 249)

Dibaca : 0
 
Selasa, 06 September 2022


Oleh, Dalem Tehang        

 

SEMANGAT untuk terus membaca Kalam Ilahi masih cukup tinggi, namun mata tidak bisa lagi diajak kompromi. Jam di dinding kamar sel menunjukkan pukul 02.45 WIB. 


Aku memilih menepikan dahulu gelora hasrat jiwa untuk terus membaca Alqur’an, dengan mengistirahatkan badan. Sementara, suasana di Blok B masih penuh ketegangan. Terdengar suara petugas yang merazia masih melakukan kegiatannya di kamar bagian lantai atas. Mulai kamar 13 sampai 24. 


Aku panggil Rudy beberapa kali, namun tidak menyahut. Aku kira ia telah tidur. Ternyata, tidak ada di kamar. Ia ikut mendampingi Dino dan Basri menyaksikan pelaksanaan razia yang telah berlangsung lebih dari empat jam itu.


Kantuk yang telah demikian menggelayut, tidak bisa lagi diajak kompromi. Aku pun merebahkan badan. Menutup telinga dari hiruk-pikuk pelaksanaan razia, dan tertidur.


Suara adzan Subuh membangunkanku. Setelah berwudhu, aku akan membangunkan Rudy. Namun, ia masih duduk di taman depan kamar dengan beberapa sipir seusai melakukan razia. Bersama Dino dan Basri.


Melihat aku telah memakai kain sarung dan kupluk, Rudy bergeser dari tempatnya. Masuk ke kamar. Berwudhu dan kemudian kami berjalan menuju masjid.


“Seru tahu razia semalem, om. Banyak bener botol yang disita. Yang sekarang lagi diperiksa di pos ada sekitar 20 orang. Kayaknya bakal penuh itu strafsel dua minggu ke depan,” kata Rudy, saat kami berjalan menuju masjid.


“Kok bisa begitu banyak yang kena razia, Rud. Emang mereka pakai botolnya nggak terdaftar ya,” tanggapku.


“Nah, Rudy nggak paham kalau soal itu, om. Yang tahu datanya kan om Dino sama om Basri. Selain botol, banyak juga magiccom, teko listrik, dan kompor gas kecil yang disita. Pokoknya, sama tim razia semalem, dibuat habis-habisan bener yang aneh-aneh di blok kita,” lanjut Rudy. 


“Semua pasti ada hikmahnya, Rud. Teteplah kita pakai ilmu tahu diri. Bersyukur, magiccom sama teko listrik di kamar kita nggak disita juga,” kataku.


“Ya itu yang Rudy heran, om. Padahal kan komandan razia waktu ngobrol sama om tahu, di kamar kita ada magiccom dan teko listrik, kok dia diem aja. Om Dino sama om Basri juga bilang, kalau mereka deg-degan pas komandan razia masuk kamar kita, tapi begitu keluar nggak ambil barang apapun, mereka baru ngerasa lega,” Rudy mengurai.


“Alhamdulillah, Rud. Itu artinya Allah masih ngelindungi kita. Tetep aja bersyukur dalam kondisi apapun,” sahutku, dengan enteng.


Selepas solat jamaah, aku dan Rudy mendengarkan kultum yang disampaikan ustadz Umar. Tampak Danil dan Jhon berada di antara puluhan anggota majelis taklim yang pagi itu mengikuti solat Subuh berjamaah.


Ustadz Umar membuka kultumnya dengan menyampaikan nasihat Imam Syafi’i. Yaitu, bersabarlah yang baik, maka kelapangan itu begitu dekat. Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah untuk lepas dari kesulitan, maka ia pasti akan selamat. 


“Barangsiapa yang begitu yakin dengan Allah, maka ia pasti tidak merasakan penderitaan, dan barangsiapa yang selalu berharap kepada-Nya, maka Allah pasti akan memberi pertolongan,” ucap ustadz Umar, mengutip pesan Imam Syafi’i.


Menurut dia, batin dan jiwa seseorang tidak akan merdeka selama ia belum meninggalkan tiga hal, yaitu hasrat ingin dipuji, hasrat ingin dihargai, dan hasrat menuntut balas budi. 


“Teruslah kita semua untuk mau mendengarkan nasihat. Karena bila hati jauh dari nasihat, akan menjadi buta. Buang semua perkataan yang membuat sakit hati, tanamkan kepercayaan diri untuk hidup lebih berarti,” kata ustadz Umar. 


Mengakhiri kultumnya, napi yang dipercaya sebagai koordinator majelis taklim itu, menyampaikan, mata terindah adalah mata yang selalu melihat kebaikan orang lain. Mulut terindah adalah mulut yang selalu belajar berkata-kata dengan baik, dan hati terindah adalah hati yang selalu berprasangka baik terhadap orang lain.


“Kita adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah. Alangkah indahnya jika kita hiasi kesempurnaan itu dengan selalu berprasangka baik kepada siapapun dan dalam kondisi apapun. Jangan ciderai kesempurnaan kita dengan merendahkan sesama. Karena hal itu sama saja dengan merendahkan siapa yang menciptakan kita,” tutup ustadz Umar.


Saat akan meninggalkan masjid, aku sengaja menunggu Danil dan Jhon. Begitu melihatku berdiri di teras masjid, keduanya mendatangiku dengan senyum penuh kebahagiaan.


“Terimakasih banyak, bang. Alhamdulillah,” kata Danil, sambil memelukku dengan erat. Jhon juga memelukku dengan hangat.


“Alhamdulillah. Allah memberkahi niat kalian. Teruslah istiqomah. Berat memang ujiannya ke depan. Tapi, kalau kita yakin ini jalan terbaik untuk dekat dengan Yang Maha Kuasa, jalani dengan setulus hati. Pasti barokah,” kataku, seraya menepuk bahu Danil dan Jhon.


“Aku nggak bisa ngomong apa-apa, waktu disuruh pindah ke kamar majelis taklim pas mau solat maghrib kemarin sore, bang. Nggak nyangka prosesnya secepet itu. Aku pikir, ya hari ini atau besoklah, aku sama Jhon mulai masuk majelis taklim,” kata Danil dengan suara haru.


“Semua kemudahan itu karena niat kalian emang bener-bener mantep. Jangan goyah oleh godaan atau ujian apapun. Kalau kalian ngerasa agak gamang atau susah ngendaliin perasaan, kita ngobrol. Nggak ada yang nggak bisa diatasi,” ujarku. Menyemangati.


Sambil berjalan kembali ke kamar, aku minta Rudy untuk memesan nasi kuning kepada tamping yang menjajakan sarapan. Mendengar permintaanku itu, Danil spontan menahan Rudy. Ia yang berjalan cepat mendekati tamping yang masih menyusun barang dagangannya. Dan mengambilkan dua bungkus nasi kuning.


“Ini bang. Buat abang sama Rudy. Aku yang bayar. Halal uang untuk bayar makanan ini,” kata Danil, dan menyerahkan dua bungkus nasi kuning ke tangan Rudy.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak, Danil. Inshaallah, rejekimu makin banyak dan barokah,” sahutku, sambil mengacungkan jempol.  


Sesampai di kamar, aku langsung berganti pakaian. Berkaos tanpa lengan, celana pendek, dan tanpa alas kaki, aku keluar lagi. Berolahraga di lapangan. Sebelumnya, mampir ke kamar 12. Mengajak Aris, Dika, dan Iyos. Namun hanya Aris yang tergerak. Dika masih bermalas-malasan, sedang Iyos sedang kurang enak badan.


Sambil berjalan mengelilingi lapangan, banyak hal yang aku perbincangkan dengan Aris. Utamanya mengenai upaya untuk tetap bisa survive menjalani proses hukum ini. 


“Kalau kita sih, kuat-kuat aja, be. Tapi istri sama anak-anak itu. Mereka kan bergaul. Ada aja yang nyeletukin kalau ayahnya lagi di penjaralah, kriminallah. Yah, di-bully gitulah,” kata Aris.


“Pelan-pelan ajarkan sama mereka untuk jangan baperan. Biar aja orang lain ngomong apapun, nggak usah disahuti. Senyumin aja. Inget, Ris. Kemenangan itu milik mereka yang nggak pernah kehilangan senyuman,” tanggapku.


“Tapi kan nggak seenteng itu jugalah, be,” ucap Aris, menyela dengan cepat.


“Ya, emang nggak semudah yang ku bilang, Ris. Tapi, istri sama anak-anak harus tetep kita buat bahagia walau kita di dalem gini. Caranya, kita ajak mereka bisa nguasai egonya. Kalau kita dikuasai ego, sengsara itulah yang dirasain,” kataku lagi.


Ketika kami telah 15 kali mengelilingi lapangan dan akan beristirahat, tampak seseorang melambaikan tangannya ke arah kami dari kantin.


“Siapa itu, Ris. Manggil kita ya?” tanyaku kepada Aris.


“Gerry, be. Iya, dia manggil kita,” kata Aris yang matanya masih cukup awas. 


Aku dan Aris pun keluar lapangan. Menyelusuri tepian selasar untuk sampai ke kantin. Menemui Gerry. (bersambung)

LIPSUS